Rabu, April 24, 2024

Tuhan, Kemaksiatan, dan Siksaan

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Bayangkan di hadapan Anda ada tiga ekor semut yang berjalan secara beriringan. Di depan tiga ekor semut itu ada tiga buah botol minuman yang diletakkan secara berjarak dan berdampingan. Ketiga semut itu berjalan menuju tiga botol tersebut.

Ketika berada di depan botol pertama, yang dilihat oleh ketiganya hanya ada satu botol saja. Dia pasti tidak tahu bahwa di balik botol itu masih ada dua botol lagi yang belum dia lewati. Tapi, ketika botol pertama itu terlewati, barulah dia sadar bahwa ternyata, setelah botol pertama terlewati, di hadapannya masih ada botol yang lain lagi.

Tak lama kemudian ketiganya pun melewati botol kedua itu. Namun, sebelum melewati botol tersebut, pasti semut-semut itu tidak tahu bahwa setelah botol kedua itu sebenarnya masih ada satu botol lagi yang belum mereka lewati. Setelah mereka melewati botol kedua, barulah mereka sadar bahwa di sana masih ada satu botol lagi yang sebelumnya tidak mereka ketahui.

Setelah tahu di hadapannya ada botol, merekapun lewat di atas botol itu. Sampai kemudian akhirnya mereka sampai pada satu tujuan yang hendak mereka capai, dengan melewati tiga botol tadi itu.

Sekarang muncul pertanyaan: ketika berada di hadapan botol pertama, masing-masing dari ketiga semut itu pasti tidak tahu bahwa sebetulnya di belakang botol tersebut masih ada dua botol lagi. Mengapa mereka tidak tahu? Jawabannya, karena pandangan mereka terbatas. Mereka adalah makhluk-makhluk yang kecil. Sementara botol itu adalah barang-barang yang tinggi dan besar, jika dibandingkan dengan ukuran badan mereka.

Karena itu mereka tidak bisa menjangkau semuanya. Tapi Anda—sekali lagi Anda—yang berada di hadapan tiga semut itu, bukankah Anda bisa mengetahui ketiga botol itu secara jelas? Dan bukankah Anda juga tahu bahwa ketiga semut itu akan lewat? Pertanyaannya: Apakah pengetahuan Anda itu menjadi sebab di balik lewatnya semut?

Tentu saja tidak. Yang menjadi sebab itu bukan pengetahuan Anda. Lalu apa? Yang menjadi sebab itu ialah kehendak semut itu sendiri yang tergerak untuk lewat. Dengan begitu, menjadi jelaslah bahwa pengetahuan kita tentang sesuatu bukanlah sebab di balik terjadinya sesuatu itu. Anda tahu bahwa malam nanti anak Anda akan bermain game sampai subuh, seperti yang biasa dilakukannya setiap hari, misalnya.

Pertanyaannya: Apakah pengetahuan Anda itu menjadi sebab di balik permainan game yang dilakukan oleh anak Anda itu? Tentu saja tidak. Pengetahuan Anda itu satu hal, permainan game itu hal yang lain lagi. Berarti, melalui contoh itu, bisa kita simpulkan bahwa pengetahuan kita tentang suatu kejadian, itu bukanlah sebab bagi lahirnya kejadian itu sendiri. Pengetahuan itu sifatnya hanya menyingkap saja. Itu kata kuncinya. Ilmu itu fungsinya hanya sebagai penyingkap. Dan dia tidak menjadi sebab.

Begitulah kira-kira cara termudah untuk memahami pandangan para teolog Muslim yang menyatakan bahwa ilmu Allah itu hanyalah menyingkap sesuatu, tidak menjadi sebab bagi lahirnya sesuatu itu sendiri. Artinya, ketika Anda bermaksiat, misalnya, Allah pasti tahu dengan perbuatan maksiat Anda. Tapi apakah ilmu Allah menjadi sebab bagi lahirnya perbuatan Anda? Tentu saja tidak. Karena ilmu itu, sekali lagi, hanya menyingkap saja.

Atas dasar itu, Anda tak punya alasan untuk menyalahkan takdir. Tidak ada alasan bagi Anda untuk mengatakan bahwa perbuatan maksiat yang saya lakukan gara-gara takdir Allah. Karena yang menjadi sebab di balik perbuatan tersebut ialah kehendak Anda sendiri. Bukan ilmu Allah. Ilmu Allah itu hanya menyingkap saja.

Karena itu, dalam buku-buku kalam disebutkan bahwa sifat ilmu itu ialah sifat yang tidak memiliki permulaan (qadîmah), yang berada dalam Dzat Allah, yang dengannya segala sesuatu itu tersingkap sebagaimana adanya. Makanya, bagi Allah, tidak ada istilah masa lalu, masa sekarang, ataupun masa yang akan datang. Semuanya tersingkap sebagaimana adanya.

Tapi, tersingkapnya segala sesuatu oleh sifat ilmu itu tidak berarti bahwa sifat ilmu itu menjadi sebab di balik terjadinya sesuatu itu. Yang menjadi sebab ialah Allah dengan sifat kuasa-Nya (qudrah), bukan dengan sifat ilmu-Nya. Dengan kata lain, ketika saya berbuat maksiat, yang menciptakan perbuatan maksiat itu memang Allah, dengan sifat kuasa-Nya, bukan dengan sifat ilmu-Nya. Akan tetapi, yang perlu dicatat, dalam proses terlahirnya, kuasa manusia juga turut berperan di sana.

Sebelum berbuat maksiat, saya bisa memilih. Adanya pilihan itu diakui oleh semua manusia. Tak ada manusia yang bisa mengingkari bahwa manusia itu adalah makhluk yang memiliki kebebasan, dan karena itu ia bebas untuk menentukan pilihan.

Di samping memiliki kebebasan, manusia juga memiliki akal, yang dengannya manusia bisa menimbang sebelum memutuskan. Karena manusia itu punya pilihan, maka konsekuensinya, ketika mereka berbuat maksiat, mereka pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihan mereka itu.

Mengapa? Karena yang mengaktualisasikan pilihan dan kebebasan itu adalah mereka. Bahwa Allah yang menciptakan kebebasan itu, iya. Tapi yang mengaktulisasikan kebebasan itu adalah diri mereka sendiri. Dan karena itulah mereka akan diminta untuk bertanggung-jawab. Tapi terciptanya perbuatan itu sendiri tentu tercipta dengan adanya kuasa Allah Swt. Allah yang menciptakan, tapi manusia yang mengupayakan.

Mengapa harus Tuhan yang menciptakan? Sebab, kalau Anda meyakini bahwa yang menciptakan perbuatan itu adalah diri Anda sendiri, itu artinya Anda mengakui adanya pencipta selain Tuhan. Apakah Anda bisa mengamini itu? Kalau Anda meyakini Tuhan sebagai satu-satunya pencipta, tidak mungkin Anda akan berkata iya.

Selain itu, kalau benar Anda yang menciptakan perbuatan Anda, niscaya Anda akan tahu tentang rincian perbuatan Anda, sebagaimana Anda juga pasti akan tahu akan sebab utama di balik lahirnya perbuatan Anda. Tapi yang ada justru sebaliknya. Seringkali kita melakukan suatu perbuatan, tapi perbuatan itu sendiri tidak sesuai dengan kehendak kita. Dan kalaupun berbuat, kita juga tidak tahu dengan rincian dari perbuatan itu. Setidaknya itu menjadi pertanda bahwa manusia tidak menciptakan perbuatannya.

Yang menciptakan perbuatan itu adalah Allah, tapi manusia turut mengupayakan dengan kehendak dan potensi yang dimilikinya. Karena itu, ketika mereka berbuat salah, Tuhan akan memintai mereka pertanggungjawaban. Bisa jadi kesalahan itu diampuni oleh Tuhan. Bisa jadi juga kesalahan itu diberikan siksaan sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan oleh yang bersangkutan.

Dengan keyakinan seperti ini, kita tetap meyakini Tuhan sebagai satu-satunya pencipta. Tapi dalam saat yang sama, kita juga percaya bahwa manusia itu bertanggungjawab atas semua perbuatan yang dilakukannya. Tak ada ruang bagi kita untuk berdalih dengan takdir.

Bahwa Tuhan sudah mentakdirkan segala sesuatu, iya. Dan kita meyakini itu. Hanya saja, terwujudnya takdir itu sendiri tetap melibatkan peranan manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, baik dalam soal kemaksiatan maupun dalam soal ketaatan. Demikian, wallahu ‘alam bisshawâb.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.