Minggu, November 24, 2024

Upah Hitungan Jam dan Nasib Angkatan Kerja

Adhi Nur Seto
Adhi Nur Seto
Member of The Association Of Islamic University Student | Social Welfare Studies
- Advertisement -

Generasi muda kita tengah melaju kencang dalam berkarya. Bahkan, jika tidak ada batasan delapan jam perhari, barangkali mereka akan bekerja lebih dari itu. Asal, pekerjaan yang mereka lakukan di luar delapan jam kerja setiap harinya mendapatkan apresiasi yang layak dari perusahaan tempet mereka bekerja.

Para kawula muda ini, memang memiliki motivasi dan energi berlebih. Bagi mereka yang masih lajang, motivasi apalagi jika bukan untuk membeli gawai-gawai keluaran terbaru atau meminang perempuan pujaan hati.

Menikah di KUA memang murah, bahkan gratis. Namun konstruksi budaya cukup menjadi beban bagi para bujang untuk menggelar pesta pernikahan sesuai adat istiadat yang cukup menyita rupiah. Kerja keras adalah jalan satu-satunya untuk menggenapi tabungan guna menggelar pesta pernikahan.

Sedang, bagi mereka yang memiliki pasangan, motivasi untuk memiliki aset seperti rumah, kendaraan, mobil, serta aset lain guna meningkatkan taraf hidup keluarga telah mendorong mereka bekerja lebih keras. Mereka rela pergi pagi pulang pagi demi meraih impian yang mereka idam-idamkan.

Belum lagi bagi generasi Sandwich, yang terhimpit atas dan bawah. Generasi Sandwich selain memiliki beban kehidupan menafkahi anak isterinya, mereka juga harus menanggung beban nafkah orang tua.

Oleh karenanya, selain motivasi dan energi prima mereka tumpahkan saat bekerja dalam perusahaan, mereka akhirnya mau tidak mau harus melakukan pekerjaan sampingan, seperti jualan online shop atau menjadi driver ojek online, demi mengemban tanggung jawab sebagai kepala keluarga juga sebagai anak yang masih menanggung beban menafkahi orang tuanya.

Nasib Angkatan Kerja Muda

Akhir-akhir ini, pemerintah tengah menyusun RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Salah satu poin yang tengah dikaji dalam RUU Ombinus Law Cipta Lapangan Kerja adalah sistem upah berdasarkan jam kerja. Media kemudian ramai-ramai mengangkatnya di permukaan, publik menyambut dengan saling mendengung di jagad maya. Mereka menyimpulkan arah dari kebijakan upah berdasarkan jam kerja akan merugikan para pekerja.

Apakah betul kebijakan ini pasti akan merugikan pekerja dan menguntungkan pengusaha secara sepihak. Tentu ada dimensi lain dalam penyusunan RUU ini yang harus diperhatikan selain kepentingan pengusaha dan nasib pekerja. Mereka adalah nasib angkatan kerja muda.

Pro dan kontra dalam setiap pengambilan kebijakan adalah hal lumrah, terlebih kebijakan ini akan berimplikasi pada nasib manusia yang jutaan jumlahnya. Sebagai salah satu angkatan muda yang sedikit banyak serta langsung dan tak langsung akan mendapat efek dari kebijakan ini, saya menggarisbawahi suatu hal, yakni Apabila niat pemerintah memutuskan upah sesuai jam kerja adalah untuk memberi kesempatan bagi generasi muda memaksimalkan potensinya dan mewujudkan mimpinya tanpa pembatasan waktu maka hal ini adalah keputusan yang cukup fair.

Keputusan upah sesuai jam kerja tentu dapat memacu generasi muda untuk bekerja lebih giat lagi. Bagi pemerintah besarnya motivasi dan energi angkatan kerja yang produktif tentu berimplikasi baik pada pertumbuhan perekonomian nasional.

- Advertisement -

Namun, bila keputusan upah sesuai jam kerja semata-mata diniatkan untuk menarik perhatian investor dan memberi keringanan pada pengusaha tapi di sisi lain mengabaikan angkatan kerja kita, maka tentu ini keputusan kurang tepat.

Alih-alih akan meningkatkan perekonomian, keputusan ini justru membuat generasi muda enggan memasuki ruang-ruang kerja industri yang memposisikan mereka layaknya sapi perah tanpa apresiasi yang layak. Mereka akan lebih tertarik menjadi driver ojek online, yang tidak terikat jam kerja namun memiliki potensi pendapatan yang besar apabila mereka mau bekerja “berangkat pagi, pulang pagi”.

Pemerintah harus memperhatikan nasib angkatan kerja kita. Apalagi dalam waktu dekat Indonesia akan menghadapi bonus demografi, dimana Indonesia mengalami surplus angkatan kerja. Mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) pada 2019 sebanyak 185,34 juta orang dari 260 juta lebih populasi penduduk Indonesia. Artinya hampir 70% dari jumlah penduduk Indonesia adalah usia produktif.

Melihat data di atas, Sejatinya generasi muda tidak terlalu membutuhkan kartu ajaib guna menopang hidup mereka. Anak-anak muda ini hanya butuh diberi kesempatan yang baik dan akses terhadap pekerjaan yang bisa memaksimalkan potensinya dan meningkatkan taraf hidup mereka.

Mempersiapkan Angkatan Kerja

Generasi muda yang masih duduk di bangku sekolah maupun kuliah juga mesti diperhatikan. Kebijakan upah sesuai jam kerja yang tidak memihak pada mereka justru akan menurunkan atensi mereka untuk terjun di dunia profesional. Sulit bercita-cita menjadi profesional muda apabila tiada keberpihakan pemerintah dalam menjamin upah kerja yang memberi dorongan mereka mengeksplorasi potensi dan kemampuannya.

Walhasil, bonus demografi yang diharapkan menjadi kekuatan ekonomi negara, justru menjadi ancaman negara karena generasi muda enggan menjadi profesional di perusahaan dan lebih memilih menjadi driver ojek online atau membuat online shop.

Tentu menjadi driver ojek online dan meraup pendapatan melalui online shop bukanlah hal yang buruk. Namun sebagai negara berkembang yang berlimpah sumberdaya, Indonesia  tentu lebih membutuhkan profesional yang dapat membangun bangsa di masa yang akan datang. Keterlibatan generasi muda dalam dunia industri dapat mendorong geliat industri  tanah air semakin berkembang.

Mempersiapkan industrialisasi bagi generasi muda bukan semata menggonta-ganti kurikulum pendidikan. Mempersiapkan industrialisasi lebih pada penyusunan regulasi yang berpihak pada nasib generasi muda, menjadikan generasi muda sebagai tujuan dari setiap pengambilan kebijakan.

Oleh karena itu, apabila kebijakan upah berdasarkan pada jam kerja dilakukan secara fair tanpa merugikan angkatan kerja, maka minat generasi muda untuk terjun di dunia industri akan meningkat dan dapat mengurangi angka pengangguran. Namun bila kebijakan ini semata-mata hanya untuk menarik investor tanpa mempertimbangkan nasib generasi muda, maka yang terjadi yakni peningkatan angka pengangguran dan kegagalan Indonesia dalam menghadapi resesi ekonomi yang sudah di depan mata.

Adhi Nur Seto
Adhi Nur Seto
Member of The Association Of Islamic University Student | Social Welfare Studies
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.