Jumat, April 19, 2024

WHO AM I? WHO ARE THEY?

Nita Trismaya
Nita Trismaya
Dosen di Sekolah Tinggi Desain Interstudi Jakarta Mahasiswa S3 Jurusan Antropologi Universitas Indonesia

                                           Keterangan Gambar: Karya Sketsa dari Penulis

Menarik untuk diamati bagaimana wacana tentang klaim sesuatu yang mengangkat argumentasi ‘asli’ dan ‘tiruan’, terutama pada hal bendawi. Menarik juga mengkaji makna ‘who am I’ dan ‘who are they’ yang berpusat pada identitas diri seseorang. Beberapa minggu yang lalu, sebuah pusat perbelanjaan di ibu kota dihebohkan dengan diskon besar-besaran produk sepatu ternama yang membuat antrian mengular panjang, plus pemandangan bak kapal pecah ketika pesta belanja itu usai dimana tumpukan tak beraturan sepatu-sepatu dan kotak-kotak yang sudah entah kemana pasangan nomor-nomornya. Kemudian, di grup WA, seorang teman mengunggah foto-foto dalam ruangan sebuah departemen store terkenal yang melakukan cuci gudang dalam rangka penutupan cabangnya di beberapa tempat. Foto-foto bagian pertama adalah suasana lengang dengan tatanan rapi baju-baju, sepatu, tas yang dipajang di counter-nya masing-masing sebelum para pemburu memasuki TKP. Foto-foto bagian kedua adalah suasana berantakan maksimal menyisakan tumpukan kotak sepatu, sisa baju dan tas yang centang perenang yang juga lengang ketika para pemburu telah pergi dengan hasil buruannya masing-masing.

Saya bukan hendak mengulas detail kisah-kisah perburuan barang-barang bermerek yang diskon besar-besaran, bahkan tergerak untuk ikut jadi pembelanja pun tidak. Membayangkannya saja kepala sudah pusing tujuh keliling duluan, harus mengantri lama yang bikin kaki pegal bukan main, belum lagi saat berdesak-desakan dalam rangka berebut barang-barang yang kita incar. Duh, pasti dalam hitungan sekian menit bakal semaput.

Saya tergelitik ketika membaca buku Studying Culture-nya Judy Giles dan Tim Middleton pada bagian Identitas dan Representasi sembari mendiskusikannya bersama dosen dan teman-teman kuliah di kelas.

Ketika membahas pusat perbelanjaan, disana tampak adanya ruang yang mengonstruksikan sebuah identitas. Misalnya level sebuah mal dilihat dari karakter pengunjungnya; kelas bawah, menengah atau atas, bukan hanya dari harga barang-barang yang dipajang, brand dan outlet yang mengisi mal tersebut. Kemudian bagaimana interaksi antar pengunjung, gaya fashion  mereka dan sebagainya. Saya pernah datang ke sebuah mal yang terletak di pinggiran Jakarta, di kawasan perumahan yang boleh disebut elit laksana kota dalam kota. Bangunan mal tersebut megah, bertingkat, fasilitas parkirnya luas, barang-barang yang ditawarkan pun tidak kalah dengan mal sekelas Gandaria City atau Grand Indonesia. Kebetulan saya berkunjung di saat malam minggu dimana pengunjung melepas penat, bersilaturahmi, dan bercengkrama bersama keluarga dan pasangan. Sembari cuci mata sebelum hang out di kafe, saya melihat cukup banyak kelompok-kelompok yang mungkin keluarga. Mereka tidak hanya jalan-jalan mengelilingi mal sembari menikmati window display, tetapi kemudian mereka —yang kalau dilihat dari pakaian (sejenis daster, dan pakaian rumah lainnya), cara berdandan, berbicara dan gestur tubuh menandakan berasal dari kalangan bawah—  melepas penat sembari duduk-duduk di lantai mengelilingi kolam berukuran sedang yang terletak di samping lobby mal yang berbatasan dengan teras dimana kafe-kafe berada. Mereka asyik berbincang, bergurau, sambil sesekali tangannya dimasukkan ke dalam kolam dan memercikkan airnya. Sedangkan anak-anak kecil merendam kaki-kaki mungilnya dengan riang. Seolah mereka sedang berkumpul di teras rumah sendiri yang dihiasi kolam ikan. Entah apakah ada yang membawa rantang berisi bekal makanan plus tikar, saya luput memperhatikan. Tetapi teman saya pernah melihat pada kasus yang sama kalau di daerahnya, para pengunjung masuk ke mal untuk ‘ngadem’ sembari menyuapi anak-anaknya yang berlarian kesana-kemari.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mereka, karena memang tidak ada peraturan tertulis yang melarangnya. Tetapi ketika sebuah mal dibangun, tentu ada konstruksi ruang identitas yang dituju. Ada representasi tertentu sehingga memunculkan citra bahwa mal si A adalah kelas atas, mal si B untuk kelas bawah. Identitas terkonstruksikan pula melalui tubuh pengunjungnya (cara berpakaian, bertingkah-laku, gaya bahasa). Maka identitas tidak bisa dipisahkan dari bagaimana cara identitas itu direpresentasikan, dihadirkan.

Seperti fenomena serbuan peminat barang-barang impor ternama yang diskon, tampak bahwa aspek bendawi merepresentasikan identitas pemakainya. Produk impor tak pelak lebih bergengsi dibandingkan produk dalam negeri, tak peduli bahwa produk tersebut dibelinya dengan harga diskon. Yang penting: merek terkenal dan dari luar negeri (baca: negara maju). Melalui iklan-iklan, dikatakan secara tidak langsung bahwa orang yang tidak mengenakan barang tersebut adalah orang yang tidak diakui status sosialnya, atau bahwa orang hebat adalah orang yang berselera tinggi. Dalam representasi ada relasi kuasa, ada yang dominan, ada subyektifitas. Barang bermerek menandakan dominasi pasar yang dibentuk oleh produsen. Ada penilaian subyektif yang hadir. Ketika konsumen memilih, maka ada barang yang tidak dipilih. Representasi memberi jati diri sekaligus makna.

Namun akan berbeda ketika kasusnya beralih pada kehadiran barang-barang KW. Resistensi hadir di situ. Juga kreativitas. Perlawanan datang dari masyarakat yang menginginkan barang yang sama tapi tidak mampu untuk membeli, sehingga muncullah kebutuhan untuk meniru, dipadukan dengan kreativitas. Misalnya barang dari merek A beredar di pasaran, kemudian dalam waktu tidak lama beredarlah tiruannya dengan kualitas nyaris menyamai, bahkan terkadang kreativitas dalam hal desain jauh lebih menarik. Identitas terkonstruksikan melalui barang bermerek. Identitas merupakan suatu tindakan memposisikan dirinya.

Kita memang kerap menilai seseorang dari penampakan kulit luar. Siapa anda dapat diterjemahkan melalui apa yang dikenakan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu pula siapa kita sebagai sebuah kelompok sosial yang dipandang dari apa yang melekat pada diri kita, entah itu tempat tinggal, komunitas yang kita ikuti, ataupun pekerjaan. Siapa mereka; dalam hal ini merepresentasikan the other; orang yang berada di luar lingkaran kita dengan cara penilaian yang tak jauh berbeda.

Nita Trismaya
Nita Trismaya
Dosen di Sekolah Tinggi Desain Interstudi Jakarta Mahasiswa S3 Jurusan Antropologi Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.