Jumat, Mei 3, 2024

Warisan Pemikiran Mu’tazilah: Kunci Terselubung Pembaharuan

Lilis Anggraeni
Lilis Anggraeni
Although I am still in the process of learning and growing in the field of journalism, I am very excited about the prospect of making a real impact through my work in the future. I aspire to be a voice for the voiceless, uncover relevant stories, and inspire positive change in society.

Berbicara mengenai Mu’tazilah, mungkin hanya sedikit umat Islam di Indonesia yang mengetahui. Aliran ini memang sudah lama tenggelam dalam sejarah dan bahkan tidak lagi menjadi aliran utama dalam Islam. Meski tidak diakui secara eksplisit, warisan pemikiran rasional Mu’tazilah telah memberikan kontribusi signifikan pada pembaharuan tradisi Islam. Untuk itu, artikel ini akan mengulik bagaimana kontribusi pemikiran rasional yang digaungkan aliran Mu’tazilah terhadap tradisi Islam.

Sejarah Singkat Kemunculan Mu’tazilah

Sebelum mengulik lebih dalam, penting bagi kita mengenal terlebih dahulu sejarah singkat munculnya aliran Mu’tazilah. Aliran Mu’tazilah sendiri muncul pada abad ke-3 Hijriyah di Bashrah, Irak. Kemunculan aliran ini berkaca pada peristiwa yang terjadi di salah satu Masjid di Bashrah, yaitu perselisihan pendapat antara murid, Washil bin ‘Atha dengan gurunya, Hasan al-Bashri. Perselisihan ini bermula ketika Washil menyanggah pendapat Hasan al-Bashri mengenai status pelaku dosa besar.

Hasan al-Bashri memandang apabila seorang muslim melakukan dosa besar, seperti menyekutukan Allah, zina, durhaka kepada orangtua, berbohong, dan sebagainya, maka ia masih mukmin dan berkesempatan bertaubat nasuhah kepada Allah SWT. Sedangkan Washil berpendapat sebaliknya, bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar, maka ia dianggap bukan mukmin melainkan berada di posisi tengah, yaitu antara mukmin dan kafir.

Ketegangan tersebut berujung pada keluarnya Washil dari barisan halaqah Hasan al-Bashri. Dengan begitu Hasan menyebut Washil “i’tizal” (memisahkan diri). Selepas dirinya keluar, Washil mulai mendirikan dan menyebarkan ajaran Mu’tazilah yang ia gagas sendiri. Pada permulaannya, Washil mengenalkan kepada masyarakat mengenai lima ajaran pokok aliran Mu’tazilah atau bisa juga disebut dengan al-Ushul al-Khamsah. Seseorang bisa dikatakan pengikut Mu’tazilah apabila ia mengamalkan lima pokok ajaran tersebut.

Kontribusi Aliran Mu’tazilah

Secara empiris, aliran ini tidak sejalan dengan ajaran Islam dan bahkan telah terkesan melenceng. Meski begitu, ajaran Mu’tazilah khususnya mengenai pemikiran rasional memberikan kontribusi positif bagi umat Islam. Adapun beberapa kontribusi tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Perkembangan Pemikiran Teologis

Kontribusi Mu’tazilah dalam pemikiran teologis dapat terlihat dari pendekatan aliran Sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebagian terinspirasi dari konsep pemikiran Mu’tazilah. Aliran Sunni sendiri dikenal sebagai salah satu aliran yang diikuti oleh mayoritas umat muslim di dunia. Pendiri aliran Sunni yakni Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansyur al-Maturidi merupakan mantan pengikut aliran Mu’tazilah yang memutuskan keluar sebab sudah tidak sejalan. Mereka berdua berhasil menemukan jalan pintas dari berbagai kerancuan-kerancuan aliran teologi sebelumnya.

Dalam konteks ini, mereka menilai bahwa ajaran yang baik ialah ajaran yang kembali pada apa yang Allah SWT wahyukan kepada Rasulullah Saw serta apa yang Rasulullah sampaikan kepada sahabatnya hingga menyebar ke umatnya. Untuk itu, aliran Sunni mengenalkan ajaran yang bersumber pada dalil naqli, yaitu firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana yang Rasul sampaikan kepada sahabatnya.

Selain itu, aliran Sunni juga menekankan pentingnya dalil aqli melalui fungsi akal dan logika sebagai alat yang menjadi kunci manusia memahami ajaran Islam. Dengan demikian, aliran Sunni meletakkan Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber utama dari hukum dan pedoman ajaran Islam.

Sementara itu, untuk memahami teks-teks tersebut, Sunni memandang bahwa akal membantu dalam memahami ajaran agama. Meski tetap dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis serta memperhitungkan konteks historis, linguistik, dan budaya pada masa di mana teks-teks tersebut diungkapkan.

2. Metode Penafsiran Hukum Islam

Tanpa disadari aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi penting dalam hukum Islam. Pendekatan rasionalis yang digaungkan Mu’tazilah secara tidak langsung mendorong pembentukan metode qiyas yang memudahkan para ulama dalam menangani situasi baru dan menetapkan hukum atau aturan yang sesuai dengan sumber ajaran Islam. Adapun qiyas secara harfiah berarti “analogi” atau “kesamaan”. Dengan demikian, prinsip qiyas ini dilakukan dengan mengidentifikasi suatu peristiwa baru, kemudian mencari kesamaan atau analogi dengan peristiwa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an atau hadis untuk menarik kesimpulan hukum yang relevan.

Lebih konkrit, peran akal dalam Islam dapat dilihat dari persoalan narkoba yang tidak secara eksplisit dibahas dalam Al-Qur’an atau hadis. Dengan begitu para ulama menggunakan prinsip qiyas dengan merujuk pada nilai-nilai yang ditegaskan dalam Al-Qur’an atau hadis terkait dengan bahan-bahan yang berpotensi merusak kesehatan atau bersifat memabukkan. Saat dianalisis secara rasional, kandungan dan bahan narkoba termasuk ke dalam golongan bahan-bahan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa interpretasi sumber utama, yaitu Al-Qur’an dan hadis memerlukan penggunaan akal yang rasional untuk menghasilkan pemahaman yang utuh.

3. Reformasi Pemikiran Umat Islam

Kontribusi Mu’tazilah tidak terbatas hanya pada aspek teologis dan hukum Islam saja. Harun Nasution, seorang cendekiawan muslim yang dikenal akan gagasannya tentang pembaharuan pemikiran Islam, dengan khusus menggarisbawahi kontribusi pemikiran rasional Mu’tazilah. Mu’tazilah sebagai salah satu aliran teologi Islam yang sangat mengorientasikan akal atau rasio dalam berpikir secara tidak langsung mengajarkan umat Islam untuk menjauhi kejumudan dalam beragama. Meskipun demikian, pemikiran aliran Mu’tazilah seringkali menimbulkan kontroversi dan banyak ditentang oleh para ulama karena dinilai telah menyimpang dari ajaran murni Islam.

Melalui gagasan pembaharuannya, Harun Nasution yang kala itu merupakan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengusung perubahan sistem kurikulum IAIN yang rasional dan relevan dengan zaman. Beliau menilai sistem pendidikan Islam tradisional hanya menitikberatkan pada keilmuan Islam. Itulah mengapa lulusan IAIN cenderung berpikiran sempit karena hanya berfokus pada persoalan agama dan ukhrawi.

Namun, hal ini berbanding balik dengan ajaran Al-Qur’an yang menegaskan pentingnya penggunaan akal bagi umat Islam. Sebab bagaimanapun sumber hukum dan ajaran Islam tidak serta-merta dapat kita ambil secara mentah-mentah, melainkan butuh penafsiran dan pemahaman yang utuh, dan akal merupakan alat yang tepat untuk meraih pemahaman tersebut.

Adapun motivasi Harun Nasution melakukan rasionalisasi dalam Islam adalah karena minimnya produktivitas umat muslim. Oleh karena itu, beliau sangat menginginkan umat Islam yang seimbang, yaitu mengorientasikan hidupnya baik dalam urusan dunia maupun ukhrawi. Dengan begitu, masyarakat muslim dapat saling bahu-membahu menciptakan lingkungan yang berkembang dan unggul dalam segala aspek kehidupan baik itu, aspek agama, pendidikan, sosial, ekonomi, dan sebagainya dengan bedasarkan pada prinsip Islam.

Lilis Anggraeni
Lilis Anggraeni
Although I am still in the process of learning and growing in the field of journalism, I am very excited about the prospect of making a real impact through my work in the future. I aspire to be a voice for the voiceless, uncover relevant stories, and inspire positive change in society.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.