Pagelaran wayang kulit tentu tidaklah asing bagi masyarakat kita, terutama bagi orang Jawa. Pagelaran atau pertunjukan wayang (atau bayang) adalah permainan bayang-bayang yang juga ada di seluruh dunia dalam berbagai bentuk dan gaya.
Sewaktu kecil, kita sering bermain atau menari dengan bayangan kita sendiri di bawah matahari atau terang bulan? Lalu dengan lampu senter menyorot jari-jari tangan kita untuk membentuk bayangan hewan-hewan sehingga kita bisa bermain wayang fabel bagaikan dalang-dalang wayang purwa yang sakral.
Permainan wayang dengan begitu tidaklah jauh dari aktivitas kemanusiaan kita sejak kecil hingga dewasa; bahkan lelaki Narcissus yang tampan itu jatuh cinta pada bayangannya sendiri dan si anjing serakah yang sudah memenangkan perebutan tulang terpaksa harus melepaskan tulang di air jernih mengalir ketika melihat bayangannya sendiri sebagai pesaing dan musuh yang membahayakan.
Sejak kapan manusia mulai menyadari permainan bayang-bayang ini dan mensistematika sebagai bagian dari kesadaran dan keberadaan manusia? Plato, seakan mengisyaratkan sejak manusia tinggal dalam gua-gua dan ditemukannya api sebagai blencong dalam permainan wayang kulit purwa; Purwa sendiri berarti purba, yang mula-mula, permulaan atau dari masa yang dahulu kala.
Manusia gua Plato yang terbelenggu, tak tercerahkan bisa mempercayai pergerakan bayangan di dinding gua dari api unggun yang menyala di terpa angin sebagai pergerakan nyata dari kehidupan sebagaimana Bagong yang dicipta dari bayangan Semar sebagai realitas yang kini hidup; mempengaruhi kehidupan Semar dan lingkungannya walau senyatanya, pada awal mulanya hanyalah bayang-bayang.
Gerak bayang-bayang yang tercipta itu jelas tak bisa dilepaskan dari (penemuan) nyala api. Bagi manusia purba, api adalah juga sumber misteri dan gerak perubahan. Dalam api unggun yang menyala, manusia mencipta dalam renungannya, kisah-kisah masa lalu, kini dan mendatang; pun bagaimana api membakar dan mengubah segala sesuatu.
Api menjadi semangat dan roh kehidupan baik dalam perspektif negatif atau positif. Begitukah Setan tercipta dari api? Api yang mengubah segala sesuatu itu setidaknya menarik perhatian filsuf Yunani Kuno, Heraclitus yang hidup sekitar 540-480 Sebelum Masehi dan menganggap api sebagai sumber gerak perubahan itu sendiri.
Api abadi dan tetap sementara segala sesuatu berubah karenanya. Api yang abadi dan tetap itu menjadi sumber semangat untuk membangun kekuasaan atau peradaban. Tak heran bila sumber-sumber api abadi yang nyata, dikeramatkan sebagai simbol kekuasaan yang menyala abadi.
Upacara api diselenggarakan untuk menghirup dan menghidupkan semangat api tersebut. Pagelaran wayang purwa yang pada mulanya tak bisa dilepaskan dari peranan api yaitu blencong untuk menampilkan bayang-bayang wayang yang dimainkan sang dalang, tentu tak bisa dilepaskan dari penyelenggaraan upacara penghormatan pada api di masa dahulu. Begitulah juga kekuasaan dan keberadaan Mataram tak bisa dilepaskan dari tradisi upacara api ini. H.J. De Graaf, dalam bukunya tentang Awal Kebangkitan Mataram mencatat bagaimana upacara api menjadi bagian dari Kerajaan Mataram ini.
De Graaf mulai dari kisah legendaris Kiai Ageng Sela, yang dianggap sebagai leluhur Dinasti Mataram, yang mampu menangkap petir. Lalu Pigeaud berpendapat tentang Kiai Ageng Sela “…sangat mungkin dapat dipandang sebagai seorang nenek moyang atau dewa dalam dongeng yang pada zaman dulu dikaitkan dengan api dan petir.“
Juga diceritakan menurut Dr Poerbatjaraka: “Sebelum garebeg Maulud seorang abdi istana berkunjung ke makam yang keramat dan di sana menyalakan api dengan sepotong sabut kelapa dari dian yang senantiasa menyala di atas makam itu. Kemudian api abadi ini dibawa ke Solo dan dengan api tersebut dinyalakanlah sebuah lampu di bangsal sakral keraton, yang harus tetap menyala sepanjang tahun.”
Dan “Suatu gambaran yang sedikit menyimpang dari kebiasaan itu diberikan oleh Schrieke dalam tulisan tambahannya pada karangan Bosch…yang memuat keterangan bahwa dua kali setahun api dari kayangan di Sela diambil sedikit, yang kemudian dibawa ke keraton Solo dan di sana ditempatkan dekat peraduan kerajaan.
‘Dikatakan, dulu penyulutan dan pembawaan api ini disertai arak-arakan besar…yang juga memberi kesempatan kepada orang lain (misalnya para pangeran) menyalakan lampu di peraduan mereka dengan api kayangan dari Sela itu. Jadi, Schrieke berpendapat, api di Sela itu sesungguhya mencerminkan ‘asas kekuasaan yang bersinar’. (Lihat: H.J. De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2020;15-17)
Api itu tidak boleh padam. Api harus tetap menyala. Padamnya api berarti padamnya kekuasaan atau kehidupan. Begitulah juga di akhir masa Majapahit pun, dicipta naskah Korawasrama yang berkisah tentang Kurawa tidak boleh mati begitu saja. Para kurawa harus dibangkitkan. Begawan Abiyasa menghidupkan kembali Kurawa agar Para Kurawa dapat membalaskan kekalahan di Padang Kurusetra.
Barangkali Korawasrama mengisyaratkan bahwa Majapahit tidak boleh mati atau berakhir. Pandawa dan Kurawa bukanlah simbol Kebaikan dan Kejahatan; yang satu mengalahkan yang lain tapi simbol bagaimana dinamika kehidupan berjalan secara dialektik, saling mempengaruhi.
Dengan begitu api terus dinyalakan; semangat tak padam karena kehidupan yang tidak hitam-putih terus digelar dalam upacara api bernama: “pagelaran wayang”.