Rabu, Oktober 9, 2024

Tikungan Berbahasa Indonesia

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar

Kehadiran Muhadjir Effendy di Solo hari-hari lalu merupa bahasa. Sambutannya pada acara formil bertajuk Semiloka dan Deklarasi Penggunaan Bahasa Negara yang digelar di Auditorium Universitas Sebelas Maret (8/8) serta Pembukaan International Gamelan Festival (IGF) di Benteng Vastenburg Solo (9/8) mewujud bahasa lokal yang alami, begitu adanya.

Kendati di Universitas Sebelas Maret (UNS), sebagai mula beliau telah mendakwa dirinya tak sebaik Rektor UNS dalam menjaga muruah bahasa Indonesia. Konon, di tahun 2012 Rektor UNS dibaiat oleh Balai Bahasa Jawa Tengah sebagai salah satu dari empat tokoh pengguna bahasa terbaik di tingkat provinsi.  Dasar pemberian penghargaan tersebut menurut Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah kala itu ialah ketertiban dan konsistensi dalam penggunaan bahasa yang baik dan benar.

Diri lancang membuat praduga, bahwasanya konsistensi penggunaan bahasa ala Rektor UNS lebih tepat kepada bahasa-bahasa pengulangan seputar pencapaian, pencitraan kampus berusia belia yang berambisi lekas mendunia.

Sejak berstatus sebagai mahasiswa baru sampai sah jadi alumni, diri tak pernah absen mendengar sambutan rektor bermuatan decak bangga menyebut deretan pencapaian kampus yang kian artifisial. Diri tak mungkin menutup mata bahwa pemeringkatan kampus berdasar webometrics dan 4icu semata sebab popularitas nama kampus berdasar alat pencarian daring.

Penyebab itu bila mau dianalisis dangkal-dangkalan, melahirkan dua premis. Pertama, karena informasi kampus yang membingungkan sehingga banyak calon mahasiswa membuka-tutup laman resmi kampus terkait. Kedua, sebab banyak yang tidak tahu ada kampus negeri di Solo dengan mana khas orde baru. Sementara sang rektor yang telah memasuki periode kedua memang tak pernah sekalipun absen menyisipkan pencapaian-pencapain begitu itu di tiap sambutannya. Benar-benar tertib dan konsisten.

Ditikam kebosanan mendengar sambutan rektor kampus yang begitu melulu, kehadiran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Kerja di sepucuk pagi laksana embun bening di kawasan kampus. Kepiawaiannya berbahasa mewujud ke haribaan publik kala beliau memberi sambutan agak panjang.

Bahwasanya bukan lagi sekadar kalimat-kalimat tekstual hasil nyontek naskah sambutan yang disusun tim protokoler kementerian, melainkan telah merupa konteks. Bahasa tubuhnya tak terbendung oleh tembok formil-protokoler yang kerap mencipta jarak dengan para pirsawan. Dengan begitu, ruang kemungkinan adanya dialog membentang. Para pirsawan nampak terhirup dalam rumah bahasa ciptaan Muhadjir.

Rumah bahasa yang komunikatif, inklusif, dan tak latah berbahasa asing. Bahasa Indonesianya konsisten dan agak berjarak dengan istilah-istilah berpengertian susah. Pagi itu, di antara pirsawan memang para peserta didik mulai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan/atau sederajat.

Tenyata Bahasa

Di pembukaan International Gamelan Festival (IGF), di hadapan publik internasional, Muhadjir mengawali sambutan dengan dialek bahasa Jawa dan kemudian lebih banyak bahasa Indonesia.

Terjemahan dalam bahasa Inggris ia padatkan saja. Hal ini berlainan dengan sambutan sebelumnya. Ialah Rahayu Supanggah selaku Direktur IGF yang menyampaikan sambutan dalam bahasa Inggris seutuhnya. Sambutan bermaksud memenuhi kaidah internasional itu nahasnya penuh kekakuan sebab melulu berpacu dengan teks di tangan yang berlembar-lembar jumlahnya.

Bahasa Inggris dan bahasa tubuh Rahayu Supanggah gagal menghantar para pirsawan merasa berada di helatan internasional. Penggal-penggal kalimat yang sering kurang pas dan hampir absennya kontak bahasa tubuh dengan para pirsawan menjadi sebab kegagalan itu.

Sementara Muhadjir dengan sedikit sapaan berdialek Jawa dan selebihnya bahasa Indonesia lebih berhasil menyusupi raga kebahasaan para pirsawan. Di helatan bermaksud internasional, bahasa daerah dan bahasa kesatuan kita rupanya bisa jadi penghantar hangat.

Kepiawaian Muhadjir memilih bahasa untuk materi sambutan dua acara publik di Solo bisa dikatakan telah memenuhi aspek komunikatif dalam teori linguistik pragmatik. Dell Hymes (1972) menyebut kompetensi komunikatif yang lebih spesifik mengacu pada gramatikal dan keberterimaan sebagai konsep dasar kebahasaan.

Penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dalam acara yang melibatkan publik internasional ialah bentuk aktivitas kognitif yang sejatinya dapat menguntungkan posisi bahasa kita dalam proses komunikasi di riuh publik internasional. Penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia di hadapan publik internasional mewujud sebuah tipografi yang dapat diartikan sebagai pengutamaan bahasa kita sebelum bahasa asing. Tipografi itu membuka konteks bagi komunikasi global, khususnya di Indonesia.

Bahasa-bahasa pilihan Muhadjir yang enggan jumawa dengan kemolekan bahasa asing bisa jadi ialah bentuk kejumawaan lain. Kepada orang-orang semacam Muhadjir, barangkali bahasa daerah dan bahasa kesatuan kita telah menitipkan bisik mengusung misi menyaingi massifnya penggunaan bahasa asing di acara-acara publik, utamanya yang mengusung idiom internasional.

Barangkali begitulah sikap bahasa menanggapi gelaran kebudayaan atawa acara publik beragam jenis yang bermaksud menginternasional. Di negeri kita, acara-acara yang begitu itu mengidap semacam Anglofilia. Meminjam keterangan di Reader’s Digest Great Encyclopaedic Dictionary (Arundhati Roy, 2018: 74) ialah kecenderungan menyukai dan mengagumi Inggris beserta kebudayaannya. Bahasa jelas merupakan unsur yang tak terpisahkan dari budaya.

Di mana-mana Bahasa

Gaung era Revolusi Industri 4.0 membuat bahasa asing terutama bahasa Inggris memiliki fungsi sangat strategis. Kebutuhan komunikasi secara global serta merta menuntut hampir segala hal dalam kehidupan memiliki kecakapan berbahasa Inggris. Di ruang-ruang publik, bahasa Inggris diikhtiarkan memperkuat daya ungkap  maksud partisipan dalam peristiwa komunikasi (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, 2018: 9). Sebab itu, lema-lema bahasa Inggris berleleran di sekitar kita.

Kenyataan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 36 Ayat 3 jadi sumir di hari-hari bernuansa global. Bahwa, “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki warga negera Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Kita mencoba keluar rumah. Mendapati bahasa-bahasa asing terpilih untuk menamai bangunan,  merek dagang, lembaga, dan organisasi. Kita rasanya tak lagi bisa kaget.

Pemilihan bahasa asing untuk memberikan nama-nama produk usaha, meminjam istilah Nirwan Dewanto, menjelma papan-papan iklan besar yang berebut membetot perhatian kita. Pelbagai tulisan dan gambar menyamarkan teror menjadi bujuk rayu. Di tengah lalu lintas gemuruh, iklan-iklan –berbahasa asing itu— menyatakan dirinya (2017: 181).

Penggunaan bahasa asing bermaksud sebagai pernyataan diri pelaku usaha bahwa usahanya seiring dengan laju ekonomi global. Bahwa ia tak ketinggalan zaman atawa tak menutup diri terhadap pola komunikasi dunia global yang menempatkan bahasa Inggris sebagai bahasa unggulan. Itulah tikungan kebahasaan kita. Tsah!

Rizka Nur Laily Muallifa
Rizka Nur Laily Muallifa
Reporter media daring dan penulis lepas. Mengelola Podcast Jangan Nyasar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.