Minggu, Oktober 13, 2024

UNESCO Masih Eurosentrik, Indonesia Menjadi Korbannya

Arrizal Jaknanihan
Arrizal Jaknanihan
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

Meski dipisahkan oleh Atlantik, gaung Black Lives Matter memiliki animo yang tidak kalah besar di kota-kota besar Eropa. Protes terhadap diskriminasi rasial menjadi topik yang tidak lagi asing ketika masyarakat Eropa sendiri sedang berada dalam perdebatan besar mengenai isu imigran. Walaupun diskriminasi rasial dapat disepakati sebagai hal yang salah secara moral, opini publik terbagi tatkala massa protes mulai menghancurkan patung-patung yang dilabeli sebagai “warisan kolonial.”

Patung yang dihancurkan tidak hanya dari tokoh yang secara historis jelas melanggengkan perbudakan, seperti Edward Colston dan Robert Milligan di Inggris yang punya peran besar dalam Atlantic Slave Trade. Beberapa tokoh sekaliber Winston Churchill tidak luput dari target vandalisme massa. Dari peristiwa tersebut saya mulai bertanya, pada batas apa suatu bangunan dapat dipandang sebagai objek sejarah yang “netral” atau sekadar warisan kolonialisme yang tidak lagi relevan?

Dominan atau tidaknya suatu narasi mempengaruhi bagaimana objek sejarah diperlakukan, termasuk objek yang dinominasikan ke UNESCO sebagai situs warisan dunia ‘world heritage site.’ Yang sering luput dari perdebatan publik adalah kekuasaan dan proses politik memiliki peran dalam menentukan narasi apa yang akan disematkan dalam objek sejarah.

Dalam hal tersebut, UNESCO masih didominasi oleh bias terhadap nilai-nilai Eropa. Dan sebagai konsekuensi, negara-negara pascakolonial seperti Indonesia turut melanggengkannya dengan menominasikan bangunan kolonial sebagai warisan dunia secara tidak berimbang.

Eurosentrisme dan Mitos “Budaya Universal”

Situs warisan dunia memiliki distribusi yang tidak merata di Eropa dan wilayah lainnya. Dari total 845 situs budaya UNESCO pada 2019, 30% di antaranya hanya terkumpul di empat negara Eropa Barat: Italia, Spanyol, Perancis, dan Jerman. Ketimpangan yang lebih besar ada ada bila turut menghitung keseluruhan Eropa dan Amerika Utara yang memiliki 47% dari seluruh situs warisan dunia, meskipun wilayah tersebut hanya mewakili 16% populasi dunia.

Sebagai perbandingan, penelitian Victoria Reyes pada 2014 menemukan bahwa 25 negara seperti Papua Nugini, Republik Dominika, dan Mongolia hanya memiliki 1 situs warisan dunia. Angka tersebut kontras bila dibandingkan dengan Spanyol dan Italia yang memiliki 114 dari total 695 situs warisan UNESCO.

UNESCO sebenarnya menetapkan 10 kriteria yang dipercaya bersifat universal dalam menominasikan suatu situs sebagai warisan dunia. Dalam kriterianya, suatu situs harus memiliki nilai universal luar biasa ‘outstanding universal value.’ Akan tetapi, interpretasi dari “nilai universal” tersebut dipandang hanya mengakomodasi nilai-nilai estetika Barat, termasuk warisan yang ditinggalkannya di berbagai belahan dunia melalui ratusan tahun kolonialisme.

“[Nominasi UNESCO] bekerja berdasarkan nilai estetika dan sejarah yang didasarkan pada nilai-nilai Eropa,” dalam tulisan Henry Cree, anggota World Heritage Advisory Board pada 1996.

Kritik tersebut menyorot sistem nominasi UNESCO yang dinilai tidak inklusif dan bias pada nilai-nilai Eropa, secara spesifik Eropa Barat. Dari 79 situs warisan dunia di Eropa Timur, bahkan, 23 di antaranya dinominasikan karena memiliki unsur arsitektur Perancis. Hanya 6 situs Eropa Timur yang bebas dari unsur-unsur seperti ‘ghotic,’ ‘baroque,’ dan ‘roman’ yang diasosiasikan dengan arsitektur Eropa Barat.

Sebagai konsekuensi, tidak hanya persebaran situs warisan dunia terkonsentrasi di Eropa, namun negara-negara Amerika Latin, Asia, dan Afrika juga terdorong untuk menominasikan situs kolonial alih-alih situs “asli” mereka. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang secara tidak langsung terdampak dari bias Eurosentrisme. Terpilihnya Tambang Ombilin sebagai warisan dunia pada Juli 2019 lalu menjadi suatu pencapaian. Namun, alasan mengapa proses nominasi situs lain seperti Kompleks Keraton Yogyakarta, Trowulan, dan Candi Muara Takus masih stagnan perlu dipandang secara lebih kritis.

Kolonialisme dan Identitas Nasional dalam Situs Sejarah

Gagasan Indonesia modern sebenarnya menjadi konsekuensi langsung dari kolonialisme Belanda. Baik dari aspek batas wilayah, konstruksi sejarah, ataupun gerakan nasionalisme berusaha untuk menegasikan gagasan Indonesia sebagai subjek kolonial. Dalam tataran budaya pun demikian, narasi sejarah seperti kejayaan Majapahit dan Sriwijaya membuat imaji seakan-akan identitas Indonesia sebenarnya telah lama lama ada dan bebas dari kolonialisme.

Meskipun begitu, diskursus orientalis masih menjadi cara pandang yang dominan dalam mengajukan suatu situs sejarah. Hampir setengah dari situs budaya Indonesia yang diajukan ke UNESCO merupakan bangunan kolonial. Beberapa di antaranya yaitu Kota Tua Jakarta, Kota Lama Semarang, dan Kebun Raya Bogor. Tambang Batubara Ombilin menjadi salah satu yang akhirnya lolos dari proses nominasi.

Sebenarnya, tidak ada ada yang salah dari inklusi warisan kolonial ke dalam identitas negara. Sejalan dengan pendapat Ariel Heryanto, budaya yang berkembang melalui kolonialisme akhirnya diadopsi menjadi bagian dari identitas nasional dan tidak dapat lagi dipisahkan, sekuat apapun gerakan nasionalisme yang berusaha untuk “memurnikannya.”

Argumen serupa juga muncul dari kritik J.J. Rizal kepada Jusuf Kalla ketika adanya rencana penggusuran Rumah Landhuis Tjimanggis di Depok. JK mengungkapkan bahwa rumah tersebut melambangkan kolonialisme Belanda yang korup dan maka dari itu, tidak ada urgensi untuk dipertahankan. Bila memang perkaranya soal warisan kolonial, harusnya JK sejak lama sudah menghancurkan Kebun Raya Bogor dan Istana Merdeka yang dulu menjadi singgahsana para gubernur jenderal.

Meski demikian, standar UNESCO sering kali tidak dapat mengakomodasi situs sejarah di negara-negara pascakolonial. Selain karena keterbatasan infrastruktur untuk memastikan preservasinya, penjajahan membuat bangunan-bangunan yang memenuhi kepentingan kolonial saja yang dapat bertahan dengan baik setelah suatu negara merdeka. Sebagai konsekuensi, situs warisan kolonial cenderung mendapatkan peluang lebih besar untuk dinominasikan sebagai warisan dunia dibandingkan situs-situs lainnya.

Alasan yang bersifat struktural tersebut menjadi salah satu faktor mengapa kompleks Tambang Batubara Ombilin masih bertahan dan akhirnya dinominasikan sebagai situs warisan dunia. Meskipun bila dapat menggunakan mesin waktu untuk kembali ke masa gerakan antikolonial dulu, saya yakin tambang tersebut dinilai tidak lebih dari sekadar simbol eksploitasi Belanda terhadap buruh di Kota Sawahlunto.

Lepas dari itu, dipilihnya situs tersebut sebagai warisan dunia tetap menjadi suatu pencapain. Pada akhirnya, upaya “memurnikan” budaya negara bekas kolonial dari masa lalunya merupakan hal yang hampir mustahil. Meski demikian, praktik-praktik yang berkaitan dengan monopoli nilai budaya perlu dipandang secara lebih kritis.

Apakah dinominasikannya suatu situs benar-benar membawa identitas negara atau secara tidak langsung hanya melanggengkan bias-bias yang telah tertanam dalam suatu institusi? Pertanyaan tersebut semakin relevan di tengah perdebatan mengenai “warisan kolonial” yang semakin ramai dalam beberapa bulan terakhir.

Arrizal Jaknanihan
Arrizal Jaknanihan
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.