Belakangan banyak ramai diperbincangkan publik perihal “musuh terbesar Pancasila adalah agama” oleh kepala badan pembinaan ideologi Pancasila (BPIP). Tak heran bila kalimat tersebut menuai banyak kritik dan tak sedikit pula golongan yang mau menerima pernyataan kepala BPIP yang baru tersebut.
Entah telah berapa banyak buku yang membahas tentang relasi negara dan agama. Tidak kurang jumlah pakar dan ahli tata negara di Indonesia dalam mengharmoniskan dua kutub bersebrangan tersebut. Akan tetapi, hubungan negara dan agama selalu menarik didiskusikan dan hangat diperbincangkan.
Galibnya, bentuk negara kesatuan telah dipandang final, namun tidak demikian dengan Pancasila sebagai ideologi. Peranan Pancasila sebagai ideologi negara masih menuai kritik tajam dari kelompok agama (muslim tradisional) sejak Orde Baru (Orba) hingga sekarang.
Oleh karenanya Pancasila tidak pernah berhenti didiskusikan. Pancasila perlu didialogkan agar tidak berhenti sebatas komitmen bersama, melainkan harus diwujudkan cita-cita Pancasila itu sebagai core inti dalam berbangsa dan bernegara.
Semangat Keagamaan di Indonesia
Sebelum menghakimi pernyataan kepala pembina Pancasila, kita perlu menelisik ke dalam laku hidup keagamaan di Indonesia yang mendorongnya menempatkan agama sebagai musuh terbesar. Apalagi, belakangan di negara kita marak terjadi aksi massa dengan mereduksi peran agama demi kepentingan politik semata.
Semangat keagamaan muncul di tengah arus politik nasional menjelang Pemilu 2014. Isu agama semakin mengemuka, setelah munculnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Aksi bela Islam berjilid pun dimulai sampai setelah Pilpres 2019.
Maka, yang menjadi musuh besar Pancasila dalam perspektif Yudian Wahyudi adalah bukan perkara keyakinannya, melainkan pada politisasi terhadap agama tersebut. Bagaimanapun juga agama memiliki gaya gravitasinya yang khas dan hidup bersama manusia di dunia.
Peristiwa Ahok dan aksi bela Islam tentu perlu dituntaskan. Agenda pokok yang harus diperhatikan adalah meninjau kembali relasi negara dan agama yang bisa menjadi bom waktu bila tidak segera dicarikan solusinya. Bilamana hal itu luput dari jangkauan tangan pemerintah maka agama bisa semakin teredusir oleh kelompok berkepentingan yang mengatasnamakan agama.
Sejatinya, mereka ini adalah kelompok agama yang rentan, mudah diarahkan dan tidak berfungsi optimal kecuali hanya sebatas perkumpulan Ulama yang berperan memberikan legitimasi kekuasaan terhadap sejumlah petinggi politik.
Cukup banyak orang Indonesia yang masih berpegang teguh pada teks suci dan keyakinan agama daripada teori demokrasi. Inilah fakta dan bila kita telusuri lebih jauh ke beberapa daerah akan tampak masyarakat kita yang plural berpegang teguh pada prinsip agama setiap kali mengambil keputusan.
Pertanyaanya kemudian, seberapa relevankah peran agama dalam menghadapi masalah sosial seperti korupsi, banjir di Jakarta, dan melonjaknya harga bawang di pasar?
Sejauh ini ideologi modern, agama, dan pemerintah telah gagal membuat visi hidup yang layak bagi masa depan umat manusia. Kelompok agama mungkin akan dengan mudah mencari visi hidup yang layak menurut kitab suci mereka masing-masing. Namun teks suci hanyalah sebatas teks yang selama ini masih belum bisa ditransformasikan secara maksimal ke dalam bentuk yang lebih universal.
Identitas Nasional
Hubungan negara dan agama merupakan masalah sejarah yang tak pernah usai. Robert Cribb sebagaimana dikutip oleh Carool Karsten (2018:146) melihatnya sebagai dua tema abadi dalam sejarah Indonesia sejak merdeka pada 1945. Terang saja ini akan menjadi dialog yang akan selalu hangat diperbincangkan, karena pemerintah sendiri telah menempatkan Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Pernyataan Yudian Wahyudi bukanlah hal baru. Pernyataan tersebut merupakan bagian dari kelanjutan tradisi intelektual muslim Indonesia. Sebagaimana pernah disinggung oleh Nurcholis Madjid dalam makalahnya berjudul ‘Islam di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansiasi Ideologi dan Etos Nasional’, As’ad Said Ali dalam bukunya ‘Negara Pancasila’ terbit tahun 2009, dan Luthfi Assyaukanie berupa ‘Ideologi Islam dan Utopia’ diterbitkan tahun 2011. Artinya, Yudian Wahyudi ingin mengajak dialog terbuka dan sekaligus menguatkan kembali Pancasila sebagai “Perjanjian Agung” bangsa Indonesia.
Misi besar Yudian Wahyudi selaku kepala pembina Pancasila. Narasi politik dan agama harus bisa dipisahkan supaya tidak menjadi politik berbasis kepercayaan “faith politics”. Sejak reformasi, benih ini telah tumbuh subur dan banyak merebut simpati kaum millennial, sebab itu perannya di tengah politik nasional cukup diperhitungkan. Gerakan 212 cukup menjadi bukti nyata bahwa ancaman terhadap ideologi negara (Pancasila) itu ada di antara kita.
Menyegarkan kembali Pancasila. Ada sejarah yang terputus pada generasi millennial, negara tidak hadir di tengah mereka untuk mentransformasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan bangsa agar tidak sekedar menjadi angan-angan belaka.
Sebagai tindakan preventif negara harus hadir. Sejalan dengan itu, Bahtiar Effendy dalam Karsten (2018) pernah menyeru tentang gagasan pembaruan pemikiran Islam yang substantif. Dalam analisisnya ia mengemukakan tiga agenda pembaruan dalam meninjau relasi negara dan agama di Indonesia yaitu pembaruan teologis, reformasi politik-birokrasi, serta transformasi sosial.
Memang cukup berat, karena itu tidak boleh stengah hati bila menginginkan Pancasila kembali digandrungi oleh generasi millennial. Akan semakin percuma bicara “musuh terbesar Pancasila adalah agama” bila tontonan televisi kita dari dulu hingga kini masih dipenuhi dengan tayangan sinetron yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila.
Sederhananya begini. Kalaupun generasi muda dan beberapa sub-elemen masyarakat tidak lagi tertarik pada Pancasila, alasannya bukan semata-mata karena wacana politik agama atau akibat penetrasi budaya luar. Lebih dari itu, karena Pancasila selama ini hanya menjadi pemanis ruangan yang terletak di dinding antara dua tokoh petinggi republik.
Pada akhirnya, percuma saja Yudian Wahyudi mengunggulkan Pancasila tinimbang agama bila tidak ada perumusan teknisnya. Alih-alih berusaha mengeluarkan “paradigma sempit” masyarakat Indonesia dari agama (bukan keyakinannya) malah justru ia ingin menguatkan kembali identitas nasional, sebagai Negara Demokrasi Pancasila.