Jumat, Maret 29, 2024

Yogyakarta dalam Lingkaran “Setan” Pembangunan

Helmi Iqbal Mahardika
Helmi Iqbal Mahardika
S1 Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik di UPN "Veteran" Yogyakarta

Yogyakarta tak ubahnya seorang “adik” bagi ibukota Jakarta. Banyak hal yang dirasa mirip diantara kedua daerah tersebut. Mulai dari historisnya, hingga permasalahan kota yang hampir serupa. Sama-sama pernah menjadi ibukota negara, setidaknya Jakarta bagaikan “abang” bagi Yogyakarta.

Terlebih dahulu menjadi ibukota pada 1945, Jakarta menjadi saksi historis pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera pertama. Sedangkan Yogyakarta, pernah melindungi negara saat agresi militer Belanda Kedua. Kendati terkoyak karena rela menggantikan sang kakak sebagai ibukota, Yogyakarta tidak pernah menggeluh. Bahkan secara penuh menyerahkan kedaulatannya kepada NKRI.

Sifat seorang adik pastilah mencontoh seorang kakak. Hal itulah yang sepertinya terjadi diantara Jakarta dan Yogyakarta, setidaknya dalam hal pembangunan dan tata kota. Lihat saja bagaimana sempitnya gang didalam kota, bahkan hanya bisa dilewati oleh satu sepeda motor saja.

Ketika berpapasan dengan pengguna sepeda motor yang lain, tidak ada solusi lain kecuali putar balik. Lebih luas lagi, saat jajaran beton ditumpuk menjulang keatas, merebut konetivitas masyarakat menuju dunia global. Bagaimana mungkin sebuah gedung bisa berhimpitan dengan sebuah rumah? Itu adalah masalah peraturan, yang kadang ditepati namun lebih sering diingkari.

Perda Kota Yogyakarta No 1 tahun 2015 tentang tata ruang tak ubahnya macan ompong. Pasalnya, pengaturan tata ruang hanya diperuntukan bagi bangunan yang didirikan sejak perda tersebut diberlakukan. Sehingga bangunan yang terlanjur berdiri sudah tidak bisa lagi diotak-atik.

Walaupun sudah diatur sedemikain rupa melalui Perda No.2 tahun 2010 maupun Perda No.1 tahun 2015, masih banyak bangunan yang terus dipaksakan dibangun di Kota Yogyakarta maupun daerah disekitarnya. Pembangunan hotel dan mal mengubah wajah DIY menjadi kota metropolitan yang dapat menggeser konsep sebagai kota pelajar maupun budaya.

Seperti keterangan Zairin Harahap selaku ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Universitas Islam Indonesia, yang pernah dimuat dalam TribunJogja.com tertanggal 11 Januari 2015. Zairin menuturkan bahwa perda tata ruang tidak memperbolehkan bangunan mall dan hotel berada di pinggir jalan, tapi banyak yang mensiasatinya dengan seolah-olah membuat jalan masuk sendiri, sehingga tidak terkesan di pinggir jalan.

Lebih lanjut lagi Zairin meyakini bahwa kebijakan perizinan masih dibawah kendali ekonomi, artinya siapa saja yang punya uang bisa bayar, izin mendirikan bangunan bisa keluar dengan mudah.

Yang penting uang, itulah pikiran para Taipan. Tidak peduli bagaimana peraturan dibuat, yang penting “bangun bisnis sekarang, dapatkan profitnya, segera bangun bisnis lain dan dapatkan profitnya”.

Tidak ada kata cukup, karena seorang konglomerat adalah orang yang banyak maunya dan tidak focus, mengapa demikian? Faktanya para konglomerat ketika disodori bisnis baru yang menjanjikan dan berprofit besar, mereka akan secepat kilat membangun bisnis. Jika ada yang menghalangi, bayar dengan royalti.

Prinsip konglomerat membuat tempat hiburan dan pusat perbelanjaan dimana saja asal berprofit besar. Tidak heran jika hotel dan mall kian hari kiat dekat dengan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Sering kita melihat anak bau kencur yang berseragam sekolah mondar-mandir di sebuah mall sambil bergandengan tangan, dan para mahasiswa yang bolos kuliah demi nonton premier film terbaru.

Kita tidak bisa menyalahkan anak muda, karena tempat hiburan dan pusat perbelanjaan merupakan fasilitas yang disediakan, dan menjadi hak bagi mereka untuk menikmatinya. Yang perlu disoroti adalah pengembang dan pemerintah yang dengan berani membangun mall di kawasan pendidikan.

Sebetulnya tidak hanya hotel dan mall yang pembangunannya tidak ideal. Tempat “ajeb-ajeb” pun tidak memperhatikan tata ruang yang ditetapkan. Bayangkan saja, ada diskotik yang berada persis di depan sebuah perguruan tinggi. Masuk akal atau tidak, ketika seharusnya tempat menempuh pendidikan berada di tempat kondusif justru disejajarkan dengan tempat maksiat.

Pada akhirnya saya tidak akan heran dengan perubahan sosial masyarakat Yogyakarta yang “kalem” dan penuh kekeluargaan, tiba-tiba berubah menjadi seorang barbar yang seolah tidak memiliki aturan lagi untuk hidup.

Lihat saja di Jalan Magelang, setiap pagi para muda-mudi keluar dari satu tempat yang sama. Saling memanggul sana-sini, terlihat tidak sadarkan diri. Zaman dulu, mana ada kejadian seperti itu, yang ada pagi-pagi masyarakat pergi ke Surau untuk berjamaah Sholat Subuh. Aturan jam malam pun tak seketat dulu, dimana pukul 22.00 sudah tidak ada lagi aktivitas. Sekarang justru sebaliknya, pukul 22.00 masyarakat baru beredar mencari kegiatan.

Konsekuensi pembangunan memang mengerikan. Teori “Central Place Theory” menyatakan bahwa kota memang menjadi penyedia fasilitas, terutama jasa. Terlebih lagi kota yang besar, akan melahirkan penghuni yang heterogen dengan berbagai kedudukan sosial yang membuat sekat diantara masyarakat. Akibatnya hubungan antar masyarakat di Yogyakarta menjadi tidak lagi “kejawen”. Pola kegotong-royongan akan kalah dengan gengsi yang kian hari membumbung tinggi.

Helmi Iqbal Mahardika
Helmi Iqbal Mahardika
S1 Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik di UPN "Veteran" Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.