Jumat, April 26, 2024

Valentine Day dan Sejarah Kelamnya

Puji Khuwata
Puji Khuwata
Mahasiswa Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Selain sebagai mahasiswa juga aktif di Persyarikatan Muhammadiyah.

Hari Valentine yang jatuh pada 14 Februari atau yang secara global dikenal sebagai Valentine’s Day selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan baik dari sudut positif yang mendukung untuk merayakan atau negatif bagi yang menolaknya.

Menjadi hal yang lumrah di masyarakat dengan mayoritas keagamaan yang kuat, khususnya umat islam yang menolak hal tersebut karena berpotensi menghadirkan maksiat, mungkar, mudharat, dan juga perilaku mubazir. Namun, tetap saja menjadi perdebatan di kalangan orang-orang yang lahir dari pendekatan universalitas dan humanis, karena menganggap hari Valentine adalah sesuatu yang positif, bertujuan untuk menggelorakan kasih dan sayang.

Tahun lalu menurut Lembaga Perlindungan Anak (LPA) menyatakan bahwa terjadi peningkatan penjualan alat kontrasepsi menjelang hari Valentine, hal ini mengindikasikan terjadinya hubungan intim di hari tersebut. Selain itu, peningkatan daya jual yang drastis terhadap komoditas cokelat, bunga dan Lingerie. Lantas, masih banyak yang memperdebatkan mengenai hal ini, untuk mengakulturasikan kebiasaan tersebut, ada apa di balik Valentine’s Day yang seringkali dianggap sebagai hari pengekspresian cinta dan kasih? Bagaimana dengan identiknya Valentine’s Day dengan perzinahan dan budaya Hedonisme?

Sejarah Kelam Valentine Day

Dalam sejarah ketika kekaisaran Roma masih menganut polytheism, terdapat sebuah tradisi pagan kuno, yaitu Lupercalia sebua festival kesuburan yang dilakukan dari 13 hingga puncaknya pada 15 Februari.

Menurut sejarawan, Noel Lenski dari University of Colorado, festival tersebut dilakukan oleh pria dengan mengorbankan anjing dan kambing, lalu memukulkan ekor binatang kurban tersebut kepada wanita. Mereka semua telanjang dan kebanyakan mabuk, termasuk juga mengundi lotre untuk memenangkan seorang wanita sebagai teman kencan selama setahun penuh.

Dalam artikel yang ditulis oleh Arnie Seipel di National Public Radio tentang The Dark Story of Valentine, menyampaikan bahwa tradisi hari Valentine merupakan hibrida dari tradisi pagan kuno dengan peringatan kematian Santo Valentino karena dieksekusi oleh kaisar Claudius II sebagai bentuk pembangkangan terhadap kerajaan, ketika larangan menika pada usia muda dilakukan.

Sementara Santo Valentino tetap menikahkan pasangan muda-mudi secara diam-diam, hingga ia dihukum mati bertepatan dengan tanggal 14 Februari, abad ketiga masehi. Habits budaya tersebut, dilakukan sebagai upaya kristenisasi oleh Paus Gelasius I terhadap rakyat Kekaisaran Roma agar mereka memeluk agama Kristen Katolik.

Kini, tradisi perayaan hari Valentine telah menjamur di banyak negara, bahkan negara dengan mayoritas Muslim sekalipun mengalami pergolakan yang luar biasa ketika pemuda-pemudinya banyak terpengaruh oleh kebiasaan yag jelas berasal dari agama lain.

Meskipun tradisinya berasal dari Kristen Katolik, tetapi terdapat juga aliran dalam kristen yang menolak hari Valentine, salah satunya adalah The Restored Church yang menganggap perayaan Valentine’s Day sebagai bagian dari pengaruh setan ke manusia untuk menjebaknya ke dalam Carnal Desire atau hasrat perzinahan, mereka juga menganjurkan kepada penganut kristen untuk tidak merayakan Valentine’s Day.

Puji Khuwata
Puji Khuwata
Mahasiswa Universitas Aisyiyah Yogyakarta. Selain sebagai mahasiswa juga aktif di Persyarikatan Muhammadiyah.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.