Prof. Yunahar Ilyas adalah putra Minang kelahiran Bukittinggi pada 22 September 1956 dari pasangan H. Ilyas dan Hj. Syamsidar. Sosoknya dikenal luas sebagai ulama yang cukup disegani di dunia persilatan keilmuan Islam di Indonesia.
Keilmuannya yang luas dan juga mendalam telah menjadikan dirinya salah satu rujukan penting umat Islam Indonesia. Selama ini Prof. Ilyas juga dikenal sebagai pribadi yang egaliter dan sederhana dalam bergaul dengan para kolega maupun junior-juniornya.
Tokoh yang menjadi Ketua PP Muhammadiyah ini mengawali pendidikannya pada Sekolah Dasar Negeri Taluk I, Bukittinggi (1968), kemudian menyelesaikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 tahun, di Bukittinggi (1972) dan juga PGAN 6 tahun, di Padang (1974).
Ia mengawali karir pendidikan tinggi sebagai Sarjana Muda (Bachelor of Arts) di Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Arab, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol, Padang tahun 1978. Spiritnya untuk terus belajar telah menghantarkan dirinya mendapatkan gelar Lc (Lisence) dari Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Sa’ud, Riyadh, Saudi Arabia (1983).
Sepulangnya kembali ke tanah air, Prof. Ilyas merampungkan Sarjana Lengkap (Doktorandus) di almamaternya, IAIN Imam Bonjol, Padang (1984). Berbekal keilmuannya kemudian Prof. Ilyas hijrah ke Yogyakarta untuk menyabet gelar Magister di Bidang Agama Islam di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Tesis “Isu-isu Feminisme dalam Tinjauan Tafsir al-Qur’an, Studi Kritis terhadap Pemikiran Para Mufasir dan Feminis Muslim tentang Perempuan” (1996).
Berbekal tekad dan spirit yang kuat untuk mengembangkan khazanah pemikiran Islam, Prof. Ilyas kemudian memutuskan diri untuk mengambil program doktor di kampus yang sama. Sejak tercatat sebagai mahasiswa doktor pada 1996, Prof. Ilyas bertekad untuk segera merampungkan studinya secepat mungkin.
Ia merasa termotivasi oleh Prof. Nourouzzaman Shiddiqi selaku Direktur Pascasarjana ketika itu yang selalu memberikan dukungan untuk menyelesaikan studi doktor selama 4 tahun. Namun sayangnya, Prof. Ilyas belum bisa memenuhi harapan tersebut, bahkan garapan disertasi yang awalnya akan diselesaikan selama 2 tahun menjadi molor hingga 4 tahun lamanya.
Akhirnya, dengan tetap memegang spirit keilmuan yang kuat, Prof. Ilyas pada tahun 2004 berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufassir Indonesia Modern (Hamka dan Hasbi ash-Shiddiqqy)” di depan dewan penguji yang diketuai oleh Prof. Amin Abdullah dengan anggota penguji Prof. Nashruddin Baidan, Dr. Irwan Abdullah, dan Dr. Syamsul Anwar.
Keberhasilannya ini tentu tidak terlepas dari kedua promotornya, Prof. Said Agil Husain al-Munawwar dan Dr. Alef Theria Wasim yang berperan penting dalam proses diskusi akademik dan pengembangan metodologis selama penelitian dan penulisan disertasi tersebut.
Sebagai keseriusannya berkiprah di dunia akademik, pada tanggal 18 November 2008 Prof. Ilyas akhirnya dikukuhkan sebagai Guru Besar Ulumul Qur’an, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Beberapa karyanya yang bisa dinikmati hingga hari ini seperti; Kuliah Aqidah Islam (1992), Feminisme dalam kajian Tafsir Klasik dan Kontemporer (1997), Kuliah Akhlaq (1999), Akhlaq Masyarakat Islam (2002), Tafsir Tematis Cakrawala al-Qur’an (2003), Konstruksi Pemikiran Gender dalam Pemikiran Mufasir (2005), Kisah Para Rasul (serial di Suara Muhammadiyah, 2006) Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an, Studi Pemikiran Para Mufasir (2006), Tipologi Manusia dalam al-Qur’an (2007), Kuliah Ulumul Qur’an (2013), dan Dialektika Pemikiran Islam; dari Klasik hingga Modern (2014).
Mencermati berbagai gagasan pemikiran yang dituangkan di berbagai karyanya, setidaknya terdapat tiga arus besar pemikiran Prof. Yunahar Ilyas.
Pertama,kajian khazanah pemikiran Islam. Salah satu warisan penting dari pemikiran Prof. Ilyas adalah kepeduliannya terhadap pembangunan akhlak umat Islam. Baginya, akhlak menjadi kunci kehidupan Muslim yang akan menentukan eksistensi kehidupan di masa depan.
Tanpa adanya akhlak yang Islami dan penuh dengan pribadi yang makruf, umat Islam akan terseret oleh derasnya arus globalisasi. Bahkan bagi Prof. Ilyas, spirit keislaman yang diwujudkan dalam bentuk akidah Islam akan menjadi hal yang sia-sia manakala seorang Muslim gagal mengekspresikan akhlaknya yang baik.
Kedua,diskursus feminisme dan gender dalam Islam. Bidang ini telah cukup serius digarap oleh Prof. Ilyas yang dibuktikan dengan penulisan tesis dan disertasi yang mengangkat tema feminisme Islam. Menurutnya, pemikiran feminisme dalam Islam menjadi salah satu bangunan pemikiran yang sangat penting dalam kerangka memajukan peradaban Islam.
Upaya diskriminatif dan pandangan misoginis yang diproduksi melalui teks-teks keagamaan sudah saatnya dibongkar dan direkonstruksi dengan pemahaman yang lebih sensitif gender. Upaya ini dimaksudkan sebagai bentuk rejuvenation spirit Islam terhadap agenda pemuliaan martabat perempuan yang telah disuarakan oleh Islam sejak abad ketujuh masehi.
Ketiga, pengembangan metodologi penafsiran al-Qur’an. Prof. Ilyas sepenuhnya menyadari peran penting penafsiran al-Qur’an dalam setiap petala kehidupan umat Muslim. Menurutnya, tafsir atau pemahaman menjadi satu-satunya titik berangkat umat Islam dalam mengekspresikan keberislamannya dan juga menentukan wajah Islam di dunia realitas sosio-kultur.
Sehingga, upaya pengembangan metodologi penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan konteks perkembangan zaman adalah sesuatu yang niscaya. Dalam menggagas bidang ini, Prof. Ilyas sangat terbuka akan tradisi-tradisi keilmuan Barat seperti kajian hermeneutika dan ilmu-ilmu sosial dalam proyek penafsiran al-Qur’an.
Akhirnya, kita bisa memahami bahwa Prof. Ilyas adalah sosok yang gigih dalam mengembangkan khazanah keilmuan Islam. Ia tidak hanya larut dalam keilmuan klasik (turats) Islam tetapi juga terbuka akan agenda reformasi dan integrasi keilmuan modern. Hari ini kita bisa menikmati berbagai sumbangan ide dan gagasan kontributif bagi upaya-upaya pengembangan diskursus Islamic Studies di Indonesia.