Minggu, Oktober 13, 2024

Toleransi Pemanis Acara

Akhol Firdaus
Akhol Firdaus
Dosen Filsafat dan Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung

Seperti sedang menjadi tren, dalam acara-acara formal yang diikuti kalangan lintas agama, para pejabat publik dan tokoh-tokoh, gemar sekali memulai pidato dengan mengucap salam semua agama.

Biasanya, ada sesi sambutan-sambutan yang panjang, menyerupai lomba pidato. Semua tokoh dan pejabat yang berkesempatan pidato sambutan, selalu memulai pidatonya dengan cara yang sama. Membuka dengan menumpuk salam semua agama.

Beragama Islam atau bukan, yang bersangkutan selalu memulai dengan “assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Lalu, biasanya disusul secara berurutan dengan, “salam sejahtera”, “Om swastiastu”, “Namo Budhaya”, terakhir biasanya ditutup dengan ungkapan “Rahayu”. Itu bila yang bersangkutan ingat. Karena salam yang terakhir mewakili kadhang-kadhang Penghayat Kepercayaan yang kurang populer di kalangan pejabat publik.

Hanya sedikit sekali yang mengucapkan salam cara Konghucu. Alasannya sederhana, para tokoh dan pejabat publik itu susah menirukannya. Menurut saya, salam cara Konghucu memang susah ditirukan, Wei De Dong Tian, Xian You Yi De. Bagi yang tidak terbiasa, memang sulit kan?

Hal yang aneh adalah, banyak orang—untuk tidak menyebut semua yang hadir dalam suatu acara, sudah merasa menjadi bagian dari masyarakat yang menjunjung tinggi kerukunan beragama/berkeyakinan hanya karena alasan gaya pidato yang dimulai dengan salam dalam versi semua agama. Seakan-akan problem kerukunan beragama/berkeyakinan sudah selesai karena para tokoh dan pejabat publik tersebut, begitu fasihnya mengucap salam dalam cara semua agama/keyakinan.

Saya jadi berpikir, betapa mudahnya kesadaran semua orang dialihkan dari kenyataan empiris tentang fakta kerukunan. Meski menyakitkan, saya harus menyatakan pengalaman Indonesia mutakhir hampir menempatkan bangsa ini sebagai bangsa intoleran. Cara beragama mayoritas orang saat ini, menjadi sangat sibuk mencari Tuhan, dan lupa cara mencintai sesama manusia.

Bukan Surga Toleransi

Amnesty International, sebuah lembaga non-pemerintah yang berpusat di Inggris, menyebut Indonesia bukan lagi surganya kehidupan toleransi beragama, sebagaimana diyakini oleh banyak orang (2014). Mau bilang apa, faktanya kita memang bangsa yang intoleran. Saksikanlah. Jemaat Ahmadiyah di Lombok, sudah 11 tahun dipaksa mengungsi setelah tahun 2006 perkampungan mereka diserang dan dibakar oleh kelompok intoleran. Hingga hari mereka masih di pengungsian.

Jamaah Syiah Sampang juga masih mengalami hal serupa. Mereka menjadi pengungsi di negeri sendiri setelah tahun 2012 kampung mereka dibakar. Mereka ditempatkan di Wisma Puspa Agro Sidoarjo, dan hingga hari ini negara seperti kehilangan semua kapasitasnya untuk menyelesaikan problem yang mereka hadapi. Jangan bicara soal pemulihan hak dulu. Itu terlalu melip. Hanya berpikir tentang bagaimana cara mengembalikan mereka pulang saja, semua orang tidak lagi memiliki empati.

Ini belum menghitung 6000 lebih pengikut Gafatar yang sampai hari ini nasibnya terlunta-lunta akibat tindakan kekerasan yang mereka alami. Negara tentu saja hadir, tapi untuk melayani tekanan kelompok intoleran. Mereka dicerabut dari akar budaya dan agama/keyakinannya, pemimpin-pemimpin mereka dikriminalisasi, dan negara terus tunduk pada tekanan kelompok-kelompok intoleran.

Ratusan gereja dan rumah ibadah tidak bisa berdiri di Jawa Barat.  Kasus yang dihadapi GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia adalah yang paling polular diantara semua kasus rumah ibadah. Jemaat kedua gereja hingga hari ini disituasikan tidak bisa lagi menggunakan gereja mereka untuk beribadah. Sampai 9 Juli 2017, mereka telah melakukan ibadah di depan istana ke-147 kalinya, dan itupun belum berhasil mengundang simpati masyarakat dan pemerintah untuk hadir menyelesaikan masalah ini.

Problem rumah ibadah terjadi di hampir semua wilayah di Indonesia, dari Aceh Singkil hingga Tolikara Papua. Kesimpulannya sama, kelompok mayoritas memang tidak menyediakan sedikitpun empati untuk pengikut agama/keyakinan lain dalam menjalankan ibadahnya. Pada saat bersamaan, pemerintah selalu memilih jalan aman dengan tunduk kepada tekanan mayoritas.

Fakta-fakta ini cukup membuktikan bahwa kita memang bangsa intoleran.

Kenyataan-kenyataan tersebut hadir bertubi-tubi, baik dalam informasi maupun dalam kesadaran masyarakat Indonesia sebagai bangsa beragama. Kenyataan itu pahit dan orang cenderung tidak mau mencecapnya. Mayoritas orang lebih memilih mengingkari pengalaman pahit itu dengan memupuk imajinasi lama bahwa, bangsa ini adalah bangsa toleran.

Kegagalan pemerintah dalam menyelesai seluruh problem kerukunan juga dijawab dengan cara potong kompas dan murah. Memulihkan hak-hak korban dan menjamin pelanggaran tidak terjadi lagi—sebagaimana amanat Konstitusi—adalah harga mahal. Bagi pemerintah dan para pejabat publik, bila problem kerukunan kita bisa diselesaikan dengan harga murah, mengapa harus memilih yang mahal?

Bayangkan, masyarakat lebih memilih hidup dalam imajinasi daripada kenyataan, pada saat bersamaan pemerintah lebih memilih jalan pencitraan. Inilah mutualisme sempurna, dan inilah cara murah. Kebanyakan orang sudah cukup bahagia bila pemimpinnya mampu mengucapkan salam dalam cara semua agama/keyakinan. Maka, cara inilah yang dilembagakan.

Pemerintah dan mayoritas orang lalu saling memanjakan imajinasi. Bermimpi bahwa kita bangsa yang menjunjung tinggi toleransi. Semuanya cukup diselesaikan dalam acara-acara resmi lintas agama/keyakinan. Semua orang meniru tren yang berkembang. Membuka acara, memberi sambutan, berpidato selalu dimulai dengan salam dalam versi semua agama.

Inilah toleransi pemanis acara gaya masyarakat (mudah) lupa. []

Akhol Firdaus
Akhol Firdaus
Dosen Filsafat dan Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) IAIN Tulungagung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.