Satu lagi tayang video menghebohkan dunia pendidikan, hadir di tengah-tengah kita. Sekumpulan siswi berseragam putih abu-abu, menaiki angkutan umum dengan riang.
Di sela kegembiraan mereka, salah satunya bertugas menuangkan air ke dalam gelas. Entah isinya apa, tapi tampak salah satu siswa setelah meminumnya, lidahnya merasakan sesuatu yang aneh. Rasa yang selama ini tak pernah ia nikmati seperti kopi atau teh.
Sepertinya bukan kopi atau teh. Jika menilik warna airnya, agak keruh kekuningan. Entah namanya apa, yang jelas mata peminumnya pun kemudian memerah. Bukan hanya itu. Ada beberapa di antara mereka yang memegang sebatang rokok, menghisapnya dengan tenang, dan menghembuskan asap rokok ke wajah teman lainnya. Mereka sangat menikmati adegan yang tak seharusnya tersebut, di tempat umum dan direkam selama beberapa menit.
Tidak bermaksud menyalahkan pihak mana pun, akan tetapi yang mengherankan, masih saja ada hal semacam ini yang sengaja dilakukan dan dipublish bebas. Ada rasa bangga bagi sebagian mereka yang melakukannya. Namun sisanya, mungkin saja karena terdesak sikap solidaritas, jika tak ingin dikucilkan. Ada di mana kejadian itu berlangsung, saya tak terlalu memahaminya. Hanya saja, saya sudah berusaha memutar ulang dan mencermati badge lokasi sekolah, tapi belum juga berhasil mendapatkan identitas sekolah tersebut.
Jika dilihat waktu perekamannya, sepertinya terjadi di siang hari sebab latar belakang kaca angkutan umum tersebut tampak cerah putih. Belum menunjukkan waktu jelang senja. Patut diduga bahwa peristiwa ini dilakukan oleh sekumpulan siswa yang tidak mengalami proses lima hari belajar. Andaikan salah, mungkin saja mereka menyempatkan waktu tertentu untuk cabut bareng dan pesta di angkot.
Pihak sekolah dan guru tak bisa serta merta disalahkan dalam hal ini. Kalau pun mereka cabut bareng, pasti tanpa sepengetahuan guru piket. Mereka akan mencari celah dan kesempatan untuk kabur, dan tidak melalui gerbang utama sekolah. Bukan penjaga sekolah juga yang salah, sebab umumnya jumlah penjaga sekolah tidak sebanding dengan jumlah siswa. Dan biasanya penjaga sekolah nyambi jualan di kantin sekolah.
Lantas, siapa yang ‘enaknya’ disalahkan dalam peristiwa ini? Sepertinya lebih pas jika orang rumah yang disalahkan. Tapi jangan buru-buru marah ya. Bukan hanya orang tua, tapi jika ada kakak, kakek nenek, atau walinya, semua harus ikut menanggung kewajiban untuk mengingatkan mereka.
Sepertinya siswi-siswi tadi berasal dari keluarga baik-baik dan tidak kekurangan secara ekonomi. Ini bisa diamati dari cara mereka duduk di angkot, memegang gelas, dan berbusana. Bahasa tubuh mereka pun mencerminkan kepribadian yang begitu santun. Hanya saja, yang dilakukan itulah yang keliru.
Mereka berasal dari keluarga yang tidak kekurangan secara ekonomi sebab pakaiannya tampak bersih dan rapi dari sisi tepi setrikaan. Atributnya pun bagus dan senada. Sepatunya juga demikian, yaitu ada dua siswa yang memakai sepatu branded. Sungguh sangat disayangkan.
Mungkin saja orang rumah sudah mewanti-wanti agar bergaul dengan teman yang punya visi positif. Memang sudah ketemu orang yang dimaksud itu. Tapi kemudian ada kejadian lain, teman yang punya visi positif tadi juga punya teman yang punya visi negatif, dan kebetulan sedang terbelit masalah di rumah. Maka jadilah peristiwa tadi. Betul kan saya bilang, bukan salah orang rumah kan?
Faktor lainnya, sepertinya karena mereka punya uang saku lebih sehingga bisa membeli ini itu, di luar uang saku mereka. Kasih sayang orang tua ketika memberikan uang jajan ekstra, patut diacungi jempol. Mereka khawatir jika anaknya ada kegiatan ekstra di sekolah, dan mengharuskan mereka pulang agak terlambat. Akibatnya butuh uang tambahan untuk naik kendaraan umum yang jumlah nominalnya berlipat, semacam taksi. Sudah sangat tepat kepedualian orang tua yang begini.
Yang belum tepat adalah penggunanya. Siapa, ya anaknya tadi. Pas ada uang lebih, pas ketemu teman yang mengajak rokok dan minum, pas butuh teman curhat juga. Klop deh. Lantas, hal apa yang bisa memagari semua itu? Hanya satu, yaitu kasih sayang dengan sentuhan agamis. Apapun itu, jika disentuhkan dengan unsur agama, anak akan gamang melakukan hal negatif. Ia akan punya pendirian positif tentang hal yang harus diikuti dan ditolaknya.
Cara menolaknya pun perlu diajarkan oleh orang tua agar anak tak menjadi objek bullying di sekolah. Sesekali memang harus berinteraksi dengan grup siswa yang agak condong ke hal-hal tadi, namun sebagian besar waktunya bisa dialihkan pada kegiatan positif.
Ada keyakinan pada diri saya, bahwa semua orang tua punya kekuatan dan kemampuan batin dalam membekali putera-puterinya ketika harus mengendalikan situasi yang tak menguntungkan. Selain bekal dari orang rumah, ada bekal lain bisa diberikan oleh sekolah, seperti penguatan nilai pendidikan karakter.
Nilai ini bisa diperkenalkan secara langsung kepada siswa melalui pelibatan mereka dalam kegiatan ekstrakurikuler. Semangat kemandirian, tanggung jawab, dan kejujuran bisa menjadi modal awal pengenalan itu. Jangan dulu mengatakan, emang gampang nulisnya tapi nglakuinnya susah.
Pernah ada bukti yang menjadikan penguatan nilai karakter dapat mengubah kebiasaan siswa, yaitu – misalnya – dengan membiasakan mereka memimpin apel pagi sekolah. Ada unsur disiplin dan tanggung jawab di situ. Berawal dari hal-hal kecil itulah, diharapkan akan muncul kesadaran diri untuk lebih bertanggung jawab. Itu saran saja sih, bagaimana baiknya silakan dipraktikkan sendiri dengan perlakuan terhadap siswa yang lebih humanis.