Sejak kita duduk di bangku sekolah dasar hingga perkuliahan. Kita sudah tidak asing pastinya dengan sistem belajar berbasis hafalan yang diterapkan dalam proses belajar. Saat kita belajar fisika, matematika, dan kimia di sekolah. Kita diminta oleh guru untuk menghafal semua rumus-rumus itu ketika latihan maupun ujian. Siswa dinilai cerdas jika mampu mengingat definisi, menghafal rumus, atau mengulang jawaban yang persis seperti di buku. Padahal kenyataan di lapangan, justru menuntut siswa agar memiliki kemampuan yang jauh lebih kompleks dari sekadar menghafal.
Selain itu, tidak jarang pula ketika mengerjakan soal latihan dan ujian yang menggunakan sistem berbasis hafalan. Soal-soal yang diberikan pun biasanya berupa pilihan berganda dan instrumen pertanyaan 5W + 1H.
Kita tidak pernah diberikan latihan berupa kasus-kasus yang berbasis masalah lapangan atau kasus yang bersifat kontekstual. Ketika cara berbasis belajar hafalan yang dipakai dari bangku sekolah dasar hingga perkuliahan. Tak jarang pula sistem belajar hafalan ini tidak membentuk keahlian bagi siswa dalam menghadapi masalah yang ada di lapangan. Akibatnya apa?
Siswa yang setelah lulus dari sekolah maupun perguruan tinggi tidak siap menghadapi masalah-masalah yang terjadi dilapangan karir. Ketidaksiapan menghadapi masalah membuat mereka dalam menjalankan pekerjaan menjadi penuh tekanan. Tak jarang pula setelah menamatkan pendidikan, mereka justru tidak bekerja karena tidak memiliki skill yang mumpuni dalam menjalankan pekerjaan. Menurut laporan World Economic Forum tahun 2025.
Ada lima keterampilan terpenting yang dibutuhkan dunia kerja adalah berpikir analitis dan inovatif, pemecahan masalah yang kompleks, berpikir kritis, kreativitas, dan kecerdasan emosional. Tidak ada satu pun dari keterampilan itu yang menekankan kemampuan menghafal. Masalah pendidikan yang menggunakan sistem hafalan sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Padahal saat ini, di tengah dunia yang masalahnya demikian kompleks. Baik itu masalah sosial, ekonomi, dan teknologi. Maka untuk menghadapi problematika masalah ini, rasanya tidak cukup pendidikan Indonesia hanya menghasilkan siswa yang hafal secara teori dari buku-buku pelajaran.
Hafalan memang ada tempatnya. Kita tetap butuh hafal rumus dasar matematika, fisika, dan kimia. Kita juga butuh menghafal ayat suci Al-Qur’an agar berdakwah lebih mudah diterima oleh masyarakat tradisional. Seorang dokter juga perlu menghafal anatomi tubuh manusia. Tapi kalau pendidikan hanya berhenti di hafalan, siswa akan kesulitan saat menghadapi persoalan masalah di lapangan. Dia bisa saja hafal semua teori manajemen, tapi sayangnya ketika dihadapi masalah lapangan, ia tidak tahu bagaimana membuat perencanaan sederhana ketika menjadi seorang manajemen yang melaksanakan Qurban di masjid tempat tinggalnya.
Maka tidak heran, kita saat ini membutuhkan siswa yang mampu berpikir, menganalisis, dan memecahkan masalah. Di sinilah pendekatan belajar berbasis masalah atau problem-based learning (PBL) menjadi sangat penting diterapkan dalam pendidikan Indonesia.
Pembelajaran berbasis masalah bisa diartikan sebagai proses mencari tahu dan memecahkan pertanyaan, rasa ingin tahu, kebingungan, atau ketidakjelasan yang muncul dari berbagai persoalan rumit dalam kehidupan sehari-hari. Masalah itu sendiri bisa berupa kebingungan, kesulitan, atau hal-hal yang belum jelas, dan membutuhkan jawaban atau solusi untuk diselesaikan oleh siswa (Daniel Tillman: 2013). Misalnya siswa diminta meneliti penyebab banjir di lingkungan mereka. Mereka tidak hanya sekedar menjawab penyebab banjir itu apa, tetapi juga mencari solusi untuk mengatasinya.
Dalam menghadapi kasus ini, siswa diajak untuk mempertanyakan apa saja penyebab dan solusi untuk mengatasi banjir. Belajar berbasis masalah membuat mereka memunculkan pertanyaan yang kemudian dicoba cari tahu jawabannya. Siswa dalam mencari tahu jawaban bisa mencari dari internet, berdiskusi, mencari lewat buku-buku, dan juga bisa melakukan riset dengan langsung terjun ke lapangan untuk melihat realitas terjadinya banjir tersebut. Sehingga dengan menerapkan belajar berbasis masalah, siswa diharapkan menjalani proses belajar dengan berlandaskan ilmu bukan dengan kebiasaan.
Pakar pendidikan dunia, John Dewey, pernah berkata, “If we teach today’s students as we taught yesterday’s, we rob them of tomorrow.” Jika kita masih mengajar anak-anak dengan cara lama yang hanya menekankan hafalan, maka kita telah mengambil masa depan mereka. Kita justru membuat mereka tidak siap menghadapi kenyataan hidup yang penuh dengan masalah-masalah baru yang tidak ada jawabannya di dalam buku pelajaran.
Pendekatan berbasis masalah juga sejalan dengan nilai-nilai pendidikan nasional. Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia menginginkan pendidikan yang membebaskan, bukan yang mengekang. Pendidikan seharusnya membentuk manusia merdeka, bukan menjadi mesin penghafal. “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri,” kata Ki Hajar Dewantara. Maka tugas guru adalah membimbing siswa agar mampu dalam mengatasi masalah dalam proses belajarnya, bukan memaksakan hafalan yang tak dimengerti oleh mereka.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa dunia pendidikan hari ini tidak bisa maju jika hafalan yang terus diterapkan dalam pendidikan Indonesia. Kita butuh pendidikan yang membuka pikiran, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan mengajarkan cara berpikir. Belajar berbasis masalah bukan sekadar metode, tapi cara membentuk siswa menjadi manusia-manusia yang siap menghadapi masalah dan tantangan dalam hidup, bukan hanya menghadapi soal latihan dan ujian.
Negeri ini tidak cukup hanya diisi oleh orang-orang yang pandai menghafal. Kita juga membutuhkan lebih banyak pemikir, pencipta, dan pemecah masalah. Jika kita ingin Indonesia maju, maka pendidikan kita harus berubah. Dari belajar berbasis hafalan menuju cara belajar berbasis masalah.