Jumat, April 26, 2024

Transaksi Dinar dan Dirham: Bisakah Dijerat Pidana?

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|

Belakangan ini media mainstream ramai mewartakan ihwal transaksi koin dinar dan dirham yang terjadi di Pasar Muamalah Depok. Dan pada tanggal 2 Februari 2021, media kembali mewartakan Zaim Saidi yang notabene pendiri sekaligus inisiator Pasar Muamalah Depok (MPD) ditangkap polisi.

Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari polisi ihwal musabab penangkapan tersebut. Namun banyak pihak menilai penangkapan itu merupakan buntut dari viral-nya video penggunaan dinar dan dirham saat transaksi Pasar Muamalah Depok (MPD) yang dimotori beliau.

Dari peristiwa itu rasanya penting bagi kita semua untuk mengetahui lebih jauh ihwal dinar dan dirham. Terlebih pada zaman Rasulullah, dinar dan dirham digunakan sebagai alat bayar dalam transaksi jual beli. dan kebetulan masyarakat Indonesia mayoritas memeluk Islam, dan Pasal 1 UUD 1945 menegaskan Indonesia merupakan negara hukum. olehnya mari sejenak meng-analisis peristiwa penggunaan dinar dan dirham di MPD dalam framing hukum pidana.

Konsekuensi Pidana Penggunaan Dinar & Dirham

Secara umum, dinar memiliki arti koin yang terbuat dari emas dengan kadar kemurnian 22 karat dan berat 4,25 gram. Sedangkan dirham memiliki arti koin yang terbuat dari perak murni dengan berat 2.975 gram. Secara spesifik dinar dan dirham merupakan mata uang sah beberapa negara timur tengah. Seperti Dinar Kuwait, Dinar Bahrain, Dinar Yordania, Dinar Irak, Dirham Uni Emirat Arab, Dirham Libya, Dirham Qatar.

Kedua definisi dinar & dirham, baik itu secara umum maupun secara spesifik dapat disimpulkan bahwa dinar dan dirham bukanlah merupakan mata uang Negara Indonesia. Senada dengan itu, Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 Tentang Mata Uang (UU 7/2011) menegaskan “Mata uang negara kesatuan republik Indonesia adalah Rupiah (Rp).” Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (2) UU a quo menegaskan “Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan Rupiah logam.”

Hal ini menimbulkan pertanyaan. yakni, apakah penggunaan dinar dan dirham yang dilakukan Zaim Saidi di Pasar Muamalah Depok (PMD) masuk dalam kategori tindak pidana?

Untuk mengetahui jawabannya, terlebih dahulu perlu diketahui seperti apa dinar dan dirham yang digunakan di Pasar Muamalah Depok (PMD). Dilansir dari TEMPO.CO, dinar yang digunakan di PMD ialah koin emas seberat 4,25 gram dengan kadar 22 karat. Sedangkan dirham yang digunakan adalah koin perak murni 2,975 gram. Fakta ini menunjukkan bahwa dinar dan dirham yang beredar di PMD sesuasi dengan “definisi umum” dari dinar dan dirham.

Lebih lanjut, harga beli dua jenis koin dinar dan dirham Zaim Saidi tersebut sesuai dengan harga yang ditentukan PT Antam. Saat ini nilai tukar satu dinar setara dengan Rp 4 juta, sedang satu dirham setara dengan Rp 73.500.

Bila kembali membuka UU 7/2011, tentu tidak akan ditemukan klausul pasal yang mengatur secara eksplisit ihwal penggunaan dinar dan dirham (bukan mata uang asing) dalam transaksi ekonomi di Indonesia. Namun Pasal 21 UU 7/2011 menegaskan rupiah wajib digunakan di setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan transaksi keuangan lainnya.

Senada dengan bunyi Pasal di atas, Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono juga ikut berkomentar ihwal penggunaan dinar dan dirham dalam transaksi di PMD. Ia menuturkan bahwa setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam bertransaksi dapat dijatuhi sanksi pidana kurungan atau penjara paling lama satu tahun. Selain itu, orang tersebut dibebankan denda maksimal Rp200 juta.

Dari pernyataan tersebut, dan bunyi Pasal 21 yang mewajibkan penggunaan rupiah disetiap transaksi tentu semakin menegaskan bahwa mata uang asing tidak boleh dipergunakan dalam transaksi ekonomi.

Namun kembali lagi, dinar dan dirham yang beredar di PMD pada dasarnya bukan merupakan mata uang negara Indonesia yang sah, juga bukan merupakan mata uang asing atau mata uang negara timur tengah. Melainkan hanya koin emas dan perak atau logam mulia yang diproduksi oleh PT Antam. Artinya koin tersebut dapat dipersamakan dengan perhiasan atau harta logam mulia yang memiliki value dan banyak dikoleksi masyarakat.

Oleh karena itu, menurut penulis transaksi di PMD berupa pertukaran barang antara penjual dan pembeli menggunakan dinar dan dirham merupakan praktik “barter” yang telah dikenal lama, dan bukan perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain sah-sah saja apabila ber-transaksi menggunakan dinar dan dirham, sepanjang dinar dan dirham itu hanya sebatas alternatif bukan syarat mutlak.

Dari rangkaian paparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam faraming hukum tidak ada konsekuensi pidana bagi masyarakat yang menggunakan dinar dan dirham dalam transaksi ekonomi, sepanjang dinar dan dirham itu bukan mata uang asing. Sehingga tidak tepat apabila Zaim Saidi ditangkap dengan dalih beliau telah mengedarkan dinar dan dirham di Pasar Muamalah Depok (PMD).

Demokrasi Ekonomi

Dalam menyikapi transaksi dinar dan dirham (bukan mata uang asing), mesti nya negara tidak usah turut campur terlalu jauh. Dikarenakan Indonesia mengadopsi konsep “demokrasi ekonomi”. Konsep ini terdiri dari dua kata, yaitu ekonomi dan demokrasi.

Secara etimologi ekonomi berasal dari kata oikos (keluarga) dan nomos (peraturan). Sehingga ekonomi dimaknai sebagai peraturan rumah tangga. Secara leksikal ekonomi juga dimaknai sebagai aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan transaksi, serta konsumsi.

Sedangkan demokrasi erat kaitannya dengan implementasi kedaultan masyarakat. Menurut KBBI “Kedaulatan” bermakna independensi, kemandirian, dan kemerdekaan. Sehingga konsep demokrasi ekonomi dapat dipahami sebagai kebebasan masyarakat dalam kegiatan transaksi jual beli. Kebebasan ini mencakup mulai dari kebebasan ingin menjual berbagai jenis barang, kebebasan membeli jenis barang, termasuk kebebasan dalam menggunakan alat bayar atas pembelian suatu barang. Dengan catatan kebebasan tersebut tidak menyimpangi hukum positif (ius constitutum).

Berdasarkan rangkaian pemaparan di atas, penulis memberi kesimpulkan bahwa transaksi jual beli dengan menggunakan alat bayar “dinar dan dirham” made in Indonesia (bukan mata uang asing) tidak memiliki konsekuensi pidana, dan bukan merupakan tindak pidana, serta selaras dengan konsep “demokrasi ekonomi” yang telah diadopsi Negara Indonesia.

 

 

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.