Kamis, Maret 28, 2024

Zonasi dan Pemerataan Pendidikan

Andil Siregar
Andil Siregar
Guru di SMP-SMA Sw. Katolik Budi Murni 3 Medan (YPK Don Bosco) dan Pegiat Literasi di Toba Writers Forum.

Kebijakan zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diterapkan oleh pemerintah tiga tahun terakhir ini menuai pro dan kontra di lapisan masyarakat. Pihak Pro menyatakan bahwa sistem zonasi ini efektif untuk pemerataan.

Sedangkan yang kontra menyatakan bahwa sistem ini tidak adil karena anak-anak berprestasi kurang kesempatan untuk bersekolah di sekolah yang dianggap favorit.

Pelaksanaan PPDB 2019 sebelumnya mengacu pada peraturan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018. Dengan adanya sistem zonasi, Pemda wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90 % dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Sementara itu melalui jalur prestasi kuota paling banyak 5% dan dari alasan perpindahan domisili orang tua karena bencana alam/sosial paling banyak 5 % .

Akan tetapi karena banyaknya keluhan terkait zonasi tadi, pada tanggal 21 Juni 2019 terbit Surat Edaran Mendikbud No 3 Tahun 2019. Surat edaran ini di tujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia. Adapun isi surat edaran ini menjelaskan bahwa jalur zonasi paling sedikit 80 %, jalur prestasi paling banyak 15% dan perpindahan 5%. Jadi surat edaran inilah yang menjadi acuan Pemda dalam melaksanakan PPDB tahun 2019 ini.

Secara pribadi saya sebagai seorang guru, menyambut riang sistem zonasi ini ketika mulai diterapkan mulai tahun 2017. Menurut saya zonasi adalah salah satu cara efektif dalam pemerataan pendidikan. Mengapa saya katakana efektif? Pertama dengan adanya zonasi tidak ada lagi istilah sekolah favorit dan non favorit.

Karena tanpa kita sadari penggunaan istilah tadi mendorong legitimasi tidak baik pada sekolah tertentu dan legitimasi berlebihan pada sekolah yang lain. Karena legitimasi di masyarakat tadi timbul kastanisasi sekolah selama ini. Kastanisasi sekolah tadi selanjutnya mendorong komersialisasi terselubung pada sekolah-sekolah tertentu untuk mendapatakan keuntungan dari para peserta dan orang tua didik.

Sekolah dan Guru untuk Siapa?

Jadi penerapan kebijakan zonasi ini sesungguhnya sudah sangat tepat, hanya mungkin perlu sedikit penyempurnaan dan pengawasan ketika diterapkan dilapangan. Untuk membuka gambaran pemikiran kita, mari kita jawab sejenak pertanyaan ini : Untuk siapakah sesungguhnya sekolah dan Guru hadir?

Bagi saya, sekolah sesungguhnya hadir untuk semua orang yang haus akan pengetahuan dan berkeinginan untuk lebih baik dari sebelumnya. Selama anak-anak masih memiliki rasa ingin tahu dan berkeinginan menambah pengetahuanya sudah selayaknya sekolah  memfasilitasinya.

Demikian halnya dengan guru, guru dihadirkan bukan hanya untuk orang pandai atau yang banyak tahu. Sebaliknya guru dihadirkan untuk membimbing dan mengarahkan siswa-siswa yang masih kurang tahu menjadi lebih tahu. Saya mengatakan demikian bukan berati  saya menyatakan sekolah bukan untuk orang pandai melainkan sekolah menjadikan siswa lebih pandai dari sebelumnya.

Sederhananya begini, andaikan ada siswa X ketika mendaftar di sekolah A dengan nilai 30 setelah di ajari di sekolah A nilainya menjadi 70. Bandingkan dengan siswa Y yang diterima dengan nilai 85 di sekolah B, setelah diajari nilainya jadi  90. Manakah sekolah yang lebih bagus? Manakah guru yang lebih berhasil?

Kalau bagi saya sekolah bagus adalah sekolah A, dan guru yang behasil juga guru di sekolah A. Sekalipun kalau kita melihat dari segi  Ketuntasan Keberhasilan Mengajar (KKM) si X belum melampaui KKM. Kita misalkan KKM sekolahnya 75. Sesungguhnya keberhasilan pencapaian si anak didik tergambar pada proses bagaimana anak belajar, bukan semata pada  hasil akhir belajar.

Hal demikianlah yang membuat saya  pribadi secara umum tidak setuju dengan sistem seleksi yang diterapakan oleh sekolah-sekolah negeri di tahun-tahun yang lalu. Banyak sekolah mengklaim mereka unggulan dan bagus karena seleksi mereka begitu ketat. Tetapi kembali gambaranya seperti yang saya gambarkan diatas.

Sekolah yang bagus seyogianya harus bisa hadir dan meningkatkan kualitas setiap anak yang hadir di sekolah mereka. Bukan semata mata mereka bagus karena disuguhi siswa-siswa seleksi yang sudah pandai sebelumnya. Guru juga harus bisa membimbing, mengarahakan dan mengajari siswa-siswi yang diajarinya untuk senantiasa lebih berkembang kearah yang lebih baik dari sebelum di diajari si guru tersebut.

Hal kedua yang membuat saya setuju dengan sistem zonasi ini adalah dapat meminimalkan praktek kecurangan dalam penerimaan siswa baru. Seperti di tahun-tahun sebelumnya marak kita temui kecurangan dalam setiap penerimaan siswa baru.

Dengan adanya sistem zonasi ini kita berharap tidak lagi kita dengarkan berita seseorang membayar sekian hanya untuk dapat masuk di sekolah X, karena mereka klaim sekolah itu sekolah favorit. Dengan zonasi, kita berharap tidak ada lagi mendengar istilah sekolah negeri, tempat anak-anak orang kaya dan pejabat. Tidak juga nantinya kita dengar sekolah negeri pinggiran dan sepi siswa. Dengan demikian kelak paradigma masyarakat yang selama ini mengelompokkan dan mengkastanisasi sekolah akan berubah.

Ketiga, peluang anak kurang mampu untuk diterima di sekolah negeri akan lebih besar. Selama ini sering kita jumpai anak-anak kurang mampu jadi terpaksa  sekolah di  swasta karena  tidak lulus di negeri.

Padahal kita tahu biaya sekolah swasta tentu lebih mahal, dan ini akan lebih membebani anak tadi untuk sekolah. Dengan adanya zonasi peluang anak-anak tadi akan lebih besar untuk masuk di sekolah negeri dekat dengan domisili mereka. Hal itu karena PPDB mengharuskan SMA sederajat membebaskan biaya pendidikan untuk peserta didik dari keluarga ekonomi tidak mampu sebesar 20 % kuota zonasi.

Menyempurnakan Zonasi

Tujuan dari zonasi memang sudah baik akan tetapi seperti yang saya sampaikan diawal perlu penyempurnaan karena tentu masih memiliki kelemahan. Pemerintah perlu menggaris bawahi penyebaran sekolah negeri yang tidak merata. Sebagai contoh bisa saja rumahnya yang hanya 1 km dari sekolah tidak diterima karena di zonasi sekolah. Hal tersebut bisa jadi karena banyak sekali calon siswa tinggal di perumahan yang padat penduduknya. Untuk itu kedepan pemerintah perlu mengkaji perkembangan penduduk dengan penyebaran sekolah.

Tentu masih ada masalah yang mungkin timbul selain yang saya sebutkan tadi dalam sistem zonasi ini. Akan tetapi janganlah kiranya masalah tersebut jadi alasan untuk mematahkan sistem zonasi PPDB.

Mari kita awasi dan kita beri masukan yang membangun dalam penyempurnaan sistem zonasi PPDB ini tahun yang akan datang. Dengan demikian kita berharap sistem ini kedepan dapat mengurangi kesenjangan pendidikan dan membantu penyelenggaran pendidikan yang lebih merata.

Zonasi kita harapkan dapat menghapus  kastanisasi sekolah yang sebelumnya sudah terlegitimasi untuk beberapa sekolah. Sebagaimana yang tertuang dalam sila kelima, baiklah juga pendidikan kita berkeadilan untuk semua warga Indonesia. Semoga.

Andil Siregar
Andil Siregar
Guru di SMP-SMA Sw. Katolik Budi Murni 3 Medan (YPK Don Bosco) dan Pegiat Literasi di Toba Writers Forum.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.