Problem besar bangsa ini masih seputar persoalan lama: korupsi, intoleransi, dan antipluralisme. Politik kita disibukkan dengan isu identitas yang semakin hari semakin merisaukan.
Pada ulang tahunnya yang ke-4, Ketua Umum PSI Grace Natalie secara tegas mengatakan partainya akan konsisten menolak aturan daerah yang diskriminatif, seperti Perda Injili di Manokwari atau Perda-perda berbasis syariah di banyak daerah. Alasannya, kebanyakan aturan itu justru melahirkan sikap intoleransi.
Menolak Perda Injil dan Perda Syariah bukan berarti menolak aturan Injil dan syariat agama dalam Islam. Yang ditolak PSI adalah menjadikan agama hanya sebagai simbol dan formalitas. Harus diakui kebanyakan perda-perda berbasis agama cenderung diskriminatif terhadap satu kelompok masyarakat.
Padahal Indonesia terdiri dari masyarakat plural. Tidak adil rasanya apabila sebuah aturan formal hanya berpijak pada satu kelompok agama atau budaya, sementara Perda itu berlaku umum.
Entah kenapa, jika bicara Syariah perempuan selalu ditempatkan sebagai objek yang harus diatur secara detail. Soal pakaian. Soal cara bergaul. Bahkan di Aceh, perempuan yang kedapatan nongkrong di warung kopi semeja dengan cowok yang bukan suaminya akan dikenakan hukuman. Bukan cuma itu. Perempuan Aceh yang sudah berjilbab, tetapi menggenakan blue jeans yang ketat, tetap juga kena hukuman. Sampai cara naik motor saja diatur Perda. Enggak boleh nyemplak.
Di Tangerang pernah ada Perda berbasis syariah yang mengatur jam malam bagi perempuan. Seorang buruh garmen terpaksa lembur untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Ia harus pulang ke rumah agak larut. Apa yang terjadi?
Pamong Praja menangkapnya. Tuduhannya serius. Ia disangka pelacur karena berjalan sendirian di malam hari. Dibawa ke tempat penampungan disatukan dengan para penyandang masalah sosial. Seorang karyawati garmen yang bekerja keras untuk menafkahi keluarganya dipermalukan oleh Pamong Praja yang hadir untuk menegakkan syariah.
Ketika wajahnya disorot kamera TV, apa yang dirasakan perempuan baik-baik itu? Apa yang dirasakan anak-anaknya di rumah? Apa yang dirasakan suaminya yang bekerja sebagai tukang ojek? Ketika ibu dan istri yang sedang mencari nafkah dituduh dengan tudingan menyakitkan dan ditampilkan wajahnya ke publik.
Di Aceh, seorang perempuan diperkosa oleh delapan lelaki. Salah satunya adalah pacarnya yang brengsek. Kasusnya masuk pengadilan. Apa hukuman yang dijatuhkan? Lelaki pemerkosa itu memang dihukum. Tetapi perempuan korban perkosaan juga kena hukuman. Dia dicambuk di muka umum. Wajahnya diperlihatkan. Alasannya karena dia datang ke rumah pacarnya sendirian.
Perda Syariah di Aceh seringkali digunakan untuk mempermalukan perempuan. Dicambuk di depan khalayak. Ketika cambuk algojo melucuti tubuhnya, ada rasa yang jauh lebih sakit dari sekadar ujung cambuk itu.
Rasa dipermalukan. Rasa sebagai pendosa yang pekik sakitnya ketika dicambuk disambut dengan teriakan kegembiraan orang-orang yang menyaksikan. Adakah yang lebih menyakitkan dari harga diri yang tersayat? Adakah yang lebih menghimpit selain dari hukuman sosial yang mempermalukan?
Aceh memang tidak segila Taliban di Afganistan. Negeri yang tidak pernah berhenti konflik tersebut, pernah dipimpin oleh gerombolan orang gila syariah. Di sana perempuan yang ke pasar sendirian akan langsung dieksekusi. Alasannya karena tidak didampingi lelaki muhrim.
Saya pernah menyaksikan gambaran ini dalam film berjudul Kandahar. Sebuah kehidupan gelap para perempuan Afganistan. Mereka tersiksa karena kemiskinan, karena diskriminasi hukum, juga pandangan lelaki bahwa merekalah sumber dosa. Perempuan dalam pemerintahan Taliban hanyalah perkakas menyebalkan yang harus diawasi. Dia cuma pemeran figuran dalam kehidupan lelaki.
Di Arab Saudi, atas nama syariah perempuan tidak bisa menyetir mobil sendiri. Suara mereka di politik juga tidak diakui. Jika kita amati pasangan suami-istri di Saudi berjalan, jarang kita lihat mereka jalan berjalan bergandeng tangan. Biasanya lelaki jalan di depan dan perempuannya kucluk-kucluk mengikuti dari belakang.
Untung ekonomi Saudi ambrol akibat hobi perang dan harga minyak yang anjlok. Mereka butuh investasi dari luar. Mulailah pemerintah melonggarkan aturan. Tahun depan perempuan Saudi dibebaskan mengendarai mobil sendiri dan aspirasi politiknya mulai didengar. Bukan karena pemerintah Saudi mulai waras otaknya. Tetapi karena butuh duit dari investor untuk menggerakkan ekonomi negeri gurun itu.
Toh, baru kemarin TKW kita dieksekusi mati tanpa pemberitahuan. Padahal TKW itu membunuh majikan yang memperkosanya berkali-kali. Dia kabur dari rumah majikan akibat mengalami kekerasan seksual yang mengerikan. Segerombolan pria yang pura-pura menolong lantas memperkosanya lagi.
Para lelaki biadab itu lolos dari hukuman. Sementara korban perkosaan, yang gajinya tidak pernah dibayar itu, malah dijatuhi hukuman mati. Itulah negeri syariah yang didominasi lelaki.
Cara orang yang gila syariah memandang perempuan memang selalu menyebalkan. Ketika ada perempuan menjadi korban pelecehan, kalimat pertama yang biasanya terlontar, “Salah sendiri kenapa berpakaian seksi.”
Perempuan yang dilecehkan, yang disalahkan malah pakaian korban.
Syariah yang hanya menonjolkan simbol, biasanya sibuk dengan aturan-aturan memuakkan. Agama hadir sebagai gairah yang dibuat-buat. Perda-perda sibuk mengurus hal-hal yang tidak substantif yang jauh dari kesejahteraan rakyat.
Pemda yang menerapkan Perda keagamaan juga kebanyakan tidak memiliki tingkat pelayanan publik yang baik. Korupsinya juga masih tinggi. Sebab fokusnya hanya bagaimana mengatur jilbab, mengatur salat jemaah bagi PNS, mengatur perdagangan miras di warung-warung kecil.
Tapi bagaimana agama mengajarkan amanah pada jabatan, enggak menjadi fokus mereka. Bagaimana korupsi merusak kehidupan dan moral berbangsa biasanya justru marak. Jangan heran jika banyak kepala daerah di Aceh kena kasus korupsi.
Pernahkah kita bertanya, jika ada Pemda yang menerapkan syariah, apakah kehidupan masyarakatnya jauh lebih baik? Apakah kesejahteraan meningkat? Apakah korupsinya habis? Sampai saat ini belum ada bukti. Bukti yang terpapar malah sebaliknya.
Saya curiga lahirnya Perda-perda seperti itu cuma cara konyol politisi menyembunyikan kebobrokannya. Para pejabat bebas mengutil duit negara. Enggak peduli layanan publik. Rakyat ditipu bahwa mereka mewakili pemerintahan yang islami. Ujung-ujungnya agama dijadikan kedok lagi.
Makanya saya setuju, ketika dalam pidatonya Ketua Umum PSI Grace Natalie berkata, “Partai ini tidak akan pernah mendukung Perda Injil atau Perda Syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa!”. Sebuah pernyataan yang tegas dan jelas. Disampaikan justru ketika partai-partai nasionalis sedang bergenit-genit pada isu agama. Demi kekuasaan.
Sebab, dari situlah awalnya penindasan terhadap perempuan. Entahlah, apakah Tuhan hanya milik para lelaki? Padahal nama Allah yang paling akrab adalah Arrahman-Arrahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kosa kata yang lebih mewakili perempuan.