Orang itu langsung menyambar bungkus rokok saya sebelum duduk, menyilangkan kaki, mencomot sebatang rokok, dan membakarnya. Orang itu Chairil Anwar.
Berada di antara perasaan segan dan kesal, saya berkata bahwa saya cuma bisa menyiapkan sirop hangat: teh habis, kopi habis, gula habis, tak ada batu es. Dia berkata tegas, “Menyejukkan kening dan dahi pun tidak!”
Namun dia minum juga, sampai tetes terakhir, padahal saya sengaja menuang air panas lebih banyak ketimbang air dingin. Saya bertanya, sekadar memastikan, lidahnya tak iritasi atau apalah. Dia memicingkan mata, mengisap rokok saya, kemudian mendaku sebagai binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Air panas tak ada artinya bagi binatang jalang, tentu saja. (Mengapa hal sepele seperti itu tidak saya pahami?)
Berikut ini obrolan kami.
Mengingat reputasi anda yang suka bicara, yah, silakan anda bicara dulu.
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata. Kaulah sekarang yang berkata.
Jadi kita mulai wawancaranya, ya?
Mari kita putuskan kini di sini.
Sebelum membahas Pilpres 2019, sebetulnya menurut anda apa sih pekerjaan presiden di Indonesia?
Menerang-jelaskan saja, sambil menganjurkan, sekali-sekali menyatakan pengharapan.
Ini menyindir SBY, ya?
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi.
Tapi kenapa Prabowo selalu pakai jalan yang sama, Bung?
Karena hidup hanya menunda kekalahan.
Baik. Menurut Bung, bagaimana situasi bangsa menjelang Pilpres 2019?
Bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ‘aku’.
Maksud saya, kan sudah muncul bibit-bibit perpecahan; cebong akan mengatai kampret, dan sebaliknya.
Kita terapit, Cintaku.
Bagaimana seharusnya kita menyikapi situasi seperti itu?
Mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak.
Tapi mereka menyebalkan, Bung. Kadang terlalu berlebihan membela capres idola mereka.
Baik juga kita padami unggunan api ini. Karena kau tidak ‘kan apa-apa. Aku terpanggang tinggal rangka.
Iya, anda memang sudah jadi rangka. Tapi anda kan orang besar. Influencer. Chairil Anwar yang terkenal dengan pose mengisap rokok terbaik sepanjang masa. Jadi, walaupun anda sudah tinggal rangka, saya kira orang memperhitungkan pendapat anda.
Jangan lagi kau bercerita, sudah tercacar semua di muka. Nanah meleleh dari luka, sambil berjalan kau usap juga.
Hm, agak menjijkan membayangkannya. Bisa kita menghentikan omong kosong dan masuk ke topik utama? Oke, bagaimana pandangan anda soal pencalonan Sandiaga Uno sebagai cawapres?
Pemuda-pemuda yang lincah, yang tua-tua keras, bermata tajam.
Tua dan keras seperti Amien Rais? Orang tua ini … hm, menarik kan?
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Omong-omong soal tua bangka, bagaimana dengan Ma’ruf Amin?
Tuaknya tua, sedikit pula.
Kalau Jokowi?
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh.
Jadi anda pilih Jokowi atau Prabowo? Mana yang lebih baik?
Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Maksud anda, mengajak orang golput?
Kita jalani ini jalan.
Oke, saya tidak mengerti anda ngomong apa, tapi—
Orang ngomong, anjing nggonggong. Dunia jauh mengabur.
Sebentar, jangan dipotong dulu. Ini sudah dua kali Prabowo nyapres, pernah nyawapres juga, tapi gagal terus. Apa nih kiat sukses dari penyair besar seperti anda?
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju. Jangan tambatkan pada siang dan malam.
Kalau sudah punya kuda paling liar, tapi tetap gagal?
Keridlaanmu menerima segala tiba.
Gagal terus itu menyedihkan loh, Bung.
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah? Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia.
Baiklah. Kita beralih ke bangkitnya Keluarga Cendana. Tommy Soeharto bikin partai dan lolos sebagai partai peserta Pemilu 2019, ada tanggapan?
Di masa pembangunan ini, tuan hidup kembali.
Bisa saya katakan anda tak masalah dengan hal itu?
Awas jangan bikin beta marah. Beta bikin pala mati, gadis kaku beta kirim datu-datu!
Sabar, Bung, sabar. Habis jawaban Bung kurang bisa saya pahami.
Kita musti bercerai, sebelum kicau murai berderai.
Cerai bagaimana? Menikah saja belum!
Beta api di pantai. Siapa mendekat tiga kali menyebut beta punya nama.
Iya, anda api atau apalah. Terserah. Tapi jangan pergi dulu, saya masih punya pertanyaan. Misalnya, kapan kita mulai maju kalau tiap pemilu bertengkar terus?
Kita—anjing diburu—hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang.
Ah, saya kira beberapa orang jengah menonton sandiwara sekarang, Bung. Kapan kira-kira mereka berhenti?
Ketika orkes memulai ‘Ave Maria’.
Bukan ketika anak-anak muda memimpin negeri?
Aku suka pada mereka yang berani hidup.
Saya tak peduli anda suka atau tidak suka.
Satu hal pula Ida salah tangkap. Apa yang kubentang-beberkan bukan untuk menghalangi ciptaan kita bertingkat-tingkat juga. Maksudnya: ada yang jelek, sedang, bagus.
Ida? Saya Dio, bukan Ida. Siapa itu Ida?
Ida! Rangkaian jiwa!
Hm, bisa kita bicarakan hal lain?
Mulutmu nanti habis bicara.
Sebelum habis, apa yang harus kita bilang kepada pendukung garis keras Jokowi dan Prabowo yang bawelnya minta ampun.
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan.
Dan bagaimana dengan puisi-puisi politikus?
Pena dan penyair keduanya mati. Berpalingan!
Lalu, dari pandangan seorang Chairil Anwar, bagaimana masa depan negara ini setelah Pilpres 2019?
Kemah kudirikan ketika senjakala di pagi terbang entah ke mana.
Agak pesimis, ya?
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Jadi kita sebaiknya berhenti saja?
Jangan kita di sini berhenti.
Habis, kalau saya tangkap dari jawaban-jawaban anda, seperti tidak ada harapan.
Kami rasa bahagia ‘kan tiba. Kelasi mendapat dekapan di pelabuhan dan di negeri kelabu yang berhiba penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.
Kok sekarang jadi optimis? Jadi bagaimana nih?
Aku kira beginilah nanti jadinya: Kau kawin, beranak dan berbahagia, sedang aku mengembara serupa Ahasveros.
Oke, oke. Terakhir, ada pesan?
Kalau datang nanti topan ajaib menggulingkan gundu, memutarkan gasing memacu kuda-kudaan, menghempas kapal-kapalan. Aku sudah lebih dulu kaku.
Cuma begitu? Kan kami semua sudah tahu anda sudah meninggal dunia, sudah kaku, itu sudah jadi pengetahuan umum. Tapi, ya, masih begini-begini saja. Topan ajaib yang anda bilang itu belum datang.
Kita bangkit dengan kesedaran. Mencucuk menerawang hingga belulang. Kawan, kawan. Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!
Yha. Trims.
Segala menebal, segala mengental. Segala tak kukenal. Selamat tinggal!