Series Bidaah dari Malaysia, khususnya lewat tokoh Walid, udah jadi salah satu tontonan yang bikin banyak orang mikir ulang soal agama, kekuasaan, dan bagaimana dua hal itu kadang bisa saling peluk atau malah saling melukai. Di satu sisi, series ini dianggap berani, jujur, bahkan menyentuh. Tapi di sisi lain, juga menuai banyak kontroversi, terutama karena temanya yang sensitif dan tokoh utamanya yang bikin geregetan setengah mati.
Buat yang belum nonton, Walid ini digambarkan sebagai tokoh agama yang sangat kharismatik di luar, tapi manipulatif dan licik di dalam. Dan dari situlah, banyak pelajaran (baik maupun buruk) muncul. Sebelum kita bahas lebih dalam, berikut ini adalah beberapa pengaruh baik dan buruk dari series Bidaah untuk kehidupan sehari-hari:
Pengaruh Baik Series Bidaah:
- Membuka kesadaran kritis terhadap otoritas agama.
- Mendorong diskusi terbuka tentang tafsir, kekuasaan, dan agama.
- Meningkatkan empati terhadap korban tekanan sosial dan spiritual.
- Memantik introspeksi terhadap perilaku keagamaan pribadi.
- Menguatkan pentingnya literasi agama yang seimbang dan terbuka.
Pengaruh Buruk Series Bidaah:
- Menumbuhkan rasa curiga berlebihan terhadap tokoh agama secara umum.
- Memicu trauma atau ketakutan terhadap simbol-simbol religius.
- Membuat sebagian orang kehilangan kepercayaan terhadap institusi agama.
- Menjadi bahan generalisasi negatif terhadap komunitas religius.
- Menimbulkan resistensi atau defensif dari kelompok konservatif yang merasa diserang.
Nah, setelah poin-poin itu kita tahu, mari kita bahas satu per satu, bukan secara teknis, tapi dari sisi pengalaman, refleksi, dan logika sosial yang muncul setelah series ini ramai dibicarakan.
Series Bidaah memang punya kekuatan luar biasa dalam membuka ruang berpikir. Banyak orang yang sebelumnya enggak pernah mempertanyakan ajaran atau tokoh keagamaan, akhirnya mulai mikir: “Emang iya, selama ini gue ikut ini karena paham, atau cuma karena kebiasaan?” Pertanyaan-pertanyaan kecil tapi penting ini akhirnya muncul. Dan dari situlah kesadaran tumbuh. Bukan buat memberontak atau nyinyir, tapi buat ngerti dan menyelami lebih dalam.
Diskusi-diskusi yang dulu tabu juga mulai terdengar. Tentang kekuasaan yang diselubungi jubah, tentang bagaimana orang bisa merasa bersalah karena bertanya, dan tentang bagaimana dogma kadang bisa menekan, bukan membimbing. Banyak yang tadinya takut ngomongin soal tafsir atau perbedaan pandangan, jadi mulai berani. Ini jelas langkah maju, apalagi di masyarakat yang sering menganggap “bertanya” itu tanda kurang iman. Padahal justru dari bertanya, lahir pemahaman yang utuh.
Yang juga menarik, empati kita ikut terasah. Ngelihat bagaimana karakter lain di series itu ditekan oleh Walid, kita jadi sadar: di sekitar kita mungkin ada orang-orang yang ngalamin hal sama. Bukan dalam skala dramatis, tapi tetap aja menekan. Entah karena aturan yang terlalu ketat, atau karena pandangan yang sempit. Kita mulai bisa merasakan penderitaan yang biasanya luput dari perhatian. Ini membuat kita lebih manusiawi.
Tapi series ini juga memaksa kita ngaca. Dan ngaca itu enggak selalu enak. Banyak dari kita yang, setelah nonton, jadi mikir: “Jangan-jangan gue juga pernah maksa orang lain dalam nama ‘kebaikan’ versi gue?” Dan itu refleksi yang luar biasa. Karena perubahan sejati itu lahir dari kesadaran, bukan paksaan. Kita jadi sadar bahwa jadi religius itu bukan cuma soal simbol, tapi juga soal bagaimana kita memperlakukan orang lain.
Sayangnya, enggak semua orang bisa proses ini dengan kepala dingin. Ada juga yang setelah nonton malah trauma. Yang dulunya percaya penuh sama ustaz atau pemuka agama, sekarang jadi curiga. Bahkan sampai ngerasa semua yang berpenampilan agamis itu manipulatif. Ini jelas berbahaya, karena bikin kepercayaan rusak. Orang jadi takut deket-deket sama hal-hal spiritual, karena takut ketipu. Padahal, enggak semua tokoh agama kayak Walid. Bahkan banyak banget yang tulus, sederhana, dan benar-benar hidup untuk melayani umat. Tapi ya, karena luka itu datang dari figur yang dianggap “suci”, sembuhnya jadi lebih susah.
Enggak berhenti di situ, series ini juga bisa bikin generalisasi liar. Komunitas keagamaan yang seharusnya jadi tempat berlindung dan bertumbuh, malah dianggap penuh jebakan. Padahal, komunitas itu kayak keluarga—ada yang toksik, ada yang sehat. Enggak bisa semua disamaratakan. Tapi memang, efek tontonan kuat seperti ini bisa bikin persepsi kita goyah.
Yang lebih runyam lagi, banyak juga kelompok konservatif yang jadi defensif. Mereka ngerasa diserang, bahkan sebelum sempat mencerna isi series ini. Akhirnya, bukan diskusi yang terjadi, tapi debat kusir. Bukan saling dengar, tapi saling serang. Padahal, poin penting dari Bidaah adalah membuka ruang dialog. Bukan buat menjatuhkan satu pihak, tapi buat sama-sama belajar jadi lebih baik.
Sementara itu, di sisi penonton yang udah melek literasi, series ini jadi pelajaran penting. Bahwa literasi agama itu wajib, bukan pilihan. Enggak bisa cuma ikut-ikutan, apalagi soal akhirat. Harus belajar, gali, dan diskusi. Harus tahu bedanya mana ajaran, mana tafsir. Mana ulama, mana oknum. Dan ini bukan berarti kita jadi anti pada tokoh agama, tapi justru makin hati-hati. Karena keimanan sejati bukan yang buta, tapi yang paham dan sadar.
Dan yang enggak kalah penting: Bidaah juga ngajarin kita buat lebih peka sama kekuasaan yang dibungkus agama. Bahwa di balik ajakan baik, bisa aja tersembunyi ambisi. Bahwa yang ngomong pakai dalil, belum tentu bebas dari kepentingan pribadi. Dan itu bukan ajakan buat jadi sinis, tapi buat lebih bijak dalam menilai. Karena hidup di tengah masyarakat yang religius itu indah, tapi juga butuh keberanian untuk berpikir sendiri.
Series Bidaah adalah pemantik. Kadang yang dipantik itu kesadaran. Tapi kadang juga, luka lama yang belum sembuh. Tugas kita bukan memilih siapa yang benar atau salah, tapi memastikan bahwa setelah menonton, kita tumbuh. Bukan tumbuh jadi Walid versi halus, tapi jadi manusia yang lebih jujur, terbuka, dan tahu bahwa iman itu harus diiringi dengan akal dan kasih, karena kepercayaan bukan soal siapa yang paling lantang bersuara, tapi siapa yang paling jujur dalam diam.