Selepas acara diskusi seputar novel Tiba Sebelum Berangkat karya Faisal Oddang, yang juga dihadiri oleh pengarang muda tersebut, kedua kawan saya terlihat khusyuk berdiskusi. Saya pun ikut nimbrung.
Ternyata yang sedang didiskusikan oleh seorang wartawan dan penyair ini, yaitu mengenai perkembangan literasi; mulai dari gairah penulisan di era media sosial, hingga sulitnya daerah-daerah terpencil mengakses buku dan gadget.
Di tengah obrolan kami, tiba-tiba seorang kawan datang membawa kabar diblokirnya Tik-Tok. Begitu semringah wajahnya membawa pesan. Sementara kedua kawan di hadapan saya, acuh tak acuh.
Saya paham mengapa si pembawa kabar tersebut malam itu, begitu gembiranya. Bukan semata karena pembawaannya yang ceria, saya rasa. Tapi memang aplikasi media sosial yang satu ini, ramai dibicarakan secara negatif.
Tik-Tok dianggap sebagai sarana mencurahkan ekspresi yang banal dan tanpa makna. “Making stupid people famous”, adalah predikat yang kerap disematkan padanya. Sehingga, pemblokirannya dianggap sebagai solusi yang tepat oleh sebagian masyarakat. Kawan saya yang begitu gembira tersebut, mungkin hanya satu dari sekian banyak yang mengamini.
Blokir, Represi dan Ekspresi
Tindakan represif seringkali melahirkan sikap ngakal-ngakali. Kalau suatu akun media sosial seseorang diblokir oleh pengguna yang lain, kemungkinan pengguna yang diblokir itu akan membuat akun baru demi kepentingannya. Kasus tersebut merupakan sifat alamiah yang dimiliki manusia sejak kecil.
Kalau seorang anak tidak diizinkan keluar rumah karena alasan yang tak bisa diterima, kemungkinan dia akan kabur lewat jendela ataupun lompat pagar. Itu sebabnya, peradaban manusia tak hanya menghasilkan pagar rumah ataupun jeruji besi saja. Ada penyadaran akan konsekuensi melalui jalur pendidikan, kebudayaan, dan agama.
Bentuk ekspresi seorang anak sungguh beragam. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua: kesenian dan olahraga. Dalam kesenian, seorang anak yang mulai mengenal huruf dan gambar akan mulai mencorat-coreti seluruh properti yang ditemuinya.
Memberikan media khusus untuk meluapkan ekspresi, jauh lebih efektif dibanding memagari seluruh dinding rumah. Setelah hasrat tersalurkan, pemaknaan terhadap nilai seni dapat terjalin melalui dialog dua arah. Tiap referensi yang didapatkannya, berguna sebagai pendidikan selera.
Jika permasalahan ekpresi berkesenian hanya sebatas material, permasalahan ekspresi dalam bentuk olahraga cenderung krusial. Pendidikan olahraga seringkali dimaknai sebagai gerak tubuh, permainan, dan menang-kalah semata.
Sportivitas tidak benar-benar ditanamkan di dalam jiwa. Kasus kekerasan semacam pemerkosaan, tawuran, dan amuk massa terbentuk dari pola pendidikan semacam ini. Raga dan daya hanya dimaknai sebatas menang-menangan. Seni bertanggung jawab menjadi barang yang asing.
Pemblokiran adalah represi yang umumnya ditujukan buat maling. Cenderung mendiskreditkan mereka yang belum tentu bersalah. Sebelum represi benar-benar diberikan, mestinya ada pendekatan perventif.
Beragam ekspresi macam Tik-Tok, Tumblr, perfilman, jurnalistik, dan segambreng produk kebudayaan lainnya mestinya diarahkan. Membangun manusia tidak sama dengan membangun gedung; kalau berbahaya diblokir, kalau gagal dihancurkan. Apresiasi basa-basi demi pembangunan material adalah cerminan watak penjajah, yang gemar ongkang-ongkang kaki di atas penderitaan jiwa-jiwa mati.
Salah Kaprah tentang Sensor
“Perangkat apa saja yang menerima sinyal atau stimulus (seperti panas, tekanan, cahaya atau gerakan dll.) dan meresponnya dengan cara yang khas.” Setidaknya itulah definisi “sensor” yang saya dapatkan dari google terjemahan dalam bentuk kata benda melalui bahasa Inggris.
Akhir-akhir ini, jika mendengar kata sensor kita justru teringat akan tayangan di televisi yang terlihat disamarkan. Respon lembaga sensor justru ditunjukkan dengan menyamarkan, memburamkan, dan memotong bagian suatu tayangan yang jelas-jelas mereka pilih sebagai daftar layak tayang.
Daripada dirusak macam itu, lebih baik tayangan-tayangan yang lolos sensor sama sekali tidak ditayangkan. Lembaga sensor di zaman penjajahan Hindia Belanda dan Jepang, seburuk apa pun tak merusak suatu karya lalu memajangnya. Pemberangusan dalam beberapa kasus, bisa dimaknai sebagai pengaruh besar suatu karya.
Kejaksaan Agung melarang karya-karya Pramoedya karena percaya akan besarnya pengaruh karya yang dipublikasikannya. Menyensor dengan cara memburamkan dan memotong untuk dipublikasikan, sama halnya dengan pembunuhan karakter seseorang.
Tidak selamanya sensor itu buruk. Sensor diperlukan untuk keberlangsungan nilai-nilai kualitatif. Sensor mestinya berguna sebagai alarm, tanda suatu bahaya. Sensor tidak bisa mengedit dan mengubah. Sensor beridiri terpisah dengan proses editorial.
Sensor bertugas sebagai pengamanan, dan editing sebagai pemaknaan. Kalau Anda membeli buku, tentu tidak perlu seisi toko buku Anda borong, meskipun mampu. Proses memilah mana yang perlu dan tidak, itulah yang dinamakan sensor.
Kalau Anda membaca secara cepat, mungkin ada beberapa kata sambung yang terlewat. Dan kadang ada saja beberapa pembaca random, yang membaca dari bab akhir atau acak. Selama konteks dan substansi bacaan tidak buyar, selama itu juga pemahaman terbentuk secara bagus. Itulah yang dinamakan proses editing pembaca.
Selama sensor disamakan dengan wewenang editorial, selama itu juga perusakan akan dianggap wajar.
Represi Diri dan Represi Penguasa
Sama halnya dengan pemblokiran, sensor pun bersifat represif. Stabilitas dan keamanan adalah dua alasan utamanya. Dalam situasi terdesak, tentu kita perlu melakukan tindakan represi. Itu pun sebatas menggertak atau menghindari. Represi yang mendindas hanya berakhir pada keterdesakan yang baru. Represi yang menindas adalah watak penguasa. Reperesi yang baik adalah pada diri sendiri.
Seseorang yang membiasakan merepresi dirinya sendiri, cenderung terbentuk menjadi pribadi yang disiplin. Seperti halnya puasa, yang berguna untuk melatih kedisipilinan mempergunakan hawa nafsu. Hawa nafsu tak bisa diblokir seutuhnya. Tapi bisa disensor dan diarahkan sebaik-baiknya.
Hawa nafsu pemerintah tercermin pada represinya. Makin menindas, makin bermental penguasalah mereka. Pemerintah yang baik, mestinya berperan sebagai orangtua juga. Masyarakat sebagai anak, jangan ditoyor-toyor kepalanya. Apalagi dicap goblok, antiNKRI, komunis, kontra revolusioner, dll.
Masyarakat yang baik juga jangan hanya bisa tertawa dan membebek. Mestinya mau bertukar pikiran, dan memberi gagasan. Jangan hanya kerja, kerja dan kerja lalu tertawa dan ikut arus.