Menjadi mahasiswa aktif organisasi sering dianggap bentuk kontribusi tertinggi di kampus. Tapi di balik rapat, proposal, dan program kerja, ada beban teknis yang menumpuk, perlahan mengubah semangat menjadi kelelahan. Kita tidak lelah karena mengikuti banyak kegiatan. Kita kelelahan karena banyak hal kecil yang harus kita urus dan kelola sendiri, tanpa alat dan struktur yang jelas.
Notulen ditulis secara manual, follow up dilakukan terus menerus. Laporan disusun dari potongan chat, dan semua koordinasi tersebut berjalan di beberapa grup berbeda. Ini bukan hanya sibuk, tapi overload teknis yang menggerus ruang pikir dan melahirkan sebuah overthinking, bukan karena lemah tapi karena terlalu banyak yang harus diurus dan diingat secara sempurna.
Rapat Jalan, Overthinking Menjulang, Tanda Sistem Kerja Gagal
Overthinking dalam organisasi mahasiswa bukan hanya berbicara soal psikologis. Ia adalah gejala dari sistem kerja yang gagal. Mahasiswa yang harus mengingat terlalu banyak hal teknis. Siapa yang follow-up, apa yang belum dicatat, kapan harus kirim laporan, bagaimana menyusun dokumentasi, dan apakah semua sudah sesuai timeline. Semua bercampur di kepala, bahkan saat tubuh sudah lelah dan butuh istirahat.
Sasya, mahasiswa hukum Universitas Tidar yang aktif di beberapa organisasi, menyebut:
“Aku nggak keberatan sibuk, tapi capeknya datang dari cara kerja yang nggak efisien. Banyak hal yang harusnya bisa otomatis, tapi malah jadi tanggung jawab pribadi.”
Hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PLOS ONE berjudul Burnout and its Association with Extracurricular Activities among Medical Students mengungkapkan bahwa mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi atau ekstrakurikuler memiliki tingkat kelelahan mencapai sekitar 75%. Artinya, kelelahan bukan hanya soal terlalu banyak kegiatan, tetapi juga tentang bagaimana kegiatan itu dikelola dan sejauh mana sistem mendukung efisiensi kerja mereka.
Overthinking ini bukan hanya mental yang lelah, tapi konsekuensi dari kerja manual yang tidak terstruktur. Ketika semua hal administratif harus ditangani sendiri, mahasiswa kehilangan ruang untuk berpikir kritis. Energi habis untuk hal teknis, bukan untuk membangun dampak yang lebih strategis.
Sibuk yang Tidak Produktif
Di banyak organisasi mahasiswa, kesibukan bukan lagi soal banyaknya agenda, tapi bagaimana agenda itu dikelola. Ketika struktur kerja tidak dibangun secara seimbang, setiap kegiatan berdiri sendiri, tidak saling terhubung dan tidak saling menopang. Hasilnya adalah pola kerja yang tidak sejalan lurus, penuh pengulangan, dan minim kesinambungan.
Mahasiswa aktif bukan hanya menjalankan program kerja, tapi juga harus mengisi celah koordinasi yang tidak pernah dirancang. Rapat selesai, tapi tindak lanjutnya bergantung pada siapa yang ingat. Laporan diminta, tapi formatnya tidak pernah disepakati. Dokumentasi ada, tapi tersebar di berbagai kanal. Semua ini berjalan tapi tidak bergerak maju.
Fragmentasi semacam ini bukan hanya ketidakefisienan, tapi penghambat daya pikir yang kolektif. Ketika alur kerja tidak jelas, mahasiswa kehilangan orientasinya, mana yang prioritas, mana yang bisa ditunda, mana yang sudah selesai. Waktu habis untuk menyusun ulang, bukan menyusun ke depan. Saat semangat untuk berkontribusi, mereka justru terjebak dalam siklus pengulangan.
Efisiensi bukan soal memangkas aktivitas yang ada, tapi soal menyusun ulang cara kerja agar tidak saling menumpuk. Organisasi mahasiswa butuh sistem yang membantu setiap agenda terhubung, terdokumentasi, dan bisa ditindaklanjuti tanpa bergantung pada daya ingat anggotanya. Karena produktivitas bukan soal seberapa sibuk kita terlihat, tapi seberapa jauh kita bisa berpikir dan bergerak secara bijak.
Work Smart, Not Harder: Efisiensi Bukan Kemewahan, Tapi Kebutuhan
Di tengah padatnya dinamika organisasi, mahasiswa bukan hanya dituntut untuk aktif, tapi juga untuk tanggap, rapi, dan serba bisa. Namun, ketika sistem kerja belum mendukung, tuntutan itu berubah menjadi beban yang menyita ruang pikir. Bukan terlalu banyak yang dilakukan, tapi karena sedikit yang disederhanakan.
Bukan soal memangkas semangat, namun soal merancang ulang cara kerja agar tidak saling menumpuk. Ketika proses pencatatan, dokumentasi, dan tindak lanjut bisa dilakukan dengan bantuan teknologi, mahasiswa punya kesempatan untuk mengalihkan fokus ke hal-hal yang lebih berdampak. Bukan sekadar menyelesaikan tugas, tapi membangun strategi yang lebih pas. Dalam konteks ini, teknologi hadir bukan sebagai pelarian, tapi sebagai partner.
Seperti yang disampaikan CEO Widya Wicara, Alwy Herfian:
“Teknologi seharusnya membantu manusia berpikir lebih dalam, bukan bekerja lebih cepat tanpa arah. Di Widya Wicara, kami percaya efisiensi sejati lahir dari fokus yang bermakna. Di situlah kami bekomitmen menghadirkan teknologi seperti Transkripsi.id untuk membantu banyak kalangan, termasuk mahasiswa.”
Efisiensi ini tentang menjaga ruang untuk tetap utuh, bukan sekedar soal alat tapi bagaimana kita memberi jeda, arah dan ritme yang bisa ditangani bersama. Karena kontribusi yang berdampak lahir dari sistem yang tahu kapan harus membantu, bukan dari semangat yang terus dipaksa menyala tanpa henti.
Merancang Ulang Cara Kita Bergerak
Organisasi mahasiswa seharusnya menjadi ruang tumbuh, bukan ruang yang membuat kita kehilangan arah. Di tengah semangat kontribusi, kita perlu mulai bicara tentang pola kerja yang memungkinkan kita tetap berpikir jernih, bukan hanya bertahan. Bukan soal mengurangi kegiatan, tapi soal bagaimana kita menyusun ulang cara bergerak. Kita butuh ritme yang tidak hanya cepat, tapi juga bisa ditanggung bersama. Karena kontribusi yang utuh lahir dari ruang yang memberi napas, bukan dari tekanan yang terus menumpuk.
Mahasiswa bukan hanya eksekutor, tapi juga aset masa depan. Dan masa depan itu tidak dibangun dengan stamina semata, tapi dengan cara kerja yang cerdas. Kita tidak berbicara mencari jalan pintas, kita sedang membangun ulang jalan agar bisa dilalui bersama, tanpa kehilangan arah, tanpa kehilangan diri.
