Perjalanan perbaikan sistem pendidikan di Indonesia sangatlah sukar dalam menemui titik terang untuk mengubah tatanan pendidikan moral dan kebiasaan yang kian mengakar, terutama di kalangan anak muda.
Kita sering melihat, menyaksikan sendiri secara langsung, ataupun melalui elektronik, bahwa anak muda sekarang sangat masif sekali dalam menggunakan teknologi untuk hal yang tidak normatif seperti aplikasi tik tok.
Apa itu tik tok? Teman-teman sendiri mengetahui itu. Tik tok adalah sebuah jaringan sosial dan platform video musik Tiongkok yang dluncurkan pada September 2016 oleh Zhang Yiming.
Merupakan salah platform video pendek yang kini di pakai hampir semua manusia di dunia, dan kali Indonesia pun bagia dari itu semua. Anak muda kini, tidak peduli anak kecil atau besar bagi mereka ini adalah satu hiburan.
Baik, kita sepakati tik tok adalah hiburan, tapi saya akan memberikan pandangan nyata dan berbeda bahwa tik tok bukanlah Pendidikan Moral. Mengutip kata salah satu pemuka agama bahwa, setuju nggak kalo aplikas tik tok itu tidak memberikan manfaat, malah yang ada bisa menjadi dosa jariyah.
Lunaknya cara berpikir menjadi suatu kelemahan yang menghakikat pada pandangan konsumen tik tok, bahwa hal yang luar biasa pengaruh negatifnya dianggap suatu bentuk kemajuan dalam aspek perspektif sosial, bukankah kita di ajarkan melestarikan budaya bangsa dari gerusan zaman dan pengaruh eksternal?
Sebuah tuntutan zaman dengan harus adanya sebuah perubahan, bukan berarti semua aspek pada tingkat-tingkat tertentu pun harus diubah dengan cara demikian, ini yang menjadi alasan kenapa anak muda yang masih menempuh pendidikan wajib 12 tahun mengalami penurunan prestasi, baik itu di sekolah maupun di kalangan masyarakat dengan penilaian sosialnya.
Pertanyaan saya sekarang adalah prestasi apa yang ditorekan untuk kemajuan bangsa dengan menggunakan tik tok? Belum ada sampai sekarang, yang hanya rasa malu ketika video pendek ditonton dan sebagai media fantasi bagi kalangan tertentu.
Bagi mereka, itulah hal yang lazim tapi bagi saya itu sudah luar dari misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita kini dituntut untuk menjadi agen of change, tapi entah anak muda kali ingin menjadi apa?
Dengan berbagai alasan, mereka terlebih terlenah dengan dunia musik seperti saat ini, lalu menjadikan goyangan sebagai profesi, sedangkan cara berpikir masih belum menemui titik teratas.
Tidak jarang ditemui, hampir sebagian anak sekolah di Indonesia sudah mengkonsumsi aplikasi tik tok, dimana tidak memiliki nilai positif sama sekali, bahkan dijadikan budaya hingga profesi, ini yang sangat dikhawatirkan.
Bentuk kecaman perlu di lontarkan, bahwa membatasi pengunaan aplikasi tik tok bagi kaum muda, untuk menjaga stabilitas paradigma sosial masyarakat dan animo belajar mereka. Pun saya juga pernah bertanya kepada beberapa orang perihal maraknya goyangan melalui aplikasi tik tok ini, apa jawaban mereka? Bikin malu aja. Singkat padat dan jelas.
Kita bisa apa?
Miris! Generasi yang dibekali pendidikan informal yang tidak baik akan menjadi tuaian yang tidak menjanjikan di masa depannya. Ini menjadi sebuah pelajaran yang sangat penting dan hikmah dalam setiap segi kehidupan.
Oleh sebab itu, tidak ada peningkatan yang signifikan terhadap perkembangan pola pikir generasi-generasi tersebut, yang hanya ada kelak ia menjadi individu yang apatis dengan budaya sendiri dan akan menjadi pragmatis terhadap setiap hal baru yang datang mempengaruhi kemampuannya.
Pengaruh-pengaruh seperti inilah yang menjadi dasar adanya cara berpikir yang tidak mampu menyelesaikan masalah kecil.
Secara nalar, bahwa video yang dibuat menjadi tontonan yang sangat tidak berfaedah jika di telaah lebih dalam dan jika disadari akan pengaruhnya. Maka dari itu, pembatasan penggunaan tik tok ini harus memiliki dasar hukum yang kuat.
Tapi jika tik tok memiliki dasar hukum, apakah merupakan bagian dari pembatasan hak asasi manusia? Persoalan kali ini lebih dari itu, persoalan kali ini adalah kita sama-sama menuju misi utama yang termaktub dalam UUD 1945 ” Mencerdaskan kehidupan bangsa “, dan didalam bunyi sila kedua Pancasila yaitu ” Kemanusiaan yang adil dan beradab “.
Alasan ini yang menjadi tolak dimana kita sama-sama memiliki misi pembangunan yang sama secara pendidikan moral generasi yang mana sebagai pengganti orang saat ini dimasa depan kelak.
Mengembalikan solusi Pendidikan
Anak muda saat pun akan menjadi tumbal secara intelektual. Disaat pendidikan revolusi mental, yang merupakan program konsolidasi mentalitas agar menjaga stabilitas pemikiran dan tugas sebagai pemuda yang sebenarnya, dan memberikan edukasi kembali tentang pentingnya elektronik bagi kehidupan.
Peran orangtua dalam membatasi waktu bermain anak pun harus ada penegasan sebagai misi kecerdasan bangsa dari ruang lingkup yang kecil, maka dalam perjalanan pendidikan menjadi terarah seiring perkembangan zaman.
Banyak sekali anak muda pun anak sekolah memiliki mimpi yang tinggi, jangan terhenti secara intelektual hanya suatu pengaruh seperti bermain tik tok berhura-hura, dan lain sebagainya
Penguatan-penguatan konsep berpikir untuk berinovasi pada individu terutama anak sekolah wajib 12 tahun tersebut dari beberapa sektor pendidikan agar mengurangi pemakaian aplikasi tik tok hanya untuk bergoyang dan berdansa dia, dan bukan merupakan budaya dan karakter bangsa.
Pertama pendidikan formal yang mana sebagai tempat belajar, atas dasar misi mencerdaskan kehidupan bangsa bahwa tidak ada alasan untuk menolak mendidik anak bangsa dengan memberikan pemahaman ilmu pengetahuan.
Pelestarian pola-pola berpikir ini bisa terwujud ketika pendidikan formal menjalankan tata cara, prosedural dan harus mencapai subtansi dari pergerakan sistem pendidikan itu sendiri kepada anak muda. Bahwa, yang mereka gunakam sekarang untuk kesenangan bermain tik tok, bukanlah Pendidikan Indonesia yang sebenarnya.
Sekolah sebagai tempat dimana mereka belajar mengenal dunia pendidikan secara komprehensif. Sehingga tik tok bukan lagi menjadi pilihan dalam mentransformasi kesenangan.
Kedua, pendidikan Informal, bahwa suatu ruang lingkup yang mendasari semua kegiatan dari anak itu sendiri, orang tua menjadi tuaian yang penting dalam memberikan pelajaran-pelajaran akan pentingnya membentengi diri dari pengaruh negatif, membatasi waktu bermain anak yang tidak memiliki nilai positif terhadap anak itu sendiri
Membatasi kegiatan interaksi anak dengan gadget, serta memberikan larangan dan penegasan jika anak sudah masuk kedalam rana permusikan yang berakibatkan berkurangnya pola belajar anak.
Ketiga pendidikan Non formal, lingkungan sosial merupakan salah satu daya upaya dalam segala bentuk perubahan itu terjadi, maka dari itu penguatan landasan dalam tubuh masyarakat akan pengaruh perubahan yang melumati pemikiran dan pemahaman dalam konsepsi kemajuan.
Non formal juga menjadi alasan keintelektualan anak sekolah yang belajar dari apa yang berada didekatnya, mengambil contoh apa dalam kehidupan sosialnya, itu menjadi awal mula perkembangan peluru kecerdasan jika lingkungan sosial mampu menawarkan kedamaian, ketidakbisingan, dan ketentraman terhadap penjalanan pendidikan untuk orientasi mencerdaskan kehidupan bangsa.