Akhir-akhir ini pembicaraan publik ramai soal pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tak lama berselang, pengesahan undang-undang tersebut segera dilakukan judicial review oleh sembilan mahasiswa Universitas Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam proses perkara pengujian undang-undang di MK, terdapat dua jenis pengujian. Pertama, pengujian materil yang menguji substansi norma ataupun keseluruhan undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kedua, uji formil yang menguji proses pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan tata cara pembentukan suatu undang-undang sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Mengenai Uji Formil
Pengujian formil dalam kerangka sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan sebuah hak guna menilai keabsahan prosedur dalam pembentukan suatu undang-undang. Tujuan dari pengujian formil ialah untuk memastikan apakah suatu undang-undang yang dibentuk oleh organ pembentuk undang-undang memenuhi aspek legitimasi dan validitas. Legitimasi di sini dapat diartikan untuk menguji apakah suatu undang-undang dibentuk berdasarkan adanya partisipasi yang bermakna . Sementara itu, validitas sendiri berarti menguji apakah pembentukan undang-undang telah berkesesuaian dengan prosedur pembentukan undang-undang.
Adapun yang menjadi bahan pembuktian dalam pengujian formil ialah mengenai peristiwa hukum berkenaan dengan pembentukan undang-undang yakni terhadap bentuk yang tepat (Appropriate form), dibuat oleh institusi yang tepat (Appropriate institution), dan menggunakan tata cara yang tepat (Appropriate procedure).
Sejak pertama kali bersidang, dalam proses pembuktian MK menggunakan model teori pembuktian afirmatif dengan memberikan beban pembuktian kepada pemohon. Hal ini sejalan dengan asas yang berkembang dalam hukum acara perdata yakni actori incumbit probation yang berarti siapa yang menggugat maka dia yang berkewajiban membuktikan. Kemudian, model ini pun diperkuat dengan ketentuan Pasal 58 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Pengujian Undang-Undang yang dirumuskan, “Pemohon membuktikan dalil Permohonan dalam persidangan”.
Berbeda dengan pengujian materil, tantangan yang dihadapi oleh pemohon pada uji formil menjadi lebih berat. Hal tersebut dapat tercermin ketika melakukan pembuktian di mana posisi pemohon harus membuktikan ketidaksesuaian prosedur pembentukan legislasi.
Masalahnya, acap kali publik kesulitan untuk mengakses dokumen yang digunakan dalam proses pembentukan undang-undang sehingga pemohon memiliki keterbatasan untuk membuat dalil permohonan. Oleh karenanya, dalam hal ini terjadi ketidak seimbangan antara pemohon dengan Pemerintah dan DPR dalam proses pembuktian dalam pengujian formil.[1]
Hanya Sekali Kabul
Sepanjang sejarah hanya terdapat dua kali MK menyatakan sebuah undang-undang sebagai cacat prosedur dalam uji formil. Pertama kali MK menyatakan pembentukan undang-undang sebagai cacat prosedur yakni pada perkara pengujian Undang-Undang Mahkamah Agung di tahun 2009. Pada saat itu, sejumlah aktivis dan dosen berhasil membuktikan adanya cacat prosedur terhadap pembentukan UU MA karena minim partisipasi publik. Kendati terbukti bahwa terjadi cacat prosedur terhadap UU MA, MK tidak mencabut keberlakuan UU MA sebab alasan kepastian dan hukum karena sejumlah norma yang timbul dari UU MA telah dilaksanakan.
MK pernah menyatakan pembentukan undang-undang sebagai cacat prosedur dalam putusan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja di tahun 2021. Tak hanya menyatakan terjadinya cacat prosedur dalam pembentukan undang-undang, MK juga memberikan putusan yang mengharuskan adanya perbaikan menyeluruh terhadap pembentukan UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun setelah putusan.
Alasannya, UU Cipta Kerja 2020 dianggap tidak memenuhi partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembentukannya. Di samping itu, menurut MK mekanisme omnibus yang diadobsi belum pernah diakui sebagai mekanisme pembentukan perundang-undangan di Indonesia.
Peluang Penggugat
Berdasarkan pada bentangan fakta yang didasari pada preseden sebelumnya, gugatan formil terhadap Undang-Undang TNI memang sulit untuk dikabulkan utamanya jika tujuan akhirnya pembatalan undang-undang. Kendati begitu, hal demikian bukanlah berarti mustahil dengan beberapa catatan.
Pertama, penggugat dapat membuktikan bahwa terjadi pelanggaran terhadap partisipasi publik yang bermakna. Hal demikian dapat ditelusuri mulai dari tidak terpenuhinya tiga hak dalam pembentukan undang-undang yakni hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan jawaban dari pendapatnya. Salah satu fakta yang dapat memperkuat hal tersebut ialah bahwa pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang TNI sendiri dilakukan secara sangat terburu-buru dan tertutup.
Kedua, para penggugat harus mampu meyakinkan MK untuk melakukan pergeseran pada pendapat hukum sebelumnya. Sebagai contoh, di awal tahun MK melakukan terobosan dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden (Presidential Threshold) padahal hal demikian pernah ditolak sebanyak 32 kali oleh MK. Penggugat dalam hal ini ditantang dapat membuktikan secara faktual dan potensial terjadinya kerugian yang diderita akibat tidak terpenuhinya prosedur pembentukan undang-undang TNI.
Di akhir, harapan sebesar-besarnya MK dapat memutus perkara ini dengan seadil-adilnya, dengan mempertimbangkan konteks sosiologis, filosifis, dan historis yang menjadi urgensi pembentuk Undang-Undang TNI ini. MK juga tidak boleh terbawa suasana dan tekanan dari pihak manapun, termasuk pula tekanan publik. Serta yang jauh lebih penting ialah penyelenggara negara perlu harus terus diberikan shock therapy bahwa segala tindakan, termasuk pembentukan undang-undang perlulah dilakukan dengan taat asas dan prosedur salah satunya tidak mengabaikan partisipasi publik yang bermakna.
[1] Lihat juga: Sri Pujianti, Ahli: Pemeriksaan Pengujian Formil dan Materiil Harus Dipisah, (https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17303&menu=2, (Diakses pada 11 Januari 2024).