Pilkada membuat kehidupan masyarakat sedikit ‘bergeser’. Masyarakat pendukung kandidat mulai bergerak, melakukan sosialisasi, mengajak atau membujuk pihak lain. Hal yang bisa dilakukan dalam menyakinkan masyarakat adalah dengan ‘membesar besarkan’ calon seolah seolah didukung oleh semua pihak. Dalam konteks kekinian, Pilkada juga diramaikan dengan ‘cyber troops’ yang akan menggunakan media sosial dalam mensosialisasikan para kandidat.
Apa yang dilakukan pendukung ini biasanya menggunakan sebuah gaya bahasa yang disebut Totem Pro parte. Totem pro parte adalah gaya bahasa yang menggunakan keseluruhan untuk merujuk pada sebagian saja (Gorys). Misalnya kalimat: “Indonesia mengalahkan Malaysia 2-0”. Penyebutan Indonesia dalam kalimat ini bukan untuk menyatakan selurah rakyat Indonesia, tapi hanya untuk menyebutkan 11 pemain yang bertanding dengan 11 pemain Malaysia.
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian seseorang (Tarigan). Totem pro parte sering juga ditemukan dalam dunia politik khususnya menjelang pilkada. Penggunaan gaya bahasa ini untuk mengklaim sebuah keberpihakan ke salah satu kandidat. Misalnya: (1) Kawasan Hilir pasti mendukung Z; (2) Kami dari Mudik memilih M untuk Bupati; (3) Masyarakat Tanco merindukan A untuk Bupati; (4) Kami dari Desa Beringin siap memilih M untuk Bupati, dll.
Ini bukti bahwa bahasa telah menjadi bagian dari kehidupan politik. Bahasa tidak pernah lepas dari fungsi politis dalam rangka mempengaruhi publik dalam sebuah kontestasi politik. Politisasi bahasa ini dapat berbentuk adanya pembakuan bahasa, penginstitusian bahasa dan penggunaan jargon-jargon politik (Yaqin, 2007).
Bahasa dalam ranah politik biasanya bertujuan untuk memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Bahasa-bahasa para politisi dimaksudkan untuk menarik perhatian para pemilih. Bahasa merupakan media untuk memperoleh kekuasaan (Jurgen Habermas).
Bahasa juga sebagai bahan sangat mendasar dalam politik, bahasa merupakan bumbu dasar segala ranah yang berkaitan dengan politik untuk mencapai kekuasaan (deLespinasse). Bahasa juga dipandang sebagai sarana utama politik dan melalui penggunakan bahasa terefleksi bagaimana kekuasaan digunakan. Ini yang seringkali disebut sebagai bahasa politik (Suprapto, 2002).
Totem pro parte menjelang pilkada merupakan komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik berkaitan dengan klaim keberpihakan kepada pihak tertentu dalam rangka ingin ‘menyenangkan’ seorang kandidat. Ada tendensi, ini merupakan cara mengkomunikasikan politik tanpa ada study komprehensif yang belum bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan ini bisa dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, ibu rumah tangga, tukang ojek, penjaga warung, dsb. Ini merupakan cara menampilkan diri dalam bahasa.
Dalam praktiknya, komunikasi politik dalam formasi totem pro parte sangat mungkin dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas politik, ungkapan ini merupakan cara untuk unjuk kekuatan, atau psy war terhadap lawan politik, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis untuk memberikan ‘pengumuman’ tentang ‘kondisi politik’ di daerah tertentu.
Ternyata, totem pro parte diungkapkan hanya melihat wajah atau gelagat seseorang tanpa menelusuri ‘isi hati seseorang. Dia mencoba ‘mengeneralisasi’ sesuatu tanpa data emperis. Apa yang dilihat dan dikerjakan seseorang bisa jadi berbeda dengan ‘pilihan hati’ orang tersebut. Harapan ini bisa membuyarkan harapan kandidat dalam sebuah pilkada.
Setiap wacana yang muncul dari politisi atau tim sukses tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi ‘yang ujungnya’ merupakan bentuk pertarungan keberpihakan. Komunikasi politik tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi memiliki makna membujuk dan bahasa mereka terkesan sebagai ‘pemenang’ dalam Pilkada
Oleh karena itu, bahasa tidak lagi dipandang hanya sebagai sebuah mekanisme kognitif, tetapi lebih penting lagi dianggap sebagai alat interaksi sosial (Dik, 1980). Bahasa pengguna selalu menggunakan pengalaman khusus mereka, yang mencerminkan perilaku sosial mereka (Melrose, 1995).
Sebagai refleksi dari perilaku sosial penggunanya, penggunaan bahasa yang tepat dan pilihan linguistik tertentu tergantung sepenuhnya pada konteks situasi berlatar pilkada. Bahasa dikontektualisasi dalam setting sosial dengan mengharapkan publik menerima dan menyetujui makna bahasa yang diungkapkan.
Bahasa memiliki peran yang dominan dalam politik, karena bahasa politik juga mengandalkan fitur kebahasaan untuk melakukan sosialisasi politik ditengah masyarakat. Bahasa diungkapkan sebagai suatu proses sosial yang berbentuk deklarasi atas ’prestasi si calon. Dalam konteks ini, bahasa bukan saja alat komunikasi penyampai pesan, tapi juga menunjukkan pilihan sosial politik, untuk menjaga dan mempertahankan pilihan politik masyarakat.
Karenanya, bahasa tidak hanya membentuk dan menentukan realitas sosial, bahasa bukan sekadar alat untuk mengungkapkan pikiran, tetapi wahana komunikasi untuk mempengaruhi. Kehadiran bahasa dalam kehidupan politik tidak bisa dianggap secara tiba-tiba, tetapi melalui proses, kajian dalam rangka mencapai tujuan politik seseorang, yaitu: menginginkan publik berada dalam pilihan yang sama.
Ditemukan, bahasa yang digunakan tim sukses menjelang pilkada sering menuturkan ungkapan yang ‘berlebihan agar pihak pendengar terkesima. Ini bentuk idealitas dalam penggunaan bahasa dimasyarakat dalam penyalahgunaan fungsi bahasa dengan hanya memberi info sekedar basi basi supaya orang ini ‘nampak telah bekerja’ atau supaya terkesan santun dan ‘sangat suka menolong’ menjelang kontestasi politik itu.
Oleh karena itu, publik harus menyikapi wacana totem pro parte secara kritis dengan melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis totem pro parten bisa dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks, siapa bilang apa, timing (waktu pengungkapan), positioning (jabatan politisi itu), dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007: 114).
Publik juga bisa melakukan analisa framing untuk mengetahui bagaimana realitas (aktor, kelompok, atau apa saja) dikonstruksi oleh media (Eriyanto, 2005, p.3). Analisa framing menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi pada dirinya dan melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas.
Jangan terjebak dengan totem pro parte, kandidat mesti turun ke ‘lapangan’ untuk memastikan apa yang dikatakan pendukung itu sesuai dengan kenyataan atau ‘cuma basa basi’.