Suasana menyambut bulan puasa selalu menyuguhkan pemandangan serupa. Beberapa hari sebelum permulaan harga-harga barang naik. Nanti, sebelum usai, pusat perbelanjaan berhias dengan simbol-simbol keagamaan, seperti ketupat, masjid dan unta. Belum lagi, lagu-lagu lebaran menggema dari banyak sudut. Setelah beberapa abad, adakah kita pernah berpikir untuk memeriksa kembali kewajiban yang berbeda dengan ibadat lain yang bersifat personal, seperti sembahyang dan haji?
Sejatinya, secara formal umat akan mengulang-ulang apa yang telah diterakan dalam kitab suci bahwa puasa itu diwajibkan kepada orang Islam dan orang-orang sebelumnya agar mereka bertakwa (al-Baqarah: 183). Uraian terhadap ayat ini acapkali ditekankan pada nilai-nilai puasa lahir, seperti tidak makan, minum dan berhubungan seksual. Sementara, puasa batin, seperti tidak mengumpat, berkata-kata kotor, dan menyebar kebohongan (hoax) dianggap sebagai mengurangi, bukan membatalkan. Padahal, sejatinya Muhammad diutus menyempurnakan akhlak, sehingga etika sepatutnya menjadi summon bonum, kebaikan tertinggi.
Pendek kata, puasa tidak hanya dilihat sebagai kewajiban yang terpisah dari amal lain yang juga dianggap sebagai satu-kesatuan. Misalnya, dalam sebuah hadits Bukhari dalam Adabul Mufrad (Etika Pribadi) diriwayatkan bahwa fitnah/bencana yang dialami seseorang pada keluarga, harta, anak, tetangga dapat dihapuskan dengan salat, puasa, sedekah dan amar makruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan demikian kewajiban ibadat di bulan Ramadhan tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan amal yang lain.
Dengan penekanan pada perhatian terhadap keluarga, harta, dan anak, Nabi juga mengingatkan nasib tetangga. Tak pelak, ketika zakat fitrah dipandangan sebagai satu paket dengan puasa, namun dalam Hadits di atas, sedekah disebut sebagai cara untuk mengelak bencana. Bagaimanapun, besaran zakat fitrah yang berupa beras atau makanan pokok bersifat karikatif, tidak menyentuh masalah ekonomi dan sosial umat. Pendek kata, kepedulian terhadap orang tidak semata-mata bersifat etika normatif, tetapi juga terapan.
Secara normatif, setiap individu Muslim memang wajib menunaikan sembahyang, berpuasa, dan berpuasa, yang sekilas sebagai pemenuhan pribadi sehingga mereka yang ingkar akan mendapatkan azab. Namun, pada waktu yang sama, salat yang ditegakkan bisa sia-sia jika yang bersangkutan tidak peduli dengan penderitaan orang lain, yang ini tidak sekadar diatasi dengan beras 2,5 Kg, tetapi bagaimana potensi zakat bisa dimanfaatkan untuk mendorong pengelola memanfaatkan untuk kegiatan produktif, seperti peternakan dan pertanian yang ramah lingkungan.
Demikian pula, pemahaman terhadap Hadits Nabi bahwa sahur itu perlu ditunaikan karena di dalamnya ada keberkatan. Berkah yang selama ini tampak abstrak sejatinya dipahami dalam pengertian konkret. Dengan memenuhi kebutuhan tubuh sebelum memulai puasa, individu tersebut tidak akan merasa lapar yang akan mengganggu pekerjaan dan ibadat sepanjang hari. Pendek kata, puasa itu bukan tidak makan tetapi mengubah jadual dan pada waktu yang sama baik bagi pencernaan.
Bagaimanapun inti dari puasa adalah bukan karena tidak ada makanan, tetapi seseorang bisa menahan diri (self-control), yang ditekankan dalam kewajiban ini dan secara psikologis penting. Orang yang bisa mengawal hasrat atau nafsu secara otomatis akan mampu bertahan dalam menghadapi tantangan hidup, yang dipicu oleh hasrat. Bagaimanapun, seperti diungkap oleh Epicurus bahwa hasrat manusia dibagi tiga, yakni alami dan niscaya (nature and necessary), alami dan tidak niscaya (nature and necessary), serta kosong dan sia-sia (empty and vain).
Dengan merujuk pada ide filsuf di atas, puasa tetap menimbang kebutuhan tubuh dengan membatasi waktu makan, sebab ia merupakan hasrat alami dan niscaya. Demikian pula, kecenderungan orang yang berpuasa untuk makan menu istimewa, tapi ia bukan keniscayaan, sehingga bisa ditinggalkan. Apalagi, asupan yang berlebihan pada masa berbuka akan mengganggu kenyamanan dalam menunaikan salat tarawih, sekaligus menunjukkan kegagalan yang bersangkutan untuk memahami inti puasa, yaitu menahan diri.
Hanya saja, hasrat yang ketiga berupa kekayaan, kedudukan dan kemasyhuran yang diam-diam menempati kedudukan penting dan dominan dalam doa-doa orang yang beribadah. Padahal, Epicurus menyebut ketiganya sia-sia karena tidak ada batas sehingga manusia seakan-akan berlari di atas treadmill, bergerak sekencang apapun yang bersangkutan masih ada di tempat berpijak, tak bergerak ke mana-mana. Tentu, pandangan Epicurus terkait dengan tiga hal tersebut dipahami per se, sebab kenyataannya ketiganya bisa dimanfaatkan untuk menyuburkan kebaikan-kebaikan sebagai implikasi dari kewajiban yang keempat ini.
Populeritas seseorang acapkali digunakan oleh orang yang mempunyai kedudukan dan kekayaan untuk menggerakan kegiatan sosial untuk orang ramai. Demikian pula, seseorang yang mempunyai jabatan bisa menggerakkan bawahannya untuk terlibat dalam aktivitas untuk menolong orang lain yang terpinggirkan, miskin, dan sakit. Pendek kata, puasa sebagai sarana untuk mendorong tiga hasrat yang terakhir untuk menyuburan pesan tersirat dari puasa yaitu kepedulian pada orang lain. Ketika seseorang berhasil menguji dirinya untuk menahan diri, ia akan memiliki kepekaan terhadap rasa lapar, emosi, dan kemampuan untuk mengendalikan diri.
Dengan demikian, salah satu hikmah puasa, sehat, bisa tercapai jika dalam menggapai hasil (outcome) ia dilalui dengan proses yang diisi dengan masukan (input) yang sejalan dengan ajaran ideal, seperti pemahaman yang utuh tentang pola makan, pengisian waktu dengan ibadat, dan tentu hubungan dengan orang lain yang diwarnai dengan sifat-sifat mulia. Tak pelak, yang terakhir sejatinya tujuan lebih murni dari kewajiban ini, sebab puasa bisa ditinggalkan oleh perempuan yang berhalangan dengan membayar fidyah, yakni memberi makan 60 orang fakir miskin.
Apabila puasa bisa ditinggalkan, kita bisa membuat metafora bahwa kewajiban ini adalah tangga, yang mengajak seseorang dari satu tempat ke tempat yang lain, yaitu selain perubahan diri, sekaligus peduli. Oleh karena itu, setelah berada di atas, seseorang telah menjadi orang yang berbeda dan menjadi bagian dari kehidupan orang ramai dengan permai.