Ketahanan pangan kita tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang musiman karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan pangan nasional.
Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi petani yang terbatas; sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan lemahnya penanganan panen dan pasca panen mendorong Pemerintah untuk melakukan intervensi dengan mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.
Stok pangan yang tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau. Namun tidak jarang sarana dan prasaran distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri (kasus pengiriman sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta yang lebih mahal daripada dari Australia ke Jakarta; atau biaya pengiriman beras dari Surabaya ke Medan yang lebih mahal dari pada pengiriman dari Vietnam ke Jakarta).
Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.
Untuk itulah, tidak salah apabila Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok masih ada pangan buat rakyat.
Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.
Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting. Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan, sebagai wage good), lingkungan (menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai perekat bangsa, mewujudkan ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.
Beras merupakan kebutuhan pangan yang vital bagi banyak orang di dunia terutama di Indonesia.Produksi beras di Indonesia masih terdapat berbagai kendala,sehingga pemerintah Indonesia harus mengimpor beras. Salah satu kendala terhadap produksi beras di Indonesia yaitu harga beras yang tinggi.
Berdasarkan data Kementrian Perdagangan Indonesia tahun 2016, harga beras di Indonesia mengalami mengalami kenaikan yaitu pada akhir bulan Januari tahun 2015, harga beras di Indonesia mencapai Rp9.628,00 sedangkan pada akhir bulan Januari tahun 2016,harga beras di Indonesia mencapai Rp10.890,00. Hal tersebut merugikan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat menengah ke bawah.Oleh karena itu,perlu dilakukan upaya untuk mengatasi masalah produksi beras di Indonesia ini dengan cara memproduksi beras analog.
Beras analog merupakan suatu produk beras yang menggunakan bahan baku seperti jagung, tepung sagu,umbi-umbian,singkong,dan beberapa sumber karbohidrat lainnya. Untuk bisa menjadi beras analog,bahan baku harus memiliki kandungan zat pati.Buah pisang merupakan salah satu contoh bahan baku yang dapat digunakan menjadi beras analog karena kandungan zat pati yang cukup tinggi.
Namun,bagian bonggol pisang pada umumnya belum dimanfaatkan secara optimal dan hanya dibiarkan membusuk. Kandungan gizi yang terkandung dalam bonggol pisang cukup tinggi yaitu dalam 100 gram bahan bonggol pisang kering mengandung energi (425 kkal),protein (3,45 g),lemak (0 g), karbohidrat (66,2 g),serat (58,89%),kalsium (60 mg),fosfor(150 mg),zat besi (2,0 mg),vitamin B1 (0,04 mg),vitamin C (4,00 mg) dan air (20,00),sedangkan pada bonggol pisang yang basah mengandung energi (43kkal),protein (0,36 g),lemak (0 g),karbohidrat (11,6 g),kalsium (15 mg),fosfor (60 mg),zat besi (0,5 mg),vitamin B1 (0,01 mg),vitamin C (12,0 mg) dan air (86,00).
Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya semakin besar dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang tersebar.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, Indonesia memerlukan ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kecukupan konsumsi maupun stok nasional yang cukup sesuai persyaratan operasional logistik yang luas dan tersebar. Indonesia harus menjaga ketahanan pangannya.
Oleh sebab itu, pengembangan beras analog dari limbah bonggol pisang dirasa sangat diperlukan oleh Indonesia untuk menyelesaikan segala bentuk problematika yang semakin kompleks terkait ketahanan pangan nasional. Dengan pemanfaatan di sekitar lingkungan ternyata mampu menjadi sebuah solusi untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional masa depan yang tangguh dan inovatif.