Pandemi COVID-19 telah membawa dampak yang besar terhadap kehidupan masyarakat di seluruh dunia, baik secara ekonomi maupun sosial. Dari krisis ekonomi hingga dan kematian jutaan orang di negara-negara maju terlebih di negara-negara berkembang, COVID-19 tak pandang bulu.
Namun, beberapa kelompok tertentu mengalami dampak yang lebih secara signifikan lebih parah dibandingkan kelompok lainnya. Salah satunya adalah kaum perempuan, yang pada umumnya memiliki beban ganda, yakni beban untuk mencari nafkah, dan beban pemeliharaan rumah tangga dan keluarga yang pada umumnya dilimpahkan kepada perempuan secara tidak merata. Beban ganda yang didasari atas ketidaksetaraan gender ini mengakibatkan perempuan menjadi lebih rentan terhadap dampak ekonomi dari COVID-19.
Dampak dari beban ganda yang harus ditanggung oleh perempuan dalam masa pandemi ini dapat diringankan melalui kebijakan-kebijakan publik yang gender-sensitive. Kehadiran pemimpin perempuan dalam pemerintahan meningkatkan kemungkinan pembuatan kebijakan gender-sensitive yang mempromosikan kesetaraan, dan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup kelompok-kelompok termarjinalisasi, terutama perempuan (Volden, Wiseman & Wittmer, 2010).
Namun, data dari UNWomen (2021) menunjukkan bahwa kehadiran perempuan pada seluruh tingkat pengambilan keputusan politik di seluruh dunia sangatlah rendah. Bahkan, hanya 10 negara memiliki kepala negara perempuan, dan 13 negara dengan kepala pemerintahan perempuan di seluruh dunia (UNWomen, 2021).
Perempuan memiliki potensi kepemimpinan yang tinggi, sayangnya hal ini kurang dimanfaatkan di segala bidang termasuk politik. Potensi kepemimpinan politik perempuan terbukti oleh efektivitas kebijakan penanganan COVID-19 di negara-negara dengan kepala negara perempuan seperti Denmark (Mette Frederiksen), Selandia Baru (Jacinda Ardern), Jerman (Angela Merkel), dan Taiwan (Tsai Ing-wen) yang telah diakui secara internasional.
Sifat-sifat “feminin” yang pada umumnya dinilai menjadi kelemahan perempuan, dan mengurangi kelayakan perempuan untuk menjadi pemimpin atau pengambil keputusan di tingkat manapun dibandingkan laki-laki, justru menjadi keunggulan para kepala negara perempuan dalam menangani pandemi COVID-19.
Secara garis besar, para kepala negara perempuan mendasari kebijakannya atas empat faktor utama, yakni: transparansi, ketegasan, empati, dan komunikasi yang baik. Mereka bertindak secara tegas, dan bergerak cepat dengan memberlakukan seperangkat protokol kesehatan hingga kebijakan lockdown sejak awal masa pandemi, bahkan sebelum terdapat banyak kasus di negara mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan dapat bersikap tegas, dan berkarakter kuat, yang biasanya diasosiasikan dengan maskulinitas, di tengah sebuah krisis global.
Di samping itu, meskipun keempat hal tersebut dapat saja dikuasai oleh pemimpin laki-laki, dapat dikatakan bahwa kemampuan untuk berempati, dan mengkomunikasikan informasi secara umum dapat dilakukan dengan lebih baik oleh perempuan dibandingkan laki-laki. Dalam hal ini, yang menjadi keunggulan para pemimpin perempuan dalam penanganan COVID-19 merupakan bagaimana mereka menyampaikan informasi, atau mensosialisasikan peraturan-peraturan yang membatasi kebebasan, dan sulit untuk diterima oleh rakyat.
Sama halnya dengan kepala negara lainnya, informasi dan kebijakan yang disosialisasikan berbasis penelitian ilmiah, dan data statistik namun, kedua hal tersebut seringkali sulit dicerna oleh masyarakat, terlebih yang buta data sehingga mereka akan lebih skeptis untuk mematuhi aturan tersebut.
Merkel, Ardern, Frederiksen, dan kepala negara perempuan lainnya berhasil membangun kepercayaan, dan kepatuhan masyarakat dengan menciptakan citra yang relatable dengan masyarakat awam, dan memperlihatkan bahwa pandemi ini merupakan masalah serius yang mempengaruhi semua orang sehingga harus dihadapi bersama.
Sebagai contoh, Mette Frederiksen dan Jacinda Ardern sering melakukan konferensi pers, dan menggunakan Facebook Live untuk mendengarkan, berinteraksi, dan meyakinkan rakyatnya bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menjaga satu sama lain, seperti dengan menetap di rumah. Kendati berlatarbelakang budaya, dan etnis yang berbeda, terdapat dua kesamaan di antara pemimpin-pemimpin hebat ini, yakni pendekatan mereka yang hangat dan sensitif terhadap ketakutan dan kebimbangan masyarakat selama masa pandemi, serta identitas mereka sebagai perempuan.
Sifat-sifat “feminin” seperti kepekaan emosional, dan orientasi kepada keluarga mendasari kebijakan-kebijakan penanganan COVID-19 di female-led countries, yang menekankan pada tanggung jawab bersama, kekuatan bersama, dan solidaritas.
Walaupun Merkel, Ardern, dan Tsai mewakili perempuan, dan memegang kekuasaan politik tertinggi, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka berkiprah di bidang yang masih didominasi oleh laki-laki.
Teori feminis tradisional terkait kekuasaan memandang kekuasaan sebagai bentuk dominasi, yakni bahwa kekuasaan perempuan merupakan sebuah kontradiksi atau tidak sesuai dengan struktur sosial yang ada, dan bahwa feminitas itu sendiri dicirikan dengan subordinasi terhadap kekuasaan laki-laki (MacKinnon, 1987; Pateman, 1988). Dengan kata lain, perempuan selalu tidak berdaya, dan berada di bawah kekuasaan laki-laki.
Namun, di sisi lain terdapat teori kekuasaan feminis yang berfokus pada aspek kekuasaan power-to, dibandingkan power-over sebagaimana dilakukan dalam teori dominasi. Kekuasaan untuk bertindak (power-to) mengacu pada kemampuan perempuan untuk mencapai tujuan tertentu terlepas dari dominasi laki-laki, dan kemampuan perempuan untuk memberdayakan orang lain, termasuk kemampuan untuk mengasuh anak yang seringkali direndahkan oleh budaya misoginis.
Berdasarkan penelitian Carol Gilligan, perempuan memiliki perspektif kepedulian (care perspective) yang memandang kekuasaan sebagai kapasitas untuk mengubah, serta memberdayakan diri sendiri dan orang lain, bukan untuk mendominasi orang lain, yakni interpretasi maskulin terhadap kekuasaan.
Kepemimpinan Merkel, Ardern, Frederiksen dan lainnya mencerminkan perspektif kepedulian tersebut, yang mana lebih menekankan pendekatan untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka memperkuat, serta memobilisasi kerjasama dan kepatuhan terhadap kebijakan COVID-19, termasuk penjarakan sosial atau lockdown yang mungkin sulit untuk diterima oleh masyarakat.
Berkat kepemimpinan mereka yang transparan, tanggap, dan empatik mereka dapat mencegah penyebaran virus, dan melindungi rakyatnya dari ancaman pandemi secara efektif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para kepala negara perempuan ini telah membuktikan bahwa identitas sebagai perempuan dan sifat-sifat “feminin” yang melekat pada identitas tersebut tidak menghambat kepemimpinan politik, namun melengkapi atau bahkan, meningkatkan kemampuan mereka sebagai seorang pemimpin.
Keberhasilan pemimpin politik perempuan di masa pandemi COVID-19 telah menetapkan preseden, dan memberikan bukti konkrit bahwa perempuan layak untuk menjadi pemimpin, dan mampu untuk mencapai tujuan-tujuan kita secara efektif, terlepas dari pengaruh dominasi budaya patriarki.