Lebih dari 17.000 pulau tersebar di antara Samudra Pasifik dan Hindia. Lebih dari 200 kelompok etnis dengan lebih dari 300 bahasa yang digunakan menjembatani benua Asia dan Australia. Banyak pemandangan menakjubkan dan keanekaragaman hayati yang membentang di sepanjang garis khatulistiwa.
Begitulah fakta yang tertulis di laman Wonderful Indonesia dalam bahasa Inggris. Sejak Crude Palm Oil dan pertambangan terganggu karena harga yang mudah bergejolak dan isu kerusakan lingkungan. Indonesia mencari beberapa alternatif sebagai sumber pemasukan negara, salah satunya dengan menggencarkan sektor pariwisata, entah itu yang biasa atau bersertifikasi halal.
Hal ini bukan tanpa alasan, setidaknya terdapat dua faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, Indonesia memiliki keunggulan komparatif di sektor pariwisata dengan dukungan keindahan alamnya. Bisa kita lihat dari publikasi, The World Travel and Tourism Council, pariwisata Indonesia berada di posisi ke 9. Selain itu, pariwisata halal Indonesia menempati posisi puncak versi Global Muslim Travel Index 2019.
Alasan ke dua terkait nilai pasar, World Bank mencatat bahwa investasi di pariwisata sebesar US$ 1 juta mampu mendorong 170% dari PDB. Lalu, menurut State of Global Islamic Economy Report (2018), pasar pariwisata halal pada tahun 2017 bernilai US$ 117 miliar dan Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Bahkan, sektor ini tidak begitu terpengaruh oleh krisis ekonomi global, seperti bisa kita lihat pada Yunani dan Spanyol yang sektor pariwisatanya tumbuh 9-11% pada 2011, padahal sedang mengalami krisis.
Kementerian Pariwisata telah menargetkan 20 juta pengunjung turis asing pada tahun 2019 dengan perkiraan akan mendapat devisa sebesar US$ 17,6 miliar. Dalam upaya mencapainya pemerintah telah menyiapkan tiga program. Pertama, Border Tourism yaitu meningkatkan kunjungan wisman dari negara tetangga.
Kedua, Tourism Hub yakni menarik wisatawan yang sedang berkunjung ke negara tetangga. Terakhir, Low Cost Terminal yaitu pengembangan Terminal I dan II Bandara Soekarno Hatta sebagai terminal bandara murah. Sementara untuk pariwisata halal telah ada 13 provinsi yang siap untuk dikembangkan.
Menjadikan Tunawisma Sebagai Pemandu Wisata
Kemiskinan dan pengangguran adalah permasalahan yang selalu menjadi fokusan pemerintah di negara mana pun. Terlepas dari perdebatannya, Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan bahwa penduduk miskin adalah penduduk dengan kategori pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Angka rata-rata Garis Kemiskinan September 2018 sebesar Rp 392.154 per kapita per bulan. Masih dari sumber yang sama, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2018 sebanyak 25,675 juta orang. Di samping itu, BPS mencatat bahwa jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2018 mencapai 7 juta orang.
Penduduk miskin dan pengangguran dalam kasus ini kita sebut tunawisma, memang sering dipandang sebelah mata. Hanya karena mereka tunawisma, bukan berarti mereka penjahat. Lantas kenapa tidak dimanfaatkan saja para tunawisma untuk menyuseskan pariwisata Indonesia? Ini bukanlah sesuatu yang baru, Rusia dan Irlandia telah berhasil menerapkannya.
Perlu diketahui riset Twitter sebanyak 27,4% responden yang pernah ke Indonesia menyatakan bahwa Indonesia menjadi destinasi wisata karena memiliki peninggalan sejarah dan warisan budaya.
Selanjutnya 60,7% responden memilih berlibur ke Indonesia dengan destinasi yang aman dan nyaman. Atas selera konsumen yang seperti itu, menjadikan tunawisma sebagai pemandu wisata adalah hal yang tepat. Pengalaman hidup di jalanan, membuat mereka paham akan seluk-beluk kota. Bukanlah hal yang sulit pula untuk menemani turis sambil bercerita tentang sedikit sejarah kota. Selain itu, kemanan dan kenyamanan turis pun akan terjaga, karena bagaimanapun bagi mereka, turis adalah asetnya.
Tugas pemerintah hanyalah berkolaborasi untuk menjadikan tunawisma ini sebagai pemandu wisata profesional. Seperti dalam hal pemetaan, pelatihan, dan pembuatan standar operasional prosedur. Ketika program ini berhasil, tentunya akan dapat menyenangkan berbagai pihak. Pemerintah pusat dan daerah akan senang karena jumlah tunawisma berkurang.
Dinas Pariwisata akan terbantu karena adanya pihak yang memandu kedatangan turis asing. Dinas Sosial akan senang karena pekerjaan untuk merazia tunawisma dijalan dapat berkurang. Lalu, turis asing pun akan senang, karena ini pengalaman yang jarang sekali ditemui. Apabila masih kesulitan, pemerintah juga dapat berkolaborasi dengan perguruan tinggi karena terdapat banyak program kerja yang berbau pengabdian ke masyarakat atau mungkin, bisa juga melalui komunitas dan sukarelawan.
Begitu banyak potensi yang tersimpan dalam sektor pariwisata. Namun, sangat menyayangkan apabila tidak memanfaatkan momentum ini untuk langsung menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran.
Program seperti ini juga dinilai lebih efektif ketimbang memberikan uang tunai yang jumlahnya tak seberapa dan membebani anggaran belanja pemerintah. Selama asumsi manusia selalu butuh pengakuan masih berlaku. Bukanlah hal yang sulit untuk mengarahkannya ke hal yang positif dengan adanya komitmen bersama.