Minggu, November 24, 2024

Wiliam James dan Emosi Beragama Kita

Fadli Rais
Fadli Rais
Pecinta Manchester City paruh waktu. Kini memulung ilmu di UIN Walisongo
- Advertisement -

Menawarkan pemikiran agama dari masa ke masa telah diwarnai oleh beberapa pemikir dari lintas zaman. Mereka menelaah detail-detail agama yang dirawat oleh kelompok sosial yang kemudian hari diteorisasikan. Jaringan  yang memberikan pencerahan  insan manusia atas anggapan agama dari berbagai sudut.

Dipertengahan abad ke 19, dunia kedatangan tokoh filsuf agama aliran pragmatisme bernama Wiliam James (1842-1910). Ia dilahirkan ditengah-tengah keluarga yang memiliki latar belakang menyukai diskusi dan perdebatan. Oleh ayahnya yang bernama Henry James – yang juga pemikir – Wiliam James dibina untuk membiasakan mengolah pikirannya dan  di ajak mengikuti berbagai pertemuan yang dihadiri oleh ayahnya.

James, menganalisa agama dalam The Varieties of Religous Exerience (1902) berupa empat bentuk agama sebagai pengalaman, agama sebagai hipotesis, agama sebagai filsafat dan agama sebagai jaminan tujuan masa depan. Argumen yang diajukan oleh James  dua abad silam memiliki konteks di mana agama dianggap sebagai kepercayaan yang dogmatis dan absolut. Berpangkal dari fenomena itu berujung pada  anggapan irasional dan tidak terdapat” chek and rechek”  terhadap agama, terutama oleh para ilmuwan.

Sebagai filsuf aliran pragmatik, James menunjukkan pengalaman yang terpaut dengan agar merupakan kebenaran yang terverifikasi oleh pengalaman individu maupun kolektif atas kebenaran agama itus sendiri. Perihal pengalaman agama, kontinuitas perdebatan selalu tak melulu berujung pada benar atau salah, value religous awe and religous joy.

Tak berhenti pada pengalaman an-sich, agama menurut James dituntut memberikan dampat konkrit bagi umatya. Tidak hanya perkara dengan yang “Maha Suci”, tuntutan duniawi dianggap sebagai representasi “Yang Maha Suci” atas kekuasaan yang disandangkan oleh umatnya.

Mengapa demikian? Kausalitas dogmatis yang sistemik harus menghasilkan kenyataan yang diinginkan oleh  umat – kaum industrial saat itu – sebagai proses pernyataan sikap beragama mereka. Entitas agama  harus tanggap akan kebutuhan lahirian dan duniawiah. Kalaupun tutup mata akan dampak nyata agama. James menganggap pengikut agama tersebut telah terpasung dogmatis semata.

Sampailah pada bentuk  agama sebagai filsafat. Artinya, pengikut agama tertentu yang menempatkan dirinya untuk melakukan kebijaksanaan, sebagaimana telah di ajarkan oleh ayat-ayat suci. Selain memberikan kepuasan dan kerinduan serta membawanya pada perasaan yang tenang untuk inidiviu, juga masyarkat.

Bukan tanpa sebab pernyataan ini dibuat oleh James yang menekankan tiga emosi dalam ajaran agama, religous fear (ras takut beragama), religous  awe (rasa kagum beragama), dan religous joy (rasa nyaman beragama). Hingga sikap keagamaan kita mendekatkan pada nilai-nilai kebijaksaanan.

Bentuk agama yang terakhir dikemukakan oleh Wiliam James, sebagai jaminan tujuan masa depan, bahwa keyakinan akan Tuhan itu akan memiliki rasa percaya, sekaligus juga semakin membesarnya kekuatan moral yang dimilikinya.

Tujuan masa depan setiap individu sangat debatable, entah itu masa depan yang ia inginkan atau eskatologi sebagaimana ajaran Abrahamik melabelinya. Lantas, yang diinginkan disampaikan oleh James, kejelian umat beragama tentunya bukan soal “keselamatan kolektif maupun individu an sich.  Lebih, pada religous joy  yang didapatkan sesuai dengan tafsir masing-masing individu tanpa menekankan dogma atau absolut.

- Advertisement -

Urusan masa depan memang selalu saling berebut untuk yang terdepan. Mereka tak pernah memikirkan telah mengukir apa saja dengan ajaran-ajaran agama yang ia anut. Ditambah,   kalkulasi “baik melawan buruk” diutamakan sebagai acuan   menganjurkan ajaran-ajaran kebaikan.

James dan Fenomena Penghayat 

Ketok Hakim MK Saldi Isra saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2017). Dikutip dari media daring, Kompas.com, Saldi Isra membacakan isi putusan

“”Bahwa agar tujuan mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat banyak dan beragam, pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai ‘penghayat kepercayaan’ tanpa merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP-el, begitu juga dengan penganut agama lain,”

Jalan panjang penghayat mendapatkan hak sebagai warga negara di Republik Indonesia untuk dicantumkan pada kolom agama kartu tanda penduduk (KTP) dengan tulisan: Penghayat.

Data yang dilansir oleh Kemendikbud pada tahun 2017, di Indonesia terdapat 180 organisasi penghayat. Secara geografis, Jawa Tengah menjadi wilayah terbanyak dengan total 48 organisasi aktif dan 5 yang tak aktif. Diperingkat kedua, Jawa Timur engan jumlah 43 organisasi aktif dan 7 tidak aktif. Berbeda di antara keduanya, Yogyakarta dan Jawa Barat hanya berjumlah 25 dan 7 organisasi aktif, sedangkan 8 organisasi tidak aktif dengan rincian 6 di Yogyakarta dan 2 di Jawa Barat. Di Ibukota masih terdapat 14 organisasi penghayat Kepercayaan dan 2 di antaranya tidak aktif.

Data di atas berbicara bahwa kuantitas penghayat yang eksis merupakan gambaran agama asli Indonesia tersebut terus di jaga oleh penerusnya meskipun gempuran agama pendatang dari masa ke masa semakin berhimpitan.

Perjuangan mendapatkan pengakuan Agama –karena di Indonesia ada Agama (resmi) dan agama (ilegal)- ditujukan guna menunjang religous joy  sebagai representasi atas religous awe. Analoginya, penghayat yang juga warga negara selain wajib di lindungi oleh negara sebagaimana amanat UUD 1945. Juga sebagai kaum beragama yang berkeinginan menjalankan kehidupanan beragamanya secara nyaman.

Upaya jalur hukum yang ditempuh merupakan salah satu medan yang harus dilalui di Indonesia akibat adanya diskriminasi terhadap warga penghayat. Hal ini terjadi karena dominasi negara terhadap ruang sakral bernama agama yang berujung pada segregasi Agama (resmi) dan agama (ilegal). Permasalahan demikian tentu harus dijadikan pelajaran bagi penyelenggara negara.

Bahwa memahami agama sebagaimana Wiliam James, dalam karyanya The Varieties of Religous Exerience (1902) harus secara detail melalui, Institutional Religion adalah prosedur keagamaan yanng dijalankan oleh kelompok keagamaan. Di dalamnya teologi memiliki point of view yang sangat penting dalam menjalankan institusinya.

Penghayat  yang memiliki corak kultural sangat mendalam dan mendarah daging dengan sejarah nusantara seharusnya mendapatkan previlage. Tidak bisa, ada standarisasi yang dilakukan pemegang kekuasaan terhadap sebuah sistem teologi.  Justru akan  menghilangkan “religious joy and awe”.

Poin selanjutnya, “Personal Religion”, sebagai bentuk primordial yang penekanannya pada moralitas non-institusional. Hubunganya erat secara vertikal yang representasinya berupa vertikal. Penghayat, memiliki cara pendekatan terhadap “Yang Disucikan” melalui ritual adat yang lekat dengan budaya nusantara.  Orang lebih familiar dengan sebutan “Fetishism and Magic”, karena bentuk yang lebih primordial daripada agama personal.

Fadli Rais
Fadli Rais
Pecinta Manchester City paruh waktu. Kini memulung ilmu di UIN Walisongo
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.