Sabtu, Oktober 5, 2024

Tidak, Omnibus Law bukan Kesalahan Presiden?

Muhammad Chaeroel Ansar
Muhammad Chaeroel Ansar
Mahasiswa Pascasarjana Development and Sustainability Program, Asian Institute of Technology, Thailand. Minat pada kajian marxisme.

Belum cukup seminggu sejak ketukan palu, Omnibus Law UU Cipta Kerja mendapat penolakan dari berbagai elemen masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Kantor pemerintah menjadi sasaran penyampaian aspirasi dari buruh, mahasiswa, akademisi, juga kelompok berlandaskan agama.

Parlemen jalanan terbentuk – Keadaan ini bukan tidak biasa bagi pencinta “another world is possible“. Rentetan aksi demonstrasi yang terjadi serupa alarm bagi kita semua bahwa sistem yang ada saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sebagai orang yang sedang belajar ekonomi politik, tulisan ini menjadi upaya melibatkan diri dalam isu tersebut. Penuh harap, uraian singkat ini bisa menjadi kerangka dasar dalam menentukan sikap.

Kesalapahaman Ekonomi

Niat tulus kepala pemerintahan untuk mendorong pertumbuhan investasi bukanlah suatu hal buruk, apalagi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Umum diketahui bahwa ide investasi merupakan pikiran jangka panjang dalam bentuk pendapatan yang meningkat di kemudian hari. Berbagai teori pembangunan ekonomi bertumpu pada investasi.

Basis kuat investasi dapat ditelusuri dari Adam Smith, Marx hingga para pengembang teori pembangunan setelah Perang Dunia II, sebagai misal bagi Smith begitu pentingnya kenaikan stok modal dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja karena memajukan pembagian kerja.

Dalam suatu ilustrasinya tentang produksi peniti, ia menegaskan bahwa seorang tenaga kerja begitu sulit memproduksi lebih dari 20 peniti sehari apabila keseluruhan proses produksi harus dikerjakan sendiri olehnya. Namun, apabila proses produksi dibagi dalam divisi berbeda dan masing-masing memiliki tugas berbeda sesuai keahliannya; seseorang mengeluarkan kawat, yang lain meluruskannya, yang selanjutnya memotongnya, dan seterusnya. Maka, lebih dari empat ribu peniti per pekerja dapat diproduksi.

Mulai terang bahwa untuk mengeksekusi pembagian kerja ini, dibutuhkan dana untuk pelatihan, alat, bahan, dan tentunya gaji awal tenaga kerja sebelum penjualan berlangsung, itulah yang saat ini akrab dikenal dengan istilah investasi, atau dalam istilah Smith disebut useful and productive activities.

Resep serupa dalam diskursus investasi diperoleh dari Model Harrod-Domar yang mulanya diterapkan di negara maju dan kemudian menuju pada negara berkembang, model ini menunjukkan tingkat pertumbuhan berkorelasi positif dengan rasio tabungan atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat tabungan (yang diinvestasikan), maka semakin tinggi pertumbuhannya. Secara sederhana, dasar dari model ini dapat dihitung melalui persamaan berikut:

g = s / c  atau ΔY/Y = s / k, dimana g atau ΔY/Y adalah tingkat pertumbuhan ekonomi (output), s adalah tingkat tabungan dan k adalah rasio modal-ouput (COR). sehingga, semakin tinggi tingkat s, maka semakin tinggi g.

Apakah Indonesia salah satu negara yang menganut kerangka kerja tersebut? Bisa jadi, namun apakah kerangka kerja itu kontekstual dengan permasalahan yang terjadi di Indonesia? Mari melihat persoalan krusial dan korelasinya terhadap investasi di Indonesia.

Hasrat buruh untuk membentuk parlemen jalanan dan demonstrasi bukan tanpa alasan, pengalaman dan perasaan langsungnya menjadi motivasi utama, buruh terbentuk atas relasi sosial-produksi melalui pemberian tenaga kerjanya dan upah oleh pemilik modal. Sebagaimana uraian sebelumnya, diasumsikan bahwa semakin banyak modal (melalui investasi) yang dimiliki oleh suatu entitas (tentu oleh kapitalis-enterpreneur), maka semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan, kemudian membuka peluang kerja yang luas, berakhir pada peningkatan kualitas hidup setiap kelas, baik buruh maupun pemilik modal.

Dengan meminjam pandangan Marx, kejadian kontras ditampilkan dalam investasi bahwa telah dan sedang terbentuk entitas baru, yang dalam istilah Marx disebut sebagai industrial reserve army atau akrab dikenal dengan pengangguran (unemployment), sejumlah pengangguran inilah yang menyebabkan tingkat upah bagi orang yang bekerja (dalam relasi sosial-kapitalis) berada pada upah penghidupan terendah (the minimum subsistence wage). Sebab, terjadi peningkatan terus-menerus atas persediaan (supply) tenaga kerja melebihi permintaan (demand) tenaga kerja.

Mulai terang bahwa mengeksekusi investasi untuk peningkatan upah bukanlah jalan yang elok untuk dikenang. Lebih lanjut, Marx menegaskan bahwa aktivitas investasi bukan dimotivasi oleh iming-iming keuntungan, tetapi merupakan kebutuhan yang dipaksakan oleh perjuangan kompetitif di antara para kapitalis.

Dengan demikian, investasi mendorong terbentuknya kemajuan teknis (teknologi) secara cepat, akibatnya bagian relatif dari pendapatan (upah) akan semakin turun dan bagian relatif dari keuntungan (nilai lebih) akan semakin naik, kondisi ini disebut sebagai the immiseration of the proletariat atau hukum yang meningkatkan kesengsaraan kelas pekerja. Secara sederhana dapat dipahami melalui ilustrasi grafis berikut:

Muhammad Chaeroel Ansar
Muhammad Chaeroel Ansar
Mahasiswa Pascasarjana Development and Sustainability Program, Asian Institute of Technology, Thailand. Minat pada kajian marxisme.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.