Kamis, April 18, 2024

Yamin dan Tafsir Tunggal Atas Sejarah Indonesia

yasin ahmad
yasin ahmad
Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta.

Kebutuhan historiografi atau penulisan sejarah dilandasi oleh niat beragam. Sejak Herodotus (484-425 SM) menulis perang Yunani-Persia (478 SM) hingga periode munculnya aliran Sejarah Baru pada abad 20, ilmu sejarah dikatakan berkembang, meski belum—dan tidak akan—sempurna.

Semula, fakta dan fiksi bercampur. Hal-hal supranatural dipercaya sebagai sebab-akibat peristiwa. Lalu, ada masanya rasionalitas diunggulkan; ilmu-ilmu sosial digunakan untuk pisau bedah analisis.

Perkembangan yang sangat metodis ini membikin ilmu sejarah tidak lantas menjadi ilmu yang suci. Lahirnya gagasan dan hasil-hasil penelitian sejarah juga bisa politis. Tujuannya: untuk menguatkan posisi dan legitimasi.

Di Indonesia, kita kerap dikenalkan bahwa Majapahit adalah cikal-bakal negara Indonesia. Cocoklogi paling gampang untuk bisa mengatakannya berdasar pada informasi: posisi geografis dan wilayah negara Indonesia sekarang hampir sama luasnya dengan wilayah kekuasaan Majapahit.

Akhirnya, klaim ini pun diakui dan distempel sebagai sejarah resmi nasional. Kebesaran Majapahit ditambahkan untuk memengaruhi posisi tawar Indonesia, apalagi untuk dalih peneguhan identitas nasional.

Munculnya klaim-klaim yang berpijak pada kebesaran kerajaan-kerajaan masa lalu salah satunya bermula dari seorang nasionalis, Muhammad Yamin. Pada kepindahannya ke Jawa untuk bersekolah di Algemeene Middelbare School (1926-1927), Yamin menemui satu kenyataan: bahwa sesungguhnya rakyat Hindia Belanda pernah di bawah satu naungan pada zaman pra-Islam.

Ini terjadi setelah ia mengetahui banyak tentang Majapahit. Yamin banyak membaca buku sejarah dan kitab sastra kuno seperti Pararaton dan Nagara Kretagama. Dua kitab Jawa tersebut dibaca Yamin dari saduran professor Belanda, H. Kern.

Tidak seperti Nasionalis Jawa yang pada 1917 menyerukan pemurnian kebudayaan Jawa sebagai jalan ideal mendirikan negara Jawa, Yamin justru menggunakannya untuk propaganda konsep persatuan yang meliputi seluruh wilayah bekas Majapahit. Bisa jadi, ia terinspirasi pencapaian Majapahit dan mengadopsi sistemnya untuk keadaan sekarang. Hal itu tampaknya yang menjadi perbedaan Yamin dengan kaum Nasionalis Jawa, khususnya dari segi orientasi.

Secara tidak langsung Yamin menjadikan kegemilangan Majapahit dan kebudayaan pra-Islam sebagai pendorong untuk bersepakat hidup bersama, tanpa sekat-sekat kesukuan yang sebelumnya direpresentasikan oleh perkumpulan pemuda daerah. Perspektif ini digunakan Yamin secara tepat saat masa pergerakan, terutama dalam melawan hegemoni Belanda. Belakangan, Yamin dinilai terlalu serampangan menjadikan Majapahit tolak ukur persatuan.

Yamin dianggap tidak menguji terlebih dahulu, apakah persatuan Majapahit memang dicapai atas dasar kesekapatan secara damai, atau melalui ekspansi yang penuh pertumpahan darah?

Di sisi lain, kaum Nasionalis Jawa pimpinan Soetatmo Soerjokoesoema justru “lebih sadar” daripada Yamin. Mereka tidak menampik adanya pula-pulau luar (Jawa) bagian dari sahabat mereka. Namun, dengan nada skeptis, mereka juga menyampaikan bahwa tidak mungkin hidup dalam “rumah tangga yang sama”.

Pendapat kaum nasionalis Jawa merujuk pada perbedaan latar belakang Jawa dengan suku lain di pulau luar serta supremasi kaum Jawa sendiri di antara yang lain. Soerjokoesoema dkk. bahkan menulis di Wederopbouw, media cetak mereka, bahwa Majapahit dan Pajajaran “menghubungkan kalian dengan kenangan yang kurang menyenangkan.”

Pasca Indonesia merdeka, nation building menjadi program kerja bersama. Tujuannya, tak lain untuk memantapkan identitas nasional di masyarakat. Muncul kemudian apa yang disebut Anthony Reid sebagai fenomena pahlawan. Pahlawan menjadi fenomena paling krusial di saat Indonesia masih berusia muda.

Menurut Reid, melalui pahlawan, ditemukan formula yang menghubungkan pengalaman masa lampau dengan identitas nasionalis yang baru. Untuk itu, dipilihlah pahlawan-pahlawan yang memiliki representasi geografis luas, setidaknya sebagai simbol persatuan dan legitimasi berdirinya Negara Republik Indonesia.

Banyak buku sejarah bertemakan sejarah perjuangan nasional terbit. Mereka melawan narasi yang dibangun Belanda bahwa segala bentuk perlawanan terhadap penjajah adalah pemberontakan. Diponegoro, Imam Bonjol, atau Teuku Umar kini memperoleh predikat sebagai pahlawan bangsa, kendati konsep bangsa pada konteks pahlawan itu masih sebatas teritori wilayah mereka.

Selain membalik narasi sejarah zaman Belanda, fenomena pahlawan juga digunakan untuk menegaskan persatuan Indonesia, yang konon secara kultural sudah terbentuk sejak kerajaan-kerajaan Hindu-Budha. Yamin merupakan salah satu orang yang berkontribusi Bukunya tentang patih terbesar Majapahit diberi judul Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara, diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka tahun 1945.

Tidak cukup hanya menggambarkan sebagai pemersatu, Yamin lalu mengarang wajah Gajah Mada. Keyakinannya tentang rupa Gajah Mada didasarkan pada pecahan celengan yang ia temukan di Trowulan. Ia lalu menyuruh seniman Henk Ngantung melukis wajah Gajah Mada berdasarkan temuannya. Entah benar atau tidak, nyatanya wajah Gajah Mada menjadi sampul bukunya dan memengaruhi imajinansi orang untuk membayangkan wajah asli Gajah Mada.

Ambisi Yamin sebagai sejarawan makin jelas ketika ia menerbitkan Sapta Parwa, buku tentang tata negara Majapahit berjumlah tujuh jilid. Buku ini ia kerjakan saat masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1954. Dalam buku itu, ia memaparkan jalannya sistem pemerintahan Majapahit beserta hukum-hukumnya.

Sebagai seorang nasionalis, Yamin secara implisit menegaskan bahwa persatuan bangsa adalah paling penting. Dengan kata lain, kepentingan negara harus berada di atas kepentingan individu. Pandangan inilah yang kemudian memengaruhinya bagaimana sejarah Indonesia harus ditulis.

Yamin percaya, peran sejarah untuk pembangunan nasional dapat dengan menyusun historiografi tentang nasionalisme, tentang perjuangan meraih kemerdekaan. Hal itu ia kemukakan pada Seminar Sejarah Nasional 1957.

Konsep Yamin tentang sejarah nasional ia tambahkan dengan mencacah sejarah Indonesia dalam beberapa periode; 1) prasejarah atau “asal mula manusia Indonesia”, 2) abad pertama sampai abad keenam, 3) “masa nasional” atau masa Sriwijaya dan Majapahit, 4) “masa negara internasional” atau kedatangan bangsa barat, 5) “abad proklamasi” dimulai dari awal abad 20.

Deliar Noer berpendapat, sesudah Indonesia merdeka, tulisan-tulisan Yamin menjadi pembenaran terhadap sikapnya pada saat kongres pemuda. Yamin seolah ingin mengatakan, jika gagasannya tentang persatuan Indonesia tidak salah dan itu diwujudkan dengan proklamasi 17 Agustus 1945.

Perspektifnya atas sejarah membuat Yamin dianggap memandang sejarah Indonesia sebagai sesuatu yang tunggal dan menafikkan adanya sejarah regional. Kepentingan mengokohkan nasionalisme dalam penulisan sejarah membuat dirinya terjebak dalam romantisisime. Hingga kematiannya tahun 1962, Yamin tampaknya masih menjadi pemeluk teguh pada konsep sejarah nasionalnya.

yasin ahmad
yasin ahmad
Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.