Pandemi COVID 19 di Indonesia telah berlangsung lebih dari 5 bulan lamanya. Namun, hingga saat ini, kasus pasien positif COVID 19 tiap harinya belum menunjukkan adanya pengurangan yang signifikan. Sudah ada banyak kebijakan dari pemerintah untuk membantu penanganan pandemi. Namun kebijakan-kebijakan tersebut masih hanya terfokus pada korban, baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi.
Padahal, rendahnya tingkat literasi masyarakat juga berperan dalam sulitnya menyelesaikan pandemi. Apalagi dalam masa-masa seperti ini, hoaks dan disinformasi semakin gencar tersebar melalui berbagai media. Kegagalan pemerintah dalam mengedukasi masyarakat perihal pentingnya literasi selama pandemi ini membuat COVID 19 menjadi momok yang begitu menakutkan. Bukannya menjadi waspada, masyarakat justru menjadi takut dan khawatir berlebihan.
Jika melirik pada definisi pandemi yakni wabah yang berjangkit serentak di mana-mana, mungkin hoaks, disinformasi, dan rendahnya literasi bisa dikategorikan sebagai pandemi. Berdasarkan data Kominfo, terhitung mulai Januari hingga 16 Juli terdapat 1852 hoaks terkait virus corona. Hoaks paling banyak tersebar melalui Facebook yakni sebanyak 1344, sisanya tersebar di Twitter, Instagram, dan Youtube. Jumlah tersebut belum termasuk yang terdapat di media lainnya yang pastinya tidaklah sedikit.
Literasi Indonesia Tertinggal
Menurut data terkait tingkat literasi, Indonesia masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Pada tahun 2016, berdasarkan riset berjudul World’s Most Literate Nations Ranked, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 61 negara. Lalu, pada tahun 2018, kemampuan membaca Indonesia kembali disurvei di Programme for International Student Assessment (PISA). Pada survei tiga tahunan tersebut, Indonesia mendapat skor 371 dan berada di peringkat 72 dari 79 negara yang disurvei.
Kedua data tersebut menunjukkan tingkat literasi Indonesia masih berada jauh di bawah. Rendahnya tingkat literasi Indonesia tentu disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor pertama adalah rendahnya budaya membaca dan minat baca sejak dini. Menurut data yang dicatat oleh UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0.001%. Hal itu berarti hanya ada 1 orang yang rajin membaca dari 1000 orang di Indonesia. Menumbuhkan minat baca sejak dini sangatlah penting untuk generasi penerus bangsa. Sebelum anak-anak tertarik atau kecanduan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat, keluarga dan lingkungan sebaiknya berperan dalam memunculkan ketertarikan membaca pada anak.
Faktor kedua adalah kurangnya akses terhadap buku dan bahan bacaan yang menarik dan berkualitas. Bagi masyarakat Indonesia menengah ke bawah, buku masih menjadi sesuatu yang mahal dan sering dikesampingkan dengan kebutuhan lainnya. Hadirnya peran pemerintah dan organisasi terkait untuk menyediakan bahan bacaan menjadi sangatlah penting.
Perlu diketahui, saat ini sudah terdapat banyak perpustakaan dan juga organisasi yang bergerak dalam penyediaan buku bacaan kepada anak-anak yang kurang mampu. Bahkan, hingga tahun 2019, jumlah perpustakaan di Indonesia mencapai 164.610. Hal ini membuat Indonesia menduduki peringkat kedua negara yang memiliki perpustakaan terbanyak di dunia. Namun, banyaknya buku dan perpustakaan yang tersedia tidak dapat menjamin tingkat literasi di Indonesia akan langsung meningkat.
Pasalnya, percuma ada banyak buku dan bahan bacaan bila tidak ada yang membacanya.
Literasi dan Pandemi
Literasi sangat diperlukan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai COVID-19.
Di era digital, era di mana informasi sangat melimpah, kebijakan dalam memilah informasi sangatlah diperlukan. Untuk bisa bijak dalam memilah, masyarakat perlu membaca banyak tulisan dari berbagai sumber terpercaya. Dalam hal ini, kebiasaan untuk membaca berperan penting.
Literasi sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan. Salah satu contoh, saat ini terdapat teori konspirasi tentang anggapan bahwa pandemi corona direkayasa. Padahal, baik virus corona direkayasa atau tidak, faktanya ada banyak korban sakit dan meninggal akibat virus tersebut.
Sangat riskan bila masyarakat awam yang belum melek literasi keliru dalam memahami hal tersebut. Dampak buruk yang mungkin terjadi ialah kurangnya rasa percaya masyarakat kepada pemerintah dan juga petugas terkait. Sehingga masyarakat menjadi acuh terhadap segala protokol kesehatan yang ada.
Selanjutnya, literasi juga diperlukan untuk menjalani aktivitas baru selama pandemi. #Dirumahaja membuat hampir segala aktivitas sehari-hari dilakukan secara daring.
Para pelajar dituntut untuk bertanggung jawab dalam belajar secara mandiri. Tak sedikit pelajar yang lalai akibat merasa malas, lingkungan tidak kondusif, sulitnya akses internet, dan lain sebagainya. Agar proses pembelajaran di rumah ini dapat berhasil, para pelajar harus meningkatkan intensitas membaca agar memperoleh pemahaman yang baik.
#Dirumahaja harus bisa dijadikan sebagai peluang untuk mempelajari banyak hal-hal baru. Hal-hal yang sulit untuk dilakukan sebelumnya. Pemerintah harus berperan untuk menyediakan banyak informasi terpercaya dan mendorong minat baca masyarakat. Lingkungan dan keluarga harus bekerja sama agar tercipta situasi yang kondusif untuk beraktivitas secara daring. Serta, diri sendiri harus bisa disiplin dalam mengatur waktu untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan.
Sekali lagi, literasi adalah hal yang sangat penting. Dengan literasi, manusia bisa mudah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi dan juga menjadi lebih sadar akan pentingnya kebenaran dari suatu informasi. Mengingat tingkat literasi Indonesia masih sangat tertinggal, itu berarti masyarakat Indonesia masih harus terus meningkatkan intensitas membaca sekaligus menarik minat baca anak-anak sejak dini. Sebab, budaya membaca adalah kunci untuk membuka pintu kesuksesan bersama.