Meminjam istilah masyarakat industrial Kuntowijoyo dalam masyarakat tanpa masjid (2001), merupakan kondisi masyarakat yang terkungkung oleh rasionalisasi, komersialisasi dan monetisasi. Mengutip pendapat Robert Bala, otak manusia telah menjadi instrument positivistik menjadikannya pelayan demi memperoleh uang (monetisasi) sebanyak-banyaknya. Untuk memperoleh tujuan tersebut apapun dapat dikomersialisasikan termasuk rasionalitas mereka sendiri.
Rasionalitas sekarang telah bergeser menjadi sebuah komoditas yang dapat diperalat, dimanipulasi, memberikan keuntungan baik secara sistematis dan ekonomis. Salah satu pemanfaatan rasionalitas tersebut melalui arus media informasi. Di era sekarang, media informasi terutama media sosial menyajikan informasi-informasi demi memperoleh keuntungan pihak-pihak tertentu.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sekarang merupakan era post-truth. Steve Tesich menggunakan istilah post-truth dalam artikelnya yang berjudul The Government of Lies, merujuk pada kondisi atau situasi yang terpengaruh oleh ketertarikan emosional dan kepercayaan pribadi lebih dominan daripada fakta dan data yang objektif.
Berita-berita di media sosial di produksi bukan untuk menyajikan informasi yang bersifat edukatif tetapi di produksi untuk menggerakkan emosi publik agar memperoleh simpati massa. Publik pun cenderung mengkonsumsi berita berdasarkan kemunculan di lini masa mereka.
Media sosial dijadikan sasaran empuk oleh oknum-oknum tertentu terutama para pelaku politik untuk mempengaruhi opini publik. Di sejumlah negara, para pemain politik dapat mempengaruhi pembentukan pendapat publik terutama untuk menentukan sikap politik, sebut saja di pemilu India ketika Narendha Modhi mengolah isu-isu terkait etnisitas dan agama.
Para pemain politik tidak sadar apabila konsumsi berita tersebut dapat memunculkan aksioma, kondisi dimana pernyataan dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian. Menurut data dari Kemenkominfo terdapat 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Lalu menurut data yang dihimpun oleh Badan Intelejen Negara (BIN) pada 2018 terdapat 60 persen konten di media sosial merupakan informasi palsu.
Karakter media sosial yang mudah untuk disebarkan tanpa adanya kontrol informasi seperti media konvensional memang menjadi sasaran arus informasi palsu tersebut. Kemudahan akses oleh beberapa kalangan tanpa adanya penyaringan informasi seperti kode etik jurnalistik, regulasi dan tanggung jawab sosial membuat media sosial memberikan arus informasi palsu yang besar kepada masyarakat luas.
Arus informasi tersebut dimanfaatkan sebagai alat propaganda terutama oleh pemain politik yang sedang berkontestasi. Selama Pilkada 2020 dari rentang tanggal 1 September hingga 18 November 2020, Kemenkominfo telah menemukan 38 isu hoaks terkait Pilkada 2020.
Dalam opini Jawa Pos berjudul Pabrik Hoaks dan Para Pengecernya, Okky Madasari menganalogikan penyebaran arus informasi palsu seperti pabrik sabun yang memiliki jalur distribusi hingga ke pedagang kelontong di sudut kampung pedalaman. Arus informasi palsu pun memiliki agen-agen pengecer hoaks ke berbagai media sosial.
Penyebaran informasi palsu yang memiliki kemasan dalam bentuk yang menarik dan dinamis seperti berupa video, memudahkan siapapun untuk menjangkau orang-orang yang sering mengakses media sosial dengan permainan algoritma. Film dokumenter The Social Dilemma memberikan gambaran nyata mengenai algoritma dan sistem komputer yang bekerja untuk mendikte dan membentuk perilaku terkait informasi macam apa yang akan dikonsumsi oleh seseorang.
Apabila seseorang sering mengakses platform berita pariwisata maka setiap hari ia akan sering menemukan informasi-informasi berita pariwisata melalui linimasa media sosial mereka. Begitu pula dengan berita palsu, ketika seseorang sering mengakses platform penyebar berita palsu maka ia akan dijejali oleh informasi-informasi palsu dari platform berita yang muncul dalam linimasa media sosial mereka.
Langkah Preventif
Untuk mengatasi distribusi dari arus informasi hoaks, pemerintah sebenarnya sudah membuat peraturan tegas dalam pasal 28 ayat 1 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ancaman hukuman bagi penyebar hoaks yaitu pidana penjara enam tahun dan denda Rp 1 miliar.
Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan masyarakat semakin berhati-hati baik untuk menerima atau menyebarkan informasi melalui platform digital terutama media sosial. Sebab, masyarakat yang secara sadar ataupun tidak sadar bisa menjadi distributor berita hoaks dan dapat terkena ancaman hukuman karena dianggap turut mendistribusikan berita hoaks. Langkah preventif melalui perundang-undangan harus disertai dengan gerakan dan kesadaran masyarakat terutama terkait dengan literasi.
Ziarah ke Media Sosial
Ziarah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kunjungan ke tempat yang dianggap mulia. Perjalanan pembacaan di era masyarakat yang industrial dengan arus informasi yang serba cepat harus dapat memilih dan memilah segala bentuk informasi yang muncul.
Melawan proses penyebaran arus informasi palsu untuk kepentingan politis kelompok tertentu dapat dilakukan mulai dari diri kita sendiri. Proses tersebut kini dapat diparafrasakan dengan perjalanan ziarah informasi, pembaca harus berbekal kemampuan literasi yang kritis dan mengedepankan fakta yang rasional terhadap segala informasi yang beredar.