Seperti biasa, saat mau kerja, istri saya mengantar sampai pagar depan rumah. Tatapannya begitu dalam, seolah akan melepas saya ke medan perang untuk berjihad. Ya, buatnya, jarak 7 km menuju kantor adalah perjalanan yang mempertaruhkan keselamatan jiwa dan raga. Maka, meski istri saya bisa mengendarai motor, dia tak pernah berani mengendarai motor di jalan raya. Kenapa? jelas saja, karena takut.
Setiap pagi, semua orang berlomba untuk di depan, mirip iklan sebuah motor. Mereka lupa bahwa ini jalan raya, bukan lintasan sirkuit dengan teknologi keamanan super tinggi. Bahkan, pengendara motor rela nyelip-nyelip walaupun ruang sudah sempit. Tujuan mereka satu, agar sampai tujuan tepat waktu. Mbak yo, kalau mau datang tepat waktu, jangan motornya yang dicepetin, tapi berangkatnya yang lebih awal. Bukan malah leha-leha dulu di rumah.
Karena terburu-buru, segala cara dilakukan di jalanan. Tak peduli lagi yang namanya keselamatan diri sendiri apalagi orang lain. Lawan arus diterjang meskipun itu berbaya. Bawa muatan menjulang ke langit asal semua terangkut. Dan tak lupa ugal-ugalan menjadi pelengkap semrawutnya lalu lintas.
Terkadang saya merasa kesal. Melihat pengendara membawa helm, namun tidak memakainya. Mungkin, mereka tidak memakai helm karena menganggap jalan yang dilaluinya aman. Aman karena tidak ada petugas. Kalaupun mereka memakai helm, bukanlah untuk keselamatan kepalanya, tapi untuk menghindari tilang petugas.
Belum lagi kalau di perempatan, ada saja yang berani menerobos rambu lalu lintas. Bukan mereka tak paham arti lampu merah pada rambu lalu lintas. Tapi, tak adanya petugas yang menyebabkan mereka jadi pemberani. Mereka merasa aman dan tidak akan ditilang. Lagi, lagi, karena tidak ada petugas.
***
Wajar saja banyak pelanggar lalu lintas yang lolos, karena jumlah petugas tidak sebanding dengan ribuan bahkan jutaan kendaraan yang melintas. Maka, Kapolri Listyo Sigit Prabowo berinisiatif menerapkan sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).
Sistem tilang elektronik merupakan sistem canggih yang akan merekam dan memotret setiap pelanggaran lalu lintas. Jadi, jangan heran walaupun tidak ada petugas, Anda kena tilang. Lengkap dengan bukti foto pelanggaran dan kapan terjadinya. Nantinya, surat cinta akan dikirim melalui pos ke alamat rumah pemilik kendaraan.
Rasanya, sistem tilang elektronik akan efektif dalam mengubah perilaku berkendara. Tidak akan ada lagi pengendara yang clingak-clinguk, kemudian menerobos lampu merah. Kenapa? Karena kamera tilang elektronik stand by 24 jam nonstop. Siap merekam dan memotret siapa saja yang melakukan pelanggaran. Udah, silakan tobat dan tertib berlalu lintas saja!
Dugaan saya, sistem tilang elektronik ini dapat meningkatkan kredibilitas petugas. Sistem tilang elektronik bisa menghapus ruang interaksi antara pengendara dan petugas dalam proses penilangan. Hilangnya ruang interaksi ini, tentunya menghilangkan celah untuk negosiasi. Tidak ada lagi istilah “damai” untuk pelanggaran lalu lintas. Tidak ada lagi buruk sangka terhadap petugas. Secara otomatis, kepercayaan publik terhadap petugas akan meningkat.
Dan yang paling penting, tidak akan ada lagi cerita lelahnya menjalani prosedur hukum bagi pelanggar lalu lintas. Masyarakat tidak perlu menunggu berhari-hari untuk menunggu jadwal sidang di pengadilan. Bahkan, kita tidak perlu bolos kerja hanya untuk sidang dan mengambil SIM atau STNK. Kita cukup di rumah. Mendapatkan surat tilang elektronik, kemudian mentransfer sejumlah denda yang harus dibayarkan. Ringkas, hemat waktu, dan tidak perlu ke mana-mana. Mirip saat kita membayar belanjaan online.
Sayangnya, saya harus bersabar sementara waktu, karena tilang elektronik hanya berlaku di jalan utama kota-kota besar. Melihat kepraktisannya, sudah saatnya tilang elektronik segera diterapkan di seantero penjuru nusantara. Apalagi di tengah pandemi seperti ini, tilang elektronik akan membantu mencegah penyebaran virus Corona. Tilang elektronik akan menghilangkan kerumunan saat razia penertiban lalu lintas. Tidak hanya itu, tilang elektronik juga menghapus antrean dan kerumunan yang terjadi pada sidang pelanggaran lalu lintas di pengadilan.
***
Apakah dengan tilang elektronik budaya tertib lalu lintas otomatis terbentuk? Belum tentu. Apalagi masyarakat kita paham betul ungkapan, “Peraturan dibuat untuk dilanggar.” Artinya, masyarakat memiliki potensi untuk melanggar aturan. Nah, di sinilah pentingnya membangun sistem. Tidak hanya sistem teknologi, tapi juga sistem kesadaran kolektif.
Ke depan, sepertinya pendidikan lalu lintas perlu diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah perkotaan. Mengapa? Karena, pelajaran tentang pengetahuan dan keterampilan saja diajarkan. Masak iya, pelajaran tentang keselamatan dan kematian di jalan raya tidak diajarkan. Padahal, semakin hari semakin banyak pelajar yang menggunakan kendaraan. Akan sangat mengerikan apabila mereka dibiarkan berkendara dengan kepala kosong tanpa adanya pendidikan lalu lintas.
Pendidikan lalu lintas perlu diajarkan sejak dini. Mulai dari sekolah dasar, siswa belajar bagaiman cara menyebrang jalan yang aman. Bagaimana etika berjalan kaki di jalan raya. Pendidikan lalu lintas terus diajarkan sampai pada level siswa SMA. Pada level inilah pentingnya tertib lalu lintas diajarkan. Siswa SMA harus mengerti semua fungsi rambu lalu lintas dan pentingnya tertib lalu lintas. Siswa SMA wajib memahami dan mempraktikkan etika berkendara. Apabila mereka sudah siap, tentu membuat SIM bukanlah menjadi kendala. Secara mereka sudah belajar di sekolah.
Seandainya tilang elektronik dan pendidikan lalu lintas tidak dapat membentuk budaya tertib berlalu lintas. Maka, jangan heran akan semakin banyak orang yang takut berkendara di jalan raya.