Selasa, Oktober 8, 2024

Tinjauan Evolusi dalam Budaya Minum Alkohol

Christy Lavenia
Christy Lavenia
Mahasiswi Biologi Universitas Indonesia

Saat ini, DPR kembali memunculkan polemik dan menuai penolakan dari berbagai kalangan di masyarakat dengan usulan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). Usulan RUU Minol sebenarnya sudah pernah disampaikan pada tahun 2009, namun pembahasan lebih lanjut mengenai RUU tersebut mengalami penundaan, hingga diusulkan oleh 21 anggota DPR dan muncul kembali di daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Prioritas 2020.

Berdasarkan ketentuan pada isi RUU tersebut, terdapat larangan untuk memproduksi, menjual, ataupun mengonsumsi alkohol, dengan beberapa pengecualian yaitu, untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan beberapa tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.

Adapun sanksi yang diberikan bagi penjual alkohol adalah pidana penjara paling sedikit 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar, sedangkan bagi konsumen alkohol adalah pidana penjara paling sedikit 3 bulan dan paling lama 2 tahun atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp50 juta (Mukaromah, 2020).

Menurut World Health Organization (WHO), jumlah konsumsi alkohol pada masyarakat Indonesia sekitar 0,8 liter per kapita dengan sebagian besar konsumen tidak tercatat atau tidak legal. Minuman beralkohol juga bukanlah hal asing di Indonesia. Beberapa daerah seperti Bali, Lombok, Sulawesi, Semarang, dan lainnya juga memproduksi minuman beralkohol dengan kearifan lokal.

Konsumsi alkohol telah terdokumentasi sebagai salah satu kebudayaan nenek moyang Indonesia pada prasasti Panggumulan (902 M) yang menuliskan tuak sebagai minuman yang disajikan dalam upacara penetapan tanah sima di Desa Kembang Arum, Klegung, DI Yogyakarta (CNN Indonesia, 2020).

Drunken Monkey Hypothesis

Lebih jauh lagi, konsumsi alkohol telah ada sejak 10 juta tahun yang lalu, sebelum revolusi agrikultur. Konsumsi alkohol di alam tanpa sadar telah lama dilakukan oleh nenek moyang manusia dengan mengonsumsi buah yang terfermentasi. Glukosa pada buah diubah menjadi alkohol oleh khamir (yeast) melalui proses fermentasi pada kondisi tanpa oksigen (anaerobic fermentation).

Persentase kandungan alkohol pada buah juga berbeda-beda tergantung tingkat kematangan buah tersebut. Buah yang belum matang mengandung 0% etanol, buah yang matang tapi masih menggantung di pohon mengandung 0,6% etanol, buah yang matang dan sudah jatuh dari pohon mengandung 0,9%, dan buah yang menjelang busuk mengandung rata-rata 4,5% etanol.

Buah menjadi salah satu makanan dan penyeimbang gizi yang penting bagi nenek moyang manusia melalui kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan (meramu). Pola konsumsi buah menjadi seleksi alam yang memungkinkan manusia mampu untuk mencerna alkohol. Seleksi tersebut menyebabkan mutasi pada gen ADH4, sehingga manusia memiliki kemampuan 40 kali lebih baik dalam mencerna alkohol. Gen tersebut menyandi enzim yang dapat memecah etanol menjadi asetaldehid, yang kemudian diubah menjadi produk yang tingkat toksisitasnya lebih rendah, yaitu asetat oleh enzim alkohol dehidrogenase.

Tingkat resistensi alkohol pada setiap individu memang berbeda-beda tergantung perilaku konsumsi alkoholnya, tetapi pada dasarnya manusia mampu untuk mencerna alkohol dengan adanya gen ADH4. Konsumsi alkohol telah ada sejak 10 juta tahun yang lalu dan diwariskan hingga sekarang. Pewarisan gen ADH4 secara turun-temurun hingga sekarang menunjukkan bahwa alkohol memberikan beberapa keuntungan pada manusia (BBC, 2017).

Robert Dudley dalam Drunken Monkey Hypothesis, menjelaskan bahwa alkohol memberikan keuntungan, seperti sebagai perangsang nafsu makan, penanda ketersedian buah di suatu lokasi, makanan utama bagi kelompok spesies pemakan buah (frugivorous), dan meningkatkan kalori. Bau alkohol yang mencuat menjadi tanda ketersediaan glukosa dalam bentuk buah yang terfermentasi di alam liar.

Sejarah Produksi Alkohol

Produksi minuman beralkohol dari gandum, madu, dan buah sudah ada sejak 9.000 tahun yang lalu. Namun, persentase alkohol yang terdapat pada buah terbatas. Proses fermentasi oleh yeast di buah berhenti ketika konsentrasi alkohol berada pada sekitar 10–15% dari berat buah.

Manusia kemudian mengembangkan produksi alkohol melalui destilasi kimiawi (di Asia Tengah sekitar 700 M). Pada saat itu bir dan wine yang merupakan contoh produk hasil distilasi kimiawi hanya mengandung tidak lebih dari 5% alkohol. Ketersediaan alkohol pada minuman mulai meningkat hingga 12% atau bahkan jauh lebih tinggi ketika proses destilasi kimiawi sampai di Eropa pada abad pertengahan (Stephens & Dudley, 2005).

Larangan produksi alkohol dapat menurunkan pendapatan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA). Minuman beralkohol menyumbangkan sekitar Rp7,3 triliun pada penerimaan cukai negara tahun 2019. Jumlah tersebut termasuk penerimaan pendapat yang besar dan membantu perekonomian negara.

Kebijakan untuk melarang produksi dan konsumsi alkohol tidak semestinya dibuat dengan sepihak dan tanpa komunikasi dua arah dengan masyarakat, mengingat sejarah panjang kegunaan praktis, dan nilai budaya di masyarakat. Kesemrawutan pemerintah dalam perancangan RUU Minol dapat menjadi bumerang yang menyerang masyarakat. Pembatasan konsumsi alkohol tidak harus berakhir dengan larangan, pemerintah lebih baik mengatur dan mengawasi distribusi minuman beralkohol.

Christy Lavenia
Christy Lavenia
Mahasiswi Biologi Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.