Tragedi 1965 pasca peristiwa G 30 S sebagai kejahatan kemanusiaan sudah banyak diungkap dan diulas. Walau begitu tragedi kemanusiaan tahun 1965 itu tampak hadir tanpa beban dosa dan rasa salah dalam kehidupan keseharian Republik. Ia bukanlah tragedi yang harus segera berakhir menuju komedi dengan mencari solusi yang berkeadilan dan berkemanusiaan agar air mata kesedihan tidak terus-menerus jatuh tanpa tahu kapan berhenti tetapi justru terus-menerus dijadikan alas untuk berkuasa. Penyair Putu Oka Sukanta sangat memahami situasi ini: keadilan korban tragedi 1965 tidak akan terpenuhi pada generasi pertama. Dari benaknya yang gelisah, lahirlah gagasan untuk menyunting kisah-kisah dari generasi kedua dan ketiga yaitu Cahaya Mata Sang Pewaris: kisah nyata anak-cucu korban tragedi 1965.
Mengapa keadilan bagi korban 1965 ini begitu lama hingga setengah abad lebih tak juga menemukan keadilan? Dan hampir selalu menemukan kegagalan ketika kasus 1965 itu dibuka untuk dicarikan jalan keluarnya sehingga seakan-akan kasus 1965 adalah batu sialan yang harus dihindari dalam diskusi maupun penyelesaian secara hukum dan politik? Kompleksitas kasus 1965 yang seakan tak menemukan jalan keluar ini sebenarnya adalah juga cermin dari keruwetan akibat kemandegan dan kebuntuan filsafat alias cara berfikir bangsa. Yang seringkali luput dari diskusi mengenai tragedi 1965, yang seharusnya menjadi peristiwa penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah kejahatan terhadap masa depan ilmu pengetahuan Indonesia sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Pembunuhan massal yang terjadi pasca Peristiwa G 30 S tersebut segera pula dilanjutkan dengan pembunuhan aliran filsafat terpenting abad XX: Marxisme dalam perspektif Leninisme. Ini tentu saja merupakan tragedi Filsafat Indonesia sebab Marxisme dalam perspektif Leninisme telah menjadi bagian dalam perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme. Bila berkaca pada filsuf Indonesia menurut Toety Heraty Noerhadi Rooseno, dua orang filsuf Indonesia yang akrab dengan pemikiran Marxisme dan Leninisme adalah Soekarno dan Tan Malaka.
Peristiwa 1965 jelas menjadi lonceng kematian bagi perkembangan Filsafat terutama filsafat Materialisme Dialektik dan Historis yaitu Marxisme yang selama ini menjadi pegangan aktivis komunis. Tetapi sesungguhnya, pembunuhan filsafat Materialisme itu adalah juga lonceng kematian bagi Filsafat Indonesia sendiri. Filsafat Idealisme yang berkuasa semasa Orde Baru tak menemukan imbangan diskusinya sebab debat filosofis yang bisa memajukan Filsafat Indonesia yaitu antara Filsafat Materialisme dan Idealisme ditiadakan. Yang ada adalah caci maki vulgar terhadap Filsafat Materialisme yang tidak mencerminkan keberhasilan Rakyat Indonesia mengusir penjajahan yaitu menjadi manusia Indonesia yang cerdas. Sikap ini jelas tercermin dari phobia akut terhadap simbol-simbol komunisme yang masih dihidupkan sampai sekarang hingga anekhdot yang mengikutinya seperti perlunya mengganti Kota Palu di Sulawesi Tengah karena bisa mengingatkan pada lambang Partai Komunis Indonesia: Palu & Arit.
Dengan begitu, Pembunuhan 1965 tidak hanya bersifat fisik yang memilukan hati kemanusiaan tetapi juga bersifat non fisik yaitu kemampuan berimajinasi dalam (dan) berfilsafat dialektik antara materialisme dan idealisme. Ironisnya, tragedi (kematian) filsafat Indonesia tahun 1965 itu justru dirayakan dengan pendirian Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, yang mendasarkan pada pengembangan filsafat berdasarkan Pancasila dalam terang Orde Baru. Tentunya pasca tumbangnya Orde Baru, Fakultas Filsafat UGM yang bertungkus lumus dengan Filsafat Pancasila itu juga terus mengalami perkembangan sebab Pancasila tak lagi menjadi monopoli tafsir Orde Baru.
Kemunduran filsafat jelas kemunduran Ilmu Pengetahuan rakyat Indonesia. Rakyat yang lama tak dibimbing dalam perdebatan sehari-hari oleh filsafat menjadikan gampang mengumbar caci maki dalam memandang perbedaan. Tanpa sentuhan filsafat, daya pikir kritis tidak ada; yang berakibat menemukan pembenaran dalam ajaran-ajaran dogmatis seperti menganggap liyan sebagai kafir atau liyan sebagai ketidakbenaran. Situasi yang timpang dan senjang dalam Filsafat Indonesia hari ini mau tidak mau bisa disimpulkan disebabkan oleh absennya Filsafat Materialisme. Filsafat Materialisme tidak dipahami sebagaimana mestinya tetapi dipahami salah dan penuh kedangkalan. Ini semua berakar pada Tragedi Kemanusiaan 1965. Dalam hal ini “Politik telah menjadi Panglima” sebab politik sebagai panglima melarang perkembangan sewajarnya dari Filsafat Indonesia yang membutuhkan dua sayap untuk terbang ke pencapaian kebenaran ilmiah tertinggi melalui kepakan Materialisme dan Idealisme.
Memang dalam Tap MPRS No XXV tahun 1966, Marxisme-Leninisme masih bisa dipelajari secara ilmiah dalam kalangan terbatas dalam rangka mengamankan Pancasila. Tetapi jelas koridor seperti ini juga tidak dapat membantu ekonom seperti Mubyarto yang hendak merumuskan Ekonomi Pancasila karena hambatan politik sehingga tidak leluasa menggunakan sumber-sumber rujukan seperti Das Kapital misalnya.
Dewasa ini di tengah seruan perlunya revolusi mental, Filsafat sebagai alat revolusi justru terpental-pental hanya dalam tembok-tembok filsafat idealisme. Sementara itu Filsafat Materialisme semakin berlapis-lapis tembok penjaranya sejak pertama kali dibangun oleh Orde Baru dengan TAP MPRS No 25 tahun 1966 hingga Pemerintahan era reformasi di bawah Presiden Jokowi dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat yang juga merupakan Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat. Tembok-tembok idealisme ini perlu dijebol untuk membiarkan masuk Filsafat Materialisme sehingga memungkinkan daya pikir kritis dan wacana filsafat pun berkembang sebagai hasil dialektika di antara keduanya. Kalau tidak, perjalanan satu abad kemerdekaan ini sebenarnya bukan jalan naik bagi filsafat dan sains di Indonesia yang dapat memuliakan kemanusiaan Indonesia seutuhnya: lahir-batin tetapi justru: jalan menurun yang tidak Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.