- Review Buku: Yudi Latif, Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2020).
Pendidikan nasional sudah seharusnya tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikan yang tidak didasari oleh budaya bangsa akan menghasilkan generasi yang tercabut dari kebudayaan bangsanya sendiri. Pendidikan yang tidak menyatu dengan kebudayaan akan cenderung asing dan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Dan hanya dengan pendidikan yang berakar pada budaya sendiri, maka bangsa ini akan selamat menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.
Pendidikan dan kebudayaan merupakan proses kreatif yang tak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi dari keping uang yang sama. Bung Hatta pernah menyatakan bahwa apa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan, sedangkan pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan. Keterkaitan pendidikan dengan kebudayaan juga semakin menemukan relevansinya, karena budaya merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya sebuah peradaban bangsa.
Seorang aktivis dan cendekiawan Muslim, Yudi Latif, baru baru ini meluncurkan buku terbarunya berjudul “Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif” yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka (2020). Buku ini menguraikanperspektif bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Karenanya, pendidikan nasional sudah seharusnya tetap berakar kuat pada bangsanya sendiri. Yakni pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia.
Buku setebal 452 halaman ini berisi tentang konsep transformasi pendidikan dengan bersumber pada konsep dan visi-misi pendidikan Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Yaitu pendidikan sebagai proses belajar menjadi manusia seutuhnya untuk dipelajari dan dikembangkan dalam hidup. Buku ini menggunakan pendekatan konseptual dengan menggali filosofi Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu tentang tiga konsep utama filosofi. Pertama adalah konsep kodrat keadaan, kedua adalah prinsip utama dalam melakukan perubahan, yaitu azas trikon: kontitunitas, konvergensi dan konsetris. Ketiga adalah budi pekerti dan lahir batin.
Menurut Yudi, pendidikan yang berkebudayaan pada hakikatnya adalah pendidikan budi pekerti. Merujuk pada gagasan Ki Hajar Dewantara, Yudi memaparkan bahwa hakikat pendidikan adalah proses menjadi manusia seutuhnya dengan belajar dari kehidupan sepanjang hayat atau menjadi insan kamil. Jantung pendidikan adalah budi pekerti. Mengutip Ki Hajar Dewantara, Yudi menjelaskan bahwa budi terkait dengan dimensi batin, yakni pikiran, perasaan dan kemauan atau cipta, karsa dan rasa. Sedangkan pekerti berhubungan dengan aspek lahir, yaitu daya. “Budi pekerti sama dengan budi daya atau budaya,” tegas Yudi.
Dengan demikian, pendidikan budi pekerti itu pendidikan berkebudayaan yang mengintegrasikan daya pikir, daya rasa, daya karsa, pikiran, perasaan, dan kemauan yang melahirkan daya, yang mendorong perbuatan yang baik, benar dan indah. Dalam pendidikan yang berkebudayaan, yang dikembangkan adalah (1) olah pikir (2) olah rasa (etika, estetika, spiritualitas) (3) olah karsa (kreativitas) (4) olah raga (ketangkasan).
Mengikuti pandangan Ki Hadjar Dewantara, manusia adalah “perwujudan khusus” atau “diferensiasi” dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari jagad besar, manusia harus berusaha untuk menyatukan diri dengan aturan alam yang agung itu. Akan tetapi, berbeda dengan respons otomatis yang naluriah dari tumbuhan dan hewan terhadap tuntutan alam, manusia dapat menentukan pilihan dan memiliki peranan aktif dan kreatif di dalam alam. Menurut Ki Hadjar, inilah sifat-sifat kekhalifahan-ketuhanan yang menimbulkan gagasan tentang kehalusan adab, kesusilaan dan kebudayaan. Singkat kata, manusia adalah makhluk yang berkebudayaan dan berkeadaban.
Dengan demikian, pendidikan haruslah berorientasi pada pengembangan kemampuan dan akhlak yang ditujukan agar terjadi perubahan kognitif, afektif, psikomotor. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin jadi pendidikan perlu mengenal sisi psikologis agar tepat sasaran. Selanjutnya, dalam proses pendidikan peserta didik didorong untuk aktif, tak pasif, dan responsif. Pendidikan harus memberi reward atas respon bentuk pengakuan, pujian dan lainnya. Jadi, ada interaksi dua arah pendidik dan peserta didik. Dengan kata lain, metode pengajaran diarahkan agar peserta didik menjadi manusia otonom dan kreatif.
Proses pendidikan juga harus mampu menghubungkan kapasitas moral individual ke dalam kehidupan kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia. Untuk itu, selain diperlukan pendikan moral personal yang biasanya diajarkan lewat pendidikan agama dan filsafat moral, juga perlu pendidikan kewargaan dalam konteks kemajemukan sosial, yang memberikan wahana kepada siswa suatu pengalaman terstuktur untuk menghubungkan moral judgment dan moral situations yang dihadapinya, serta kesanggunggupan untuk menghadapi aneka perbedaan dengan semangat kekeluargaan.
Yudi mengungkapkan analogi untuk filsafat pemikiran Ki Hajar Dewantara, yaitu analogi tata surya. Menurutnya, “Kebudayaan harus terus bergerak, tidak boleh statis, ibarat planet-planet dalam tata surya. Jika ia berhenti bergerak, akan menimbulkan kehancuran planet dan tata surya itu sendiri. Selanjutnya walaupun berbeda-beda semua planet berpusat pada satu utama yang sama, yaitu matahari. Itulah analogi kesatuan kebudayaan dunia dalam filosofi Ki Hajar Dewantara.”
Yudi secara tegas menyampaikan jika pendidikan adalah benih harapan. Sementara yang dibutuhkan dalam proses pendidikan, adalah menciptakan metode pengajaran guna mereproduksi manusia-manusia otonom dan kreatif. Ia juga mengingatkan untuk tidak menanti apapun dari masa depan, karena pendidikan itu harus disiapkan sendiri. Mengacu pendapat salah satu tokoh pendidikan nasional Daoed Joesoef, ia melanjutkan jika sistem pendidikan nasional dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana perubahan yang tidak pasti agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi “mangsa” dari proses yang semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari.
Untuk memperkuat isi bukunya, Yudi memberikan susunan argumentasi yang kokoh tentang dasar kebudayaan bangsa. Seperti juga kebudayaan nasional yang mampu survive. Arah utama pendidikan pada esensinya adalah menciptakan manusia-manusia kreatif dan otonom. Jadi, betapapun harus berhadapan dengan serangkaian disrupsi (akibat perkembangan teknologi) secara terus-menerus, bangsa ini akan selalu siap.
Terkait dengan tantangan disrupsi ini, pemikiran Yudi sangat mencerahkan. Pendidikan, kata dia, bukan membentuk manusia seperti batu-bata yang kaku, tetapi menjadikan manusia sebagai tanah liat, sehingga fleksibel dalam mengarungi dunia paska pendidikan. Ia sepakat dengan gagasan David Epstein dalam bukunya yang berjudul “Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World”, bahwa saat ini menjadi generalis sangat penting dibandingkan spesialis. Dengan menjadi generalis yang kreatif, manusia hari ini dapat menyelesaikan permasalahan yang kompleks dan membutuhkan cara pandang interdisipliner.
Dalam konteks inilah Yudi bicara tentang pendidikan. Baginya, secara konseptual dan ideal, pendidikan tidak bisa direduksi kepada usaha menciptakan kemampuan teknikal belaka. Dengan terus terang, sikap ini diproyeksikan kepada kesibukan pengambil keputusan tentang teknologi 4.0. Baginya, sesuai dengan sifat teknologi yang berkembang pesat, para pengambil keputusan sering cenderung menangkap gejala pada tingkat permukaan dan secara terus menerus akan berhadapan dengan disrupsi —karena teknologi akan terus berkembang, bahkan dalam wujud yang kian cepat.
Dalam buku ini, Yudi berhasil menguraikan dengan meyakinkan dan mengesankan pentingnya pendidikan nasional yang berwawasan sejarah dan berwawasan budaya. Buku ini juga bergerak dari idealisme — artinya ide menggerakkan realitas. Oleh karenanya, pendidikan menjadi penting bagi kemajuan bangsa. Bahwa gerak kemajuan bangsa tidak hanya terletak pada kemajuan teknologi akan tetapi kebudayaan dan pembangunan SDM. Dari poin itu, beliau mendedah pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Salah satu pemikirannya yang relevan adalah pendidikan mesti memaksimalkan semua potensi manusia. Artinya, kecerdasan yang ganda harus sama-sama dihargai, tidak meletakkan kecerdasan matematis dan numerikal di atas yang lain misalnya.
Satu hal yang khas dari buku ini adalah cara pandangnya yang sangat Indonesianis. Katanya, Indonesia adalah masyarakat yang kreatif dan memiliki kearifan untuk menyerap budaya luar dan mensintesiskannya dengan budaya lokal sehingga terbentuk budaya baru yang lebih tinggi.
Buku ini bisa dibilang magnum opus dari pemikir Yudi yang sangat komprehensif menyusun mozaik landasan konsep Pendidikan di Indonesia dengan memutar ulang jejak sejarah yang melatarinya dan berupaya membawanya ke konteks kekinian. Sehingga terasa sangat pas ketika subjudul bukunya adalah “Histori, Konsep dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif”. Kata transformasi dipakai oleh Yudi untuk memperkuat gagasannya bahwa pendidikan itu adalah sebuah proses dan dalam proses tidak ada yang “tiba-tiba”, pasti ada sebab awal.
Pendidikan yang diperlukan untuk memenuhi tantangan zaman berlandaskan paradigma Pancasila adalah dunia pendidikan transformatif. Yakni mampu mengembangkan manusia pembelajar seumur hidup yang berkarakter, kreatif, dengan kemampuan pengurusan (tata-kelola) dan kepemimpinan dalam rangka mengupayakan kebaikan hidup bersama. Untuk itu, pendidikan tidak hanya berkutat pada pengajaran teori, tapi harus memperkuat penanaman nilai. Pepatah mengatakan, di atas sekelompok teori kita membangun sebuah mazhab (school of thought), di atas sekelompok nilai kita bangun budaya. Itulah arus utama pemikiran Yudi Latif dalam buku ini.
Begitulah. Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal dan dinegasikan oleh siapapun. Keunikan budaya yang beragam tersebut memberikan implikasi pada pola pikir, tingkah laku dan karakter yang sering kali berbeda satu sama lainnya. Oleh karena itu, pergumulan antar budaya memberikan peluang terjadinya konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan budaya. Lebih khusus multikultural dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang majemuk dan heterogen agar saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.
Pendidikan adalah investasi masa depan dalam lingkungan yang penuh dengan ketidakpastian namun harus tetap berakar kuat dalam bangsanya sendiri. Tentu kita semua percaya, tidak ada kebangkitan dan kemajuan tanpa diusahakan secara sengaja dan penuh kesadaran (socially and politically constructed). Dan upaya itu harus dimulai dari dunia pendidikan.
Buku ini menarik karena akan memuculkan beragam interpretasi dari para berbagai kalangan sesuai dengan keinginannya masing-masing. Ada yang menyebutkan buku ini menjadi landasan kritik terhadap kebijakan dalam sistem pendidikan kita hari ini. Buku ini juga bisa menjadi basis landasan bagi pendidikan merdeka yang sedang dikembangkan saat ini. Sumbangan terbesarnya buku ini untuk dunia pendidikan adalah susunan argumentasinya yang kokoh tentang dasar kebudayaan bangsa.
Yudi sendiri dikenal sebagai penulis yang konsisten berdiri pada “historical idealism” atau dunia gagasan yang menyejarah, sebagai lawan dari “historical materialism”. Ia banyak menggabungkan pemikiran-pemikiran Max Weber, Durkheim dan Robert K Merton. Yudi tidak secara ketat berada pada satu paradigma ilmu-ilmu sosial tertentu. Tapi, ia bersifat eklektik yang komprehensif. Eklektiknya menggabungkan pemikiran-pemikiran Max Weber, Durkheim dan Robert K Merton yang merupakan sosiolog Amerika.
Yudi Latif, adalah seorang aktivis, cendekiawan, dan saya ingin menyebut, filsuf Indonesia kontemporer. Kita patut berterimakasih kepada Kang Yudi yang banyak mencurahkan perhatian dan pemikirannya pada masalah pendidikan nasional, antara lain yang dituangkan dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti dalam membenahi sistem pendidikan di Indonesia, dengan harapan akan mencetak para generasi yang berkualitas demi kemajuan Indonesia.