Jumat, Maret 29, 2024

Wujudkan Kembali Yogyakarta Sebagai City of Tolerance

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

Pagi itu saya terkejut ketika membaca postingan sebuah akun media sosial yang memberitakan peristiwa penyerangan dan penganiayaan terhadap pastur dan jemaat gereja St. Lidwina, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sampai tulisan ini dimuat, motif penyerangan yang dilakukan oleh pelaku masih didalami oleh aparat berwenang. Namun jika direnungkan lebih dalam, peristiwa ini mungkin saja membuat publik (terutama masyarakat Yogyakarta) semakin bertanya-tanya tentang kehidupan beragama Yogyakarta, yang dianggap sebagai city of tolerance.

Sebuah slogan yang dicetuskan pada awal tahun 2000-an tersebut saat ini memang dianggap perlu direnungkan kembali. Rentetan peristiwa intoleransi yang terjadi di Yogyakarta memang kontraproduktif terhadap slogan tersebut.

Sebut saja, pemasangan spanduk anti aliran agama tertentu yang sempat bertebaran di sudut-sudut kota, penyerangan rumah tokoh agama, penyerangan masyarakat yang sedang beribadah, hingga kebijakan pemilik kos-kosan yang hanya mau menerima golongan agama tertentu.

Peristiwa tersebut sepertinya menggambarkan keadaan sebagian masyarakat Yogyakarta saat ini yang merasa curiga, khawatir, dan terancam serta tidak suka terhadap aktivitas ummat agama lain. Hal ini tentu saja sangat membahayakan kehidupan ummat beragama dan keberagaman yang ada di Yogyakarta. Jangan sampai, peristiwa-peristiwa intoleran yang sebenarnya dilakukan oleh segelintir oknum kelompok agama menjadi penyebab utama gagalnya upaya ummat untuk bersatu dan memperkokoh keberagaman.

Jika kita menarik kembali serpihan sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, sebenarnya tidak ada alasan bagi masyarakat, tokoh agama, bahkan pemerintah daerah untuk gagal dalam membina keberagaman kehidupan beragama.

Beberapa contoh misalnya, Yogyakarta pernah dianggap berhasil meredam potensi kekerasan dan konflik antara masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa ketika kerusuhan 1998 meletup. Disaat daerah lain diguncang konflik dan kekerasan hebat, Yogyakarta dengan caranya sendiri relatif mampu saling meredam ego kelompok sehingga keadaan yang lebih darurat dapat terhindarkan.

Selain itu, Yogyakarta dianggap berhasil menyatukan keberagaman latar belakang masyarakat. Setiap tahunnya, Yogyakarta kedatangan jutaan pelajar dan mahasiswa yang berasal dari suku, etnis, dan agama berbeda.

Di Yogyakarta, kedatangan mereka disambut dengan baik, tanpa kekerasan dan bahkan kerap dilakukan dengan cara-cara yang cerdas sehingga proses akulturasi budaya dapat berjalan dengan lancar dan tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

Masyarakat Yogyakarta juga mampu untuk mempersatukan perbedaan tersebut dalam suatu bingkai kehidupan yang harmonis tanpa menghilangkan dan mengganggu keaslian nilai-nilai hidup masyarakatnya.

Bekal-bekal sejarah tersebut yang saat ini sangat dirindukan, sudah saatnya dipelajari kembali, dan dianalisis mendalam agar dapat mewujudkan kehidupan ummat beragama di Yogyakarta dapat kembali harmonis.

Peran pemerintah dan masyarakat sangat vital guna mewujudkan situasi tersebut. Pemerintah sebagai pengelola kebijakan, pengayom, dan pelayan masyarakat harus tahu betul dinamika yang terjadi dan bagaimana upaya menemukan solusinya.

Jangan sampai terjadi pembiaran terhadap berbagai peristiwa yang berpotensi menyebabkan perpecahan umat. Respon yang cepat terhadap peristiwa-peristiwa intoleran sangat dibutuhkan agar masyarakat mampu meredam emosi dan amarah serta merasa tenang karena pemerintah hadir sebagai penengah bagi semua golongan.

Sebagai mana pernah disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus mampu mendorong terciptanya sebuah kebersamaan tanpa mengutamakan ego dari keakuan dan kekamian yang masih sangat kuat. Subkultur-subkultur budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, seharusnya menjadi alat untuk membangun sebuah bangsa yang besar (Kompas, 2008).

Hal ini yang juga sangat relevan diterapkan di Yogyakarta, sudah saatnya membuang jauh-jauh konsep keakuan dan kekamian, ubahlah menjadi konsep kekitaan yang menekankan kesamaan dan kesempatan yang sama untuk membangun kebersamaan dan menciptakan suasana yang aman damai sentosa.

Pemerintah juga harus mampu memfasilitasi ruang diskusi publik yang megedepankan sisi-sisi dialogis dalam setiap penyelesaian konflik ataupun kekerasan atas nama agama. Ruang dialog tersebut harus dimulai dengan evaluasi bersama mencari akar permasalahaan dan bertujuan untuk mencari persamaan dan solusi bersama.

Masyarakat sebagai subjek maupun objek keberagaman juga harus sadar dan tahu betul posisi masing-masing dalam konsep kehidupan sosial dan agama. Tinggalkan dan lupakan konsep agamaku “paling benar” dan agama lain adalah “paling salah” yang seolah-olah selalu menjadi klaim pembenaran dan fanatisme buta para pemeluk agama.

Mengakui realitas, keikhlasan dan toleransi harus mampu dijunjung tinggi dalam keberagaman kehidupan keagaaman di Yogyakarta. Masyarakat harus mampu memandang dan mengakui keadaan bahwa kita hidup dalam bingkai keberagaman, suku, budaya, dan agama. Tidak sepatutnya apa yang kita yakini menjadi pembenaran untuk menghakimi dan merendahkan ummat agama lain.

Kita juga harus mampu menerapkan konsep ikhlas dalam memandangan kehidupan beragama. Kehidupan beragama merupakan ranah pribadi yang tidak bisa kita paksakan begitu saja kepada orang lain. Kita harus ikhlas apabila orang lain meyakini hal yang berbeda dengan apa yang kita yakini, sepanjang perbedaan keyakinan tersebut tidak mengganggu dan merugikan masing-masing individu.

Toleransi, sudah menjadi kodrat kita sebagai makhluk sosial untuk menjunjung tinggi sikap toleransi antar ummat beragama. Suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar ummat beragama dalam lingkup kehidupan sosial.

Sikap toleransi menghindarkan terjadinya diskriminasi meskipun disekitar kita banyak terdapat golongan keyakinan yang berbeda. Sinergitas upaya pemerintah dan sikap hidup masyarakat dalam memandang keberagaman kehidupan ummat beragama di Yogyakarta inilah yang diharapkan mampu menata kembali bingkai-bingkai kerukunan, keamanan, dan toleransi ummat beragama.

Pelaksanaan upaya ini, dibarengi dengan komitmen untuk menciptakan kedamaian bersama bukan tidak mungkin dapat mengembalikan dan mengukuhkan Yogyakarta sebagai the real city of tolerance.

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.