Jumat, Maret 29, 2024

Perda Agama dan Kewarganegaraan Deliberatif

Fahrul Muzaqqi
Fahrul Muzaqqi
Pengamat Politik Universitas Airlangga

Perdebatan seputar Peraturan Daerah (Perda) berbasis suatu agama tertentu (entah Islam atau Kristen) sebagai buntut dari pidato Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie pada Harlah PSI ke-4 beberapa waktu lalu kiranya menjadi perhatian serius perihal bagaimana seharusnya kita memaknai diri sebagai warga negara. Grace menegaskan bahwa PSI menolak Perda Agama, karena dianggap berwatak diskriminatif, dan mempertajam dikotomi mayoritas-muinoritas yang mengancam persatuan bangsa. Terlepas dari alotnya perdebatan perihal kontestasi ideologi maupun aliran keagamaan, hingga ditarik lebih jauh pada kontestasi jelang Pilpres – di mana kesemuanya malah mengaburkan persoalan yang lebih substantif – pertanyaan lebih mendasar perlu diajukan disini, yakni bagaimana mendudukkan status kewarganegaraan kita di tengah derasnya arus informasi yang saling sengkarut.

Lebih kompleks lagi, seolah kita tidak lagi memiliki cukup kesempatan untuk merefleksikan secara mendalam identitas kewarganegaraan karena berlebihnya pasokan (oversupply) informasi yang berebut menjejali mata dan pikiran setiap hari.

Primordialisme versus Formalisme

Fenomena Perda berbasis hukum formal suatu agama tertentu (Perda Syariah dan Perda Injil) setidaknya memunculkan dua kutub perspektif. Pertama, sebagian orang yang melihat Perda-perda itu sebagai ekspresi primordial keagamaan warga negara yang harus dilindungi. Dalam hal ini, primordialisme itu dipandang sebagai identitas mendasar yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun (taken for granted). Kedua, sebagian lain yang memandang Perda-perda itu hendaknya berkesesuaian dengan prosedur legal negara, sebagaimana prinsip hukum positif, yakni lex superior derogat legi inferior, bahwa hukum turunan tidak boleh bertentangan dengan hukum induk. Termasuk di sini adalah penjelasan bahwa keragaman pandangan hidup warga tidak boleh untuk tujuan ideologis tertentu yang mengancam Pancasila.

Secara teoretik, dua perspektif yang saling bersikukuh itu pada taraf tertentu sebenarnya sama-sama memiliki referensi konseptual perihal berbangsa-negara. Primordialisme kewarganegaraan, sebagaimana perspektif pertama, menempatkan negara sebagai totalitas etis dari komunitas (gemeinschaft) yang menganut pada seperangkat nilai-nilai tertentu dan menyandarkan diri pada identitas kolektif yang relatif homogen, dan bukannya masyarakat (gesselschaft) sebagai subjek yang independen secara kultural-primordial.

Oleh karena secara faktual terdapat keberagaman komunitas yang ada, perspektif ini potensial terjebak pada pengunggulan komunitas dominan sebagai identitas kewarganegaraan. Dalam tradisi konseptual negara-bangsa, model kewarganegaraan ini dikenal dengan tradisi komunitarianisme. Menjadi masuk akal ketika memahami konsep kewarganegaraan di Indonesia – yang notabene sebagai negara muslim terbesar di dunia – dari kaca mata tradisi komunitarian. Pun demikian di sebagian daerah dimana jumlah penduduk Nasrani maupun Hindhu merupakan mayoritas. Para pendukung Perda berbasis agama agaknya mengarah pada cara pandang kewarganegaraan komunitarian ini. Namun demikian, bukan berarti pendekatan ini tidak memiliki kelemahan.

Jebakan komunitas dominan sebagai identitas kewarganegaraan potensial mendefinisikan hukum positif (bahkan negara) dari tarikan-tarikan tafsir primordial, termasuk agama (maupun aliran agama) dominan. Dalam banyak kasus di Indonesia, kontestasi penafsiran agama tidak jarang turut mempengaruhi langkah-langkah negara ketika dihadapkan pada insiden-insiden yang bersinggungan dengan identitas primordial keagamaan tersebut.

Tradisi konstitusionalisme berupaya menjawab hal itu. Yakni, memposisikan warga negara secara individu maupun kelompok sebagai subjek hukum yang lepas dari ikatan primordialnya. Artinya, warga negara dipandang secara sama – terlepas dari ikatan kultural-keagamaan yang melekat di dalam dirinya – di hadapan hukum dan harus tunduk pada ketentuan hukum.

Sudut pandang Grace dan para pendukungnya agaknya, dari kacamata penulis, berangkat dari tradisi kewarganegaraan konstitusional ini. Pun tradisi ini tidak lepas dari kelemahan konseptual maupun praksis. Negara, dalam perspektif ini seolah mengingkari tarikan-tarikan identitas kultural maupun agama yang melekat di dalam diri warga negara bahkan yang melekat semenjak lahir. Sehingga dalam taraf tertentu, hukum terkesan menutup mata dari sentimen-sentimen kultural-keagamaan.

Melampaui Keterbatasan Keduanya

Melampaui keterbatasan dua konsep kewarganegaraan di atas, konsep kewarganegaraan deliberatif mengandaikan imajinasi kewarganegaraan yang lebih bijak. Bahwa konsep warga-negara melingkupi subjek hukum maupun subjek primordial secara sekaligus. Kewarganegaraan deliberatif memahami realitas kultural yang senantiasa berubah (becoming, bukannya being).

Apabila dalam model komunitarian entitas primordial (terutama komunitas dominan) diasumsikan mendahului negara, sementara model konstitusional memposisikan negara mendahului entitas primordial, maka model deliberatif, mengacu pada Jürgen Habermas (2001), memposisikan negara sebagai ruang (locus) bagi proses komunikasi politis diantara entitas-entitas primordial yang ada secara terbuka, setara dan bebas tekanan. Dalam konteks ini, kesediaan untuk meletakkan klaim lebih asli, lebih tua, lebih primordial menjadi penting.

Konsep kewarganegaraan, dengan demikian, dipahami lebih mengutamakan diskursivitas yang menjunjung prinsip-prinsip nilai keadaban (civic virtues). Kekuatan argumentasi rasional (berikut data-data penunjang), kejujuran (no hoax!), partisipasi secara setara, penghargaan atas keberagaman dan keberagamaan, prinsip nir-kekerasan dan penghormatan pada hukum sebagai formalisasi atas proses komunikasi diantara warga negara menjadi sangat penting. Tentu prinsip-prinsip itu berada dalam koridor semangat berdemokrasi.

Dengan demikian, kewarganegaraan deliberatif pada gilirannya turut menguatkan negara (berikut keputusan-keputusan yang dihasilkannya) melalui penguatan partisipasi warga-negara dalam proses perdebatan diskursif. Lebih lanjut, kewarganegaraan deliberatif menghindarkan dari potensi ketidakpercayaan warga terhadap negara, bahkan pembangkangan sipil (civil disobedience). Bahwa hukum terbentuk dari proses komunikasi deliberatif.

Keberadaan Perda-perda Syariah maupun Injil, dengan demikian, tidak menutup diri untuk didiskursuskan alih-alih dianggap sebagai doktrin kaku yang mengeliminasi hak-hak warga negara yang menuntut refleksi ulang. Penegasan PSI bahwa Perda Agama mengandung elemen-elemen yang mendiskriminasi kaum minoritas dan perempuan hendaknya disikapi dengan pendekatan demokrasi deliberatif: mengedepankan deliberasi dan perdebatan publik, bukan dengan penghakiman sepihak dan sempit, dengan menuduhnya sebagai penistaan agama. Argumen pro dan kontra dipertandingkan dalam forum-forum diskusi ilmiah dan obyektif di berbagai media yang ada. Bukan disikapi dengen pelaporan ke polisi. Lebih jauh, kesediaan untuk membuka diri atas produk hukum yang telah ditetapkan sebelumnya mencerminkan pendewasaan terus-menerus sebagai warga negara di tengah era yang bergeser kian cepat dengan tetap bersemangatkan integrasi nusa dan bangsa.

Fahrul Muzaqqi
Fahrul Muzaqqi
Pengamat Politik Universitas Airlangga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.