Kenaikan harga tiket pesawat domestik terjadi dimulai dari insiden jatuhnya pesawat Lion Air pada Oktober tahun lalu, hingga akhir tahun 2018 harga tiket pesawat terus mengalami kenaikan. 225 ribu orang lebih telah menandatangai petisi pada change.org agar tiket pesawat diturunkan.
Pada Januari 2019 pihak maskapai dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengumumkan bahwa maskapai akan menurunkan tiket pesawat sebesar 20%.
Namun realitanya penurunan tersebut hanya dilakukan oleh Full Service Airline seperti Garuda Indonesia, sedangkan maskapai yang menerapkan Low Cost Carrier (LCC) dan Medium Services seperti Lion Air tidak melakukan penurunan tarif, sehingga penurunan tersebut tidak memberikan dampak kepada masyarakat pengguna maskapai LCC maupun medium service.
Penurunan tarif sebesar 20% itupun tidak berlangsung lama, karena sampai saat ini tarif tiket pesawat kembali mengalami kenaikan hingga 100% bahkan lebih.
Sepakat Turun, Sepakat Juga untuk Naik
Kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga avtur dan menguatnya harga nilai tukar rupiah tidak mempengaruhi maskapai untuk menurunkan harga tiketnya yang sangat mahal. Saat ini pertamina telah menurunkan harga avtur dan nilai tukar rupiah telah menguat dan berada di angka sekitar Rp14.000,00.
Pelemahan nilai rupiah memang sempat terjadi pada tahun lalu. Namun apakah dampak dari pelemahan rupiah tersebut masuk akal sebagai penyebab naiknya harga tiket yang mencapai 100% bahkan lebih ? mengingat saat ini rupiah sudah kembali menguat dan harga avtur sudah turun, tapi harga tiket pesawat masih mahal.
Mengingat kembali bahwa pada Januari 2019 maskapai pernah menyatakan sepakat untuk menurunkan harga tiketnya, itu berarti apakah sekarang maskapai juga sepakat untuk menaikkan harga tiketnya ?
Diakuisisinya Sriwijaya oleh Garuda Indonesia menyebabkan hanya terdapat 2 grup maskapai besar yang sekarang beroperasi di Indonesia, yaitu Garuda Indonesia dan Lion Group. Sehingga sangat mudah bagi kedua maskapai ini untuk melakukan koordinasi termasuk menentukan harga tiket pesawat.
Bahkan tiket maskapai Air Asia sempat dihilangkan dari aplikasi Traveloka yang menyebabkan konsumen tidak memiliki akses terhadap pembelian tiket maskapai tersebut melalui aplikasi pemesanan tiket pesawat online, sehingga Air Asia mengambil keputusan untuk menjual tiket hanya di aplikasinya sendiri dan memutus kerjasamanya dengan Traveloka dan aplikasi booking pesawat online lainnya.
Praktek Kartel yang Tidak Manusiawi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menyelidiki dugaan kartel dalam kenaikan harga tiket pesawat. Kartel adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Melihat fenomena yang terjadi dalam industri penerbangan Indonesia saat ini yaitu hanya ada 2 grup perusahaan besar, maka praktek kartel sangat mungkin untuk dilakukan, hanya dengan kata sepakat dari kedua maskapai untuk menetapkan di harga berapa tiket akan mereka jual.
Hal ini tidak akan memberikan kerugian karena dengan sama ratanya harga tiket pesawat, maka masyarakat tidak memiliki banyak pilihan untuk menggunakan maskapai lain. Perusahaan penerbangan ini pun tidak perlu melakukan persaingan bisnis untuk menarik pelanggan jika telah terjadi kata sepakat.
Tentunya konsumenlah yang dirugikan dalam hal ini. Praktek kartel telah dilarang di seluruh Dunia, termasuk Indonesia dengan Undang-Undang Antimonopoli. Bila praktek kartel ini terbukti, maka denda maksimal 25 miliar menanti perusahaan penerbangan yang terlibat.
Masyarakat Menjerit, Penguasa dan Pengusaha Tidur Nyenyak
Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan menyebabkan transportasi penerbangan menjadi hal yang penting bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Sangat banyak masyarakat merantau untuk bekerja maupun kuliah yang mengharuskan mereka menggunakan pesawat sebagai transportasi bila ingin pulang ke rumah berkumpul dengan keluarganya.
Kenaikan tiket pesawat juga berpengaruh terhadap banyak hal mulai dari sepinya bandara, berkurangnya pelanggan pada restoran-restoran di bandara, menurunnya omzet hotel, restoran, agen travel, dan bidang pariwisata lainnya, hingga memberatkan pelaku UMKM yang membutuhkan penerbangan dalam proses bisnisnya.
Lebih buruknya, masyarakat Indonesia lebih memilih untuk berwisata ke Luar Negeri daripada di Negeri Sendiri. Mulai masyarakat kelas menengah hingga masyarakat super kaya akan menghamburkan uangnya di Luar Negeri, bukan di Negeri sendiri.
Ditengah kegalauan masayarakat ini, pelaku usaha dan pembuat regulasi seolah-olah tidur nyenyak. Tidak ada satupun maskapai yang mau angkat bicara tentang apa yang terjadi sehingga mereka menaikkan tarifnya begitu signifikan. Pembuat regulasi (Kemenhub) juga tidak banyak mengambil sikap.
Kemenhub hanya mengatakan bahwa harga tiket pesawat tidak melewati batas atas sesuai yang diatur pada PM No. 14 Tahun 2016, dan hanya menghimbau maskapai untuk menurunkan harga tiketnya yang mana hingga saat ini belum dilakukan oleh maskapai. Bahkan Kemenhub bertindak sangat lambat dalam membatu penyelidikan dugaan kartel yang sedang dilakukan KPPU dengan menjawab surat permintaan keterangan dari KPPU dalam waktu yang sangat lama. Hingga surat dari KPPU tersebut dijawab, dan Kemenhub menyatakan tidak melakukan intervensi terhadap penentuan harga tiket pesawat.
Ketidakpastian ini menyebabkan masyarakat berasumsi, dan asumsi yang paling masuk akal adalah praktek kartel memang tengah terjadi. Tinggal bagaimana KPPU dapat melakukan penyelidikan dengan baik dan menemukan bukti yang dapat mengungkap kasus ini. Tentunya masyarakat berharap KPPU bisa bekerja dengan baik dan penuh integritas, dan semua pihak yang terlibat seperti Kemenhub bisa bekerjasama dengan baik.
Win-Win Solution
Harga batas atas yang ditetapkan oleh Kemenhub memang tidak dilanggar oleh maskapai. Namun bukan berarti maskapai boleh menetapkan harga dengan semena-mena, mengingat banyak hal yang akan berdampak dari kenaikan harga tiket. Harga yang ditetapkan harus sesuai dengan besaran jarak, pajak, asuransi dan biaya operasional lainnya yang dihabiskan oleh maskapai. Bukannya secara drastis menaikkan harga di nominal yang dipilih.
Untuk menutupi biaya operasional, maskapai harusnya menggunakan taktik terhadap penentuan harga tiket pesawat, misalkan memasang harga wajar bagi pemesanan tiket jauh-jauh hari, dan harga yang mahal untuk tiket yang dipesan dekat dengan hari penerbangan, dengan begitu masyarakat yang memesan tiket tidak dari jauh-jauh hari akan sudah tau konsekuensi harga yang harus mereka bayarkan.
Pemerintah menambah jenis maskapai yang boleh melakukan penerbangan di Indonesia, sehingga penerbangan tidak dikuasasi oleh dua grup besar seperti sekarang. Dengan begitu maskapai tidak akan menetapkan harga tinggi dengan arogan karena persaingan bisnis kembali terjadi.
Bila nantinya praktek kartel tidak berhasil dibuktikan oleh KPPU, diharapkan ada solusi lain yang bisa diterapkan untuk mengontrol harga tiket pesawat agar tidak semena-mena seperti sekarang.