Minggu, April 28, 2024

Tragedi Nol Buku

Ade cahya
Ade cahya
Field Coordinator and Assesor bedahrumah.org

Budaya literasi kita rendah, tak dapat dipungkiri. Bahwa keberadaan buku-buku pengayaan siswa kita masih jauh dari impian. Bahkan Taufik Ismail, seorang sastrawan dan budayawan pernah menyebutnya sebagai tragedi nol buku. Secara spesifik, budaya membaca dan menulis kita amat memprihatinkan, padahal keduanya penyangga literasi, dan amat penting dalam pembangunan bangsa ini.

Sementara, membaca itu adalah jendela dunia, membaca itu mencerdaskan, dan membaca itu membekali pembacanya untuk menguasai berbagai hal. Syarat mutlak untuk mengetahui sesuatu adalah Iqra, membaca baik teks maupun konteks. Untuk menulis pun, orang-orang wajib membaca!

“Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik” ( Buya Hamka)

“Books are the carriers of civilizations, without books, history is silent, literature dumb, science crippled, thought and speculation at a standstill. They are engines of changes, windows on the world, lighthouses erected in the sea of time.” (Barbara W Tuchman)

(Buku adalah pembawa peradaban, Tanpa buku, sejarah itu sunyi, sastra itu bodoh, sains lumpuh, pemikiran dan spekulasi terhenti. Buku adalah mesin perubahan, jendela di dunia, mercusuar yang didirikan di lautan waktu)

“There are crimes than burning books, one of them is not reading them” (Ray bradbury)

(ada kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku, salah satunya adalah dengan tidak membacanya) (Pusatdoktamadun).

Dalam momentum hari buku sedunia 23 April 2021 ini kita akan mencoba memotret gairah literasi masyarakat Indonesia. Berdasarkan studi “ Most Littered Nation In The World” yang dilakukan Central Connecticut State University, Maret 2016 Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara (Kompas). Belum lagi di tingkat ASEAN ( The Association of Southeast Asian Nations), berdasarkan hasil survei UNESCO (United Nations Educational, Scientifik and Cultural Organization) menunjukan bahwa minat baca masyarakat di Indonesia paling rendah (Wartaonline).

Mengapa disebut Tragedi? Taufik Ismail melakukan penelitian tentang “Kewajiban Membaca Buku Sastra di SMA di 13 negara pada Juli-Oktober 1997. Ia melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 Negara dan Bertanya tentang kewajiban membaca buku, tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah, bimbingan menulis, dan lengajaran sastra di tempat mereka.

Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji. Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara:

1. SMA Thailand: 5 judul di Narathiwat tahun 1986-1991

2. SMA Malaysia: 6 judul di Kuala Kangsat tahun 1976-1980

3. SMA Singapura: 6 judul di Stamford College tahun 1982-1983

4. SMA Brunei Darussalam: 7 juduldi SM Melayu I tahun 1966-1969

5. SMA Rusia Sovyet: 12 judul di Uva tahun 1980-an

6. SMA Kanada: 13 judul di Canterbury tahun 1992-1994

7. SMA Jepang: 15 judul di Urawa 1969-1972

8. SMA Internasional Swiss: 15 judul di Jenewa 1991-1994

9. SMA Jerman Barat: 22 judul di Wanne-Eickel tahun 1966-1975

10. SMA Perancis: 30 judul di Pontoise tahun 1967-1970

11. SMA Belanda: 30 judul di Middleberg tahun 1970-1973

12. SMA Amerika Serikat: 32 judul di Forest Hills tahun 1987-1989

13. AMS Hindia Belanda A: 25 judul di Yogyakarta 1939-1942

14. AMS Hindia Belanda B: 15 judul di Malang tahun 1929-1932

15. SMA Indonesia: 0 judul di mana sajatahun 1943-2005

Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional),dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra:1) tak disebut di kurikulum,2) dibaca cuma ringkasannya,3) siswa tak menulis mengenainya,4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan5} tidak diujikan, dianggap nol.

Ternyata hasil penelitiannya sungguh mengejutkan! Siswa SMA Indonesia Tidak Wajib Membaca Buku Sastra Sama Sekali (atau nol buku) sehingga dianggap sebagai siswa yang Bersekolah Tanpa Kewajiban Membaca! (Dharma:2014).

Indonesia salah satu negara dengan kepadatan penduduk yang meningkat, pendidikan minim, kejahatan membabi buta, korupsi menjadi budaya, dan pelajar mempunyai cita-cita tinggi tetapi tidak mau membaca.

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang memiliki payung hukum dari Permendikbud No.23 Tahun 2015 tentang penumbuhan Budi Pekerti. GLS memiliki berbagai program yaitu membaca senyap, Tantangan Membaca, Mengajak siswa menulis seakan hanya wacana pemanis agenda-agenda sekolah saja. Hanya menghidupkan slogan-slogan bermakna literasi tanpa memiliki konsep yang real.

Krisis literasi tidak hanya terjadi pada siswa, tetapi juga pada stakeholder sekolah, stakeholder sekolah hanya sibuk bersaing membanguin brand sekolah untuk Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), Akan tetapi lupa membangun mutu manusia nya.

Ade cahya
Ade cahya
Field Coordinator and Assesor bedahrumah.org
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.