Winter is coming adalah suatu istilah yang sering terdengar dalam serial televisi Game of Thrones besutan David Benioff dan D.B Weiss yang merupakan adaptasi dari seri novel A Song of Ice and Fire karya George Raymond Richard Martin.
Istilah itu memiliki potensi semantik sebagai peringatan akan datangnya musuh yang perlu diwaspadai—ingat bagaimana presiden Joko Widodo menggunakan istilah ini dalam pidatonya pada pertemuan tahunan IMF-WB sebagai analogi kondisi ekonomi global.
Secara garis besar GoT bercerita mengenai perebutan singgasana kekuasaan di Westeros sebagai penguasa paling tinggi semua wilayah kerajaan yang ada, disebut House. Singgasana tersebut dinamakan The Iron Throne yang terbuat dari ribuan pedang dan ditempa dengan api seekor naga.
Alih-alih damai dan makmur, berbagai House di Westeros saling bersekongkol demi memperebutkan takhta Iron Throne. Segala upaya dihalalkan demi singgasana tersebut. Sementara itu ada sebuah ancaman yang akan datang dari wilayah paling utara yang disebut Beyond the wall. Ancaman itu berupa musim salju berkepanjangan yang membawa pasukan mati atau disebut Wights. Wights diperintah oleh White Walker dan Night King.
Istilah Winter is Coming dipergunakan oleh House Stark yang merupakan pemimpin di wilayah bagian utara, disebut Warden of the North, sebagai slogan peringatan akan datangnya musuh yang sangat berbahaya saat musim salju berkepanjangan.
Jika mencermati lebih jauh ternyata interpretasi slogan Winter is Coming tidak hanya sebatas intrinsik pada dirinya namun sekaligus juga berlaku pada konteks situasi suatu bangsa, katakanlah Indonesia. Lalu apa yang membuat, istilah Winter is Coming, tersebut berlaku di Indonesia? Musuh seperti apa yang, sadar maupun tidak, terus memantau dan kapan saja bisa menyerang? Sebarapa bahayakah musuh tersebut hingga mengakibatkan ketidakstabilan suatu bangsa?
Ingatkah suatu fenomena politik turunnya mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, atau rencana pendeklarasian ‘Masyumi Reborn’, juga maraknya gerakan lembaga atau organisasi politik mengatasnamakan agama, sebagai contoh fenomena HTI, dan lain-lain.
Berbagai fenomena tersebut kelihatannya terpisah satu dengan yang lainnya, namun sebenarnya kita bisa melihat secara linier satu garis lurus yang menghubungkan satu sama lain hingga berakhir pada satu titik akhir yang sama, sebagai dasar ontologis dan asumsi ideologis. Asumsi apakah itu?
Semua itu berangkat dari apa yang disebut sebagai asumsi ideologis “Islamisme”—penegakkan syariat islam, islam sebagai solusi, mendirikan negara islam, takfiri hingga tabid’, serta sikap eksklusif. Lalu apa yang berbahaya dari seperangkat ideologis tersebut?
Asumsi ideologis itu masuk kedalam kehidupan masyarakat sebagai “self-evident” hingga membuat ideologi tersebut dapat diterima karena dianggap alamiah, karena ketidaktahuan masyarakat, dan merasa senasib sepenanggungan (Identity). Islamisme sendiri adalah sebagai bentuk penafsiran panjang dengan ciri kompleksitasnya akan teo-ideologi politik islam. Apa yang seharusnya berada di dalam ruang privat kini berkelana jauh ke ruang publik.
Ketika “persoalanmu” yang bersifat privat itu diubah secara ideologis menjadi “persoalan kita” yang bersifat publik, asumsi itu tidak lagi tulus dan sederhana. (Amato Assagaf, 2019)
Maka diharuskan adanya pemisahan secara total antara yang provan dan yang sakral dalam kehidupan di tengah-tengah ruang publik suatu bangsa, atau semacam model sekulerisasi Caknurian dan yang paling ekstrim sekulerisme.
Dalam bukunya, il Principe, Machiavelli berpendapat bahwa persoalan kekuasaan yang diutamakan bukannya legitamasi moral, tetapi bagaimana kekuasaan yang tidak stabil menjadi stabil dan lestari. Artinya bahwa realitas politk yang memiliki kekuatan yang nyata dengan tidak memanfaatkan lembaga-lembaga agama untuk membangun “Public Opinion” bahwa penguasa adalah pendukung moralitas. Akibatnya rakyat hanya membutuhkan ilusi-ilusi yang kuat dan sangat mudah diyakinkan.
Machiavelli melanjutkan, moralitas, urusan privat, merupakan suatu kemungkinan yang diharapkan, sedangkan pengaturan ketatanegaraan, urusan publik, adalah suatu kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya harus dipisahkan.
Kini narasi ideologis islamisme telah diangkat di atas permukaan dan menjelma menjadi sesosok Wights, dalam serial GoT. Jika dibiarkan terus menerus, kelembagaan agama atau sejenisnya mampu memonopoli kehidupan publik yang justru harus terlepas dari hal-hal yang sifatnya privat.
Semacam politik identitas yang beriringan dengan narasi kebencian dan emosional dengan hasrat ingin mendominasi. Winter is Coming adalah peringatan yang tepat untuk melihat musuh tak terlihat yang bersembunyi di balik permukaan dengan separangkat ideologisnya.
Apakah dengan peringatan Winter is Coming saja cukup? Saat melawan musuh tentu kita harus memiliki persenjataan yang lengkap, tidak dengan tangan kosong saja. Namun persenjataan seperti apakah itu?
Ingat bagaimana Renaissance terjadi di Eropa, salah satunya adalah pertumbuhan kapitalisme awal turut membantu kebudayaan Renaissance itu sendiri. Tidak hanya sebatas itu, Renaissance adalah suatu upaya dan usaha-usaha dalam menggali kembali akar-akar suatu kebudayaan Barat dalam rangka menemukan identitas diri.
Jadi semangat Renaissance juga mendorong masyarakat Eropa masa itu memiliki pandangan terhadap segala sesuatu lebih maju dan lebih jauh ke depan. Artinya mereka mencari akar-akar budaya supaya lebih mengenal identitas dirinya sekaligus juga bisa menata kehidupan sendiri lebih maju dan efektif.
Dalam rangka melawan ideologi politik islamisme di Indonesia, maka senjata yang harus dipergunakan adalah separangkat kritisisme dan sebentuk konsepsi Renaissance untuk kembali pada identitas diri sebagai Nusantara.