Sudah banyak artis masuk ke dalam dunia politik. Ada juga pelawak yang sukses meraih kursi kekuasaan. Pengusaha, akademisi, hingga para Kyai, juga tak kalah banyak yang melenggang mulus meraih tampuk kuasa negeri. Tapi bagaimana jadinya kalau tukang dongeng jadi politikus? Kalau sudah begitu, barangkali badut Senayan sudah tak laku lagi. Perannya digantikan sang pendongeng dengan seribu kisah yang jenaka.
Dongeng merupakan bentuk sastra lama yang bercerita tentang suatu kejadian yang luar biasa dan penuh khayalan. Sedangkan politik adalah cara untuk meraih atau merebut kekuasaan. Apakah bisa dongeng itu digunakan sebagai cara politik, sebagaimana dalil Illahi dimanfaatkan segelintir orang untuk kepentingan politik sesaat itu? Tentu jawabannya adalah bisa.
Untuk mengoperasikan dongeng tentu membutuhkan sang pencerita. Inilah yang kita sebut dengan tukang dongeng. Tugasnya adalah menghibur siapa saja yang mendengarkan. Sama seperti orang tua ketika membacakan dongeng ke anaknya. Ada suatu harapan agar anaknya lekas tidur. Sebagaimana sang pendongeng menginginkan yang mendengarkan lekas terhanyut dalam ceritanya.
Kemenangan politik di era kekinian tidak bisa dilepaskan dari narasi politik. Narasi politik adalah cerita tentang siapa yang baik dan siapa yang buruk. Lebih dari itu, siapa yang pahlawan dan siapa yang bandit. Lihatlah Pilpres 2014 kemarin misalnya, betapa setiap kontestan berebut untuk menjadi diri yang lebih baik dari lawannya. Makanya, media kemudian hadir untuk menarasikan hal tersebut.
Hitam dan putih dalam politik semakin dianggap wajar. Black campaign kemudian menjadi strategi jitu untuk memuluskan niat jahat itu. Menjelang pemilihan umum dalam segala sektor jabatan, banyak orang juga berlomba menjadi sengkuni. Mereka membisikkan narasi tentang betapa jahatnya para lawan politiknya. Dengan begitu, sengkuni berharap akan diangkat menjadi penasehat politiknya. Sehingga segala apa yang diucapkan sang sengkuni kemudian menjadi petuah.
Anehnya, kenapa pembisik-pembisik ini selalu muncul menjelang momen politik saja? Tentu hal ini semakin menerangkan bahwa mereka ada kepentingan. Ada udang dibalik batu, begitu barangkali nasehat orang lama dulu. Lalu apa kepentingannya? Mereka berharap menjadi king maker, raja sejati dibalik raja bayangan. Lalu mengkultuskan diri sebagai orang suci dengan segala klaim politiknya. Klaim bisa mempengaruhi raja, ini kemudian diperjualbelikan kemana saja.
Lalu apa bedanya sengkuni alias sang pembisik ini dengan tukang dongeng? Kalau menurut penulis, ibarat pedagang dan entreprenuer. Kalau sengkuni hanya menarasikan politik; hitam dan putih, dengan strategi menghitamkan atau mencacat lawannya, sedangkan tukang dongeng beda lagi. Mereka memiliki segudang narasi tentang apapun. Jika mereka menjadi penasehat, mereka bak malaikat yang memberi nyawa pada politisi. Makanya politisi adalah satu-satunya bidang profesi yang bisa mengalahkan dokter. Kalau dokter sekali hidup sekali mati. Tapi politisi, sekali mati, ia bisa hidup lagi. Tentu dalam konteks tertentu ini sebenarnya.
Lalu siapakah yang lebih baik antara sang sengkuni dengan tukang dongeng? Begini, sengkuni pasti adalah tukang dongeng. Namun ia hanya membisikkan narasi itu kepada yang ia anggap “orang penting.” Sedangkan ketika bertemu dengan orang yang ia tidak memiliki kepentingan, ia akan menjadi tukang dongeng. Ia menderaskan cerita seribu satu mimpi, atau membangun seribu candi dalam waktu semalam. Memang enak didengar, tapi tidak ada bobotnya. Dan efeknya seperti candu. Hanya indah di angan-angan, dan sukanya bermimpi saja. Dan merekalah yang merusak marwah, kehormatan, dan melanggar etik profesi tukang dongeng. Lalu siapakah tukang dongeng sejati itu sebenarnya? Mereka yang mewarisi semangat Abu Nawas. Masihkah ada?
Ada. Adalah mereka yang tidak terbiasa menghitam putihkan cerita. Adalah mereka yang menceritakan “Kancil Nyolong Timun” dengan penutup cerita bahwa kancil hanya khilaf, Pak Tani lagi butuh uang untuk anaknya, dan timun salah tidak bisa menjaga dirinya.
Begitupun dalam dunia politik. Tukang dongeng sejati adalah mereka yang memberikan hikmah dalam setiap kejadian. Bukan mereka yang menderaskan narasi tentang jahgt selalu hitam, dan baik selalu putih. Karena dunia politik sekarang tambah abu-abu.