Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan salah satu dari tindak kejahatan transnasional yang kini telah menjadi perhatian global, karena kasusnya yang dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan.
Disebutkan pada beberapa sumber bahwa setiap tahunnya terdapat sekitar 700 ribu hingga 4 juta orang telah telah menjadi korban perdagangan manusia di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, menurut laporan dari International Organization for Migration (IOM), selama tahun 2020 jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang meningkat hingga 154 kasus dan mayoritas korban mengalami eksploitasi seskual, namun itu baru kasus-kasus yang muncul di permukaan, sebab diperkirakan masih banyak kasus-kasus lainnya yang belum terdeteksi.
Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), mendefinisikan perdagangan manusia sebagai bentuk tindak kejahatan terhadap manusia dengan cara merekrut, mengangkut, memindahkan, menerima seseorang melalui kekerasan, pemaksaan, serta tindakan jahat lainnya yang bertujuan untuk mengeksploitasi korbannya.
Bentuk pemaksaan di sini dapat berarti penculikan, penipuan, memanipulasi, penyalahgunaan kekuasaan melalui pemanfaatan kepada ketidaktahuan korban. Biasanya korban pada awalnya diiming-imingi uang atau pekerjaan di suatu negara, namun ternyata setelah sampai negara tujuan ia baru tahu jika ia dijual dan kemudian terjadi eksploitasi hingga perbudakan terhadap korban.
Perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan untuk menjadi korban tindak kejahatan perdagangan orang. Adapun bentuk-bentuk dari tindak kejahatan perdagangan manusia adalah perbudakan seksual, kerja paksa yang korbannya tidak mendapatkan hak-hak sosial ekonominya, berada di bawah suasana kerja yang tidak manusiawi, serta pengambilan organ tubuh secara illegal.
Tindak kejahatan perdagangan manusia termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat dan menciderai harkat dan martabat manusia. Di mana Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada tiap manusia sepanjang hidupnya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa melalui seperangkat aturan hukum yang ada.
Lalu mengapa perdagangan manusia dianggap sebagai kejahatan pelanggaran HAM berat?
Sebab di dalamnya terdapat eksploitasi, kerja paksa, kekerasan, serta perlakuan semena-mena yang terjadi pada korban, sehingga tidak heran jika tindak kejahatan ini dianggap sebagai bentuk lain dari perbudakan manusia di zaman modern. Itulah mengapa kejahatan perdagangan manusia termasuk dalam pelanggaran HAM berat. Segala tindak perbuatan yang tidak berprikemanusiaan serta merendahkan harkat dan martabat dari seseorang merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi yang melekat pada diri manusia.
Menurut Gajic Veljanoski, transaksi jual-beli manusia merupakan sebuah tindakan yang melanggar HAM, yakni khususnya melanggar hak atas kebebasan, hak atas perlindungan, serta kebebasan dalam bergerak.
Selain itu, karena mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak-anak, maka hal itu juga merupakan tindak kejahatan yang merenggut hak-hak perempuan dan anak, padahal kedua hak tersebut juga merupakan bagian dari HAM. Setiap manusia, khususnya dalam hal ini adalah kelompok rentan yakni perempuan dan anak-anak, perlu dilindungi harkat dan martabatnya, serta dijamin hak hidupnya agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodrat alamiahnya.
Di mana setiap individu, sejak lahir telah memiliki hak asasi yang dalam pelaksanaannya juga dilindungi oleh negara dan Undang-undang. Seperti yang tercantum dalam Pasal 20 ayat (2) UU HAM dan Pasal 28 ayat (1) dan dengan dikeluarkannya UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menyatakan bahwa “perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakaan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.” Selanjutnya dalam Pasal 71 UU HAM juga telah ditegaskan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab, menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia.”
Secara aturan hukum, di Indonesia, praktik perdagangan manusia termasuk ke dalam suatu tindak pidana yang sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Lebih lanjut, terkait dengan praktik perdagangan anak juga telah diatur dalam Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002, UU No. 35 Tahun 2014m, dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya aturan hukum yang mengikat terkait dengan tindak pidana perdagangan manusia, hal ini dapat menjadi sebuah jawaban atas tindakan buruk dari terancamnya perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dengan adanya pelanggaran terhadap hak-hak asasi dari adanya tindak kejahatan perdagangan manusia. Artinya, tindak kejahatan perdagangan manusia merupakan suatu bentuk tindak pelanggaran HAM berat, sebab dalam mekanismenya yang memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain dengan cara yang tidak benar.
Manusia yang pada hakikatnya harkat dan martabat yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa serta hukum, maka sudah sepatutnya sesame manusia tidak memperlakukan manusia yang lainnya layaknya barang atau benda yang dapat diperjualbelikan untuk tujuan apapun. Hal itu merupakan salah satu bukti dari pelanggaran HAM.
Oleh karena itu, tindakan yang dapat dengan sengaja mencoba untuk merenggut hak asasi yang melekat pada tiap individu merupakan tindakan terhadap pelanggaran HAM itu sendiri. Manusia yang pada hakikatnya adalah bebas dan merdeka, dan memiliki posisi yang sama dan sederajat dengan manusia lainnya, tidak sepatutnya diperlakukan selayaknya bukan manusia. Dengan itu kita sama-sama mengencam dan mengutuk segala bentuk tindakan eksploitasi, penganiayaan, dan perbudakan yang menimpa kepada setiap manusia.