Selasa, April 16, 2024

The Political Power of Emak-Emak

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

The power of emak-emak, pada awalnya istilah ini viral dan populer karena banyaknya pengalaman pengguna media sosial (netizen) bertemu dan merekam tingkah laku “extraordinary” emak-emak (bisa ibu-ibu maupun perempuan muda) ketika mengendarai kendaraan di jalan raya.

Mulai dari kebiasaan melakukan sign kiri belok kanan, mengobrol dengan pengendara lain di tengah jalan, menggigit petugas kepolisian yang hendak menilang, hingga mengendarai kendaraan roda dua masuk jalan tol.

Perilaku berkendara yang terkesan menerabas segala aturan lalu lintas tentu saja sangat membahayakan, tidak hanya untuk mereka, tetapi juga bagi pengendara lain. Fenomena yang terus muncul tersebut memang terdengar menggelitik dan tak jarang menjadi meme di media sosial, namun masyarakat juga bertanya kenapa emak-emak mampu memiliki kemampuan luar biasa seperti itu?

Pada umumnya timbul anggapan bahwa kekuatan luar biasa tersebut terjadi karena faktor pendidikan dan wawasan yang dimiliki oleh emak-emak. Meskipun tidak bisa kita generalisasi, namun terbatasnya pendidikan dan wawasan tentu saja berimbas pada ketidaktahuan dan ketidakpedulian terhadap sesuatu hal yang sedang dihadapi oleh emak-emak.

Kasus sign kiri belok kanan dan mengendarai motor hingga masuk jalan tol mungkin bisa dijadikan contoh nyata. Mereka mungkin tidak menyadari dampak buruk dari perilaku yang mereka lakukan. Selain hal tersebut, dapat dikatakan bahwa emak-emak seringkali memiliki kekuatan besar yang tersembunyi dan muncul ketika menghadapi hal yang mereka anggap penting dan genting.

Psikolog dari Pusat Informasi dan Rumah Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan menjelaskan bahwa secara psikologis seorang perempuan/terlebih sosok ibu memiliki kekuatan tertentu, utamanya jika berhubungan dengan anak dan keluarga. Kekuatan tersebut menjadi dorongan utama untuk bertindak dan melakukan apa saja yang mereka anggap benar.

Namun apakah the power of emak-emak selalu berhubungan dengan hal-hal yang berbau negatif? Ternyata tidak. Banyak peristiwa-peristiwa penting dan bersejarah yang diawali oleh gerakan yang diorganisir oleh kaum perempuan sehingga justru bisa kita sebut sebagai the political power of emak-emak.

Tentu kita ingat peristiwa yang kemudian dikenal dengan Ibu-Ibu Plaza de Mayo. Dikutip dari lampiran Kontras.org, Junta militer Argentina di bawah kepemimpinan Jenderal Jorge Rafael Videla melakukan penculikan dan pelenyapan secara sistematis untuk menjaga stabilitas keamanan Argentina.

Rezim tiran dan otoriter tersebut mengeksekusi puluhan ribu warga yang tidak bersalah dengan alasan untuk menghilangkan ideologi komunis yang dianggap bertentangan dengan prinsip junta militer. Pada awalnya mereka diculik, ditahan, disiksa dan kemudian dihilangkan menggunakan instrumen represi junta militer yang kerap disebut sebagai pasukan maut (death squads).

Selanjutanya mereka dibuang hidup-hidup di tengah lautan Samudera Atlantik dengan pesawat (death flights). Kekejaman dibawah rezim Videla pada akhirnya justru melahirkan gerakan sosial yang tidak terduga sebelumnya. Gerakan yang diprakarsai oleh ibu-ibu korban penghilangan orang pada tahun 1977 tersebut telah menjadi simbol perjuangan dan perlawanan masyarakat Argentina.

Gerakan ini kemudian dikenal dengan nama Las Madres de Plaza de Mayo. Ibu-ibu dalam gerakan tersebut dikenal memliki semangat pantang menyerah dan juga cerdas secara politik.

Diawali dengan kegiatan sederhana, dengan tidak kenal lelah mengelilingi alun-alun (Plaza de Mayo) yang terletak di depan pusat kekuasan junta militer, Istana Casa Rosada dan Katedral Kota, di tengah-tengah Buenos Aires. Pada akhirnya gerakan ibu-ibu Plaza de Mayo mampu menggulingkan rezim diktator Videla.

Lalu jika kita tarik kedalam konteks Indonesia, the political power of emak-emak juga pernah mewarnai beberapa peristiwa politik Indonesia baik mereka sebagai subjek politik, maupun objek politik. Mantan Presiden Megawati, sebagai Presiden perempuan pertama Indonesia menjadi bukti bahwa kaum perempuan memiliki kemampuan untuk memimpin bangsa sebesar NKRI.

Berlanjut pada era berikutnya, kemenangan SBY pada pilpres 2004 juga dianggap beberapa pengamat tidak lepas dari keberhasilan SBY merangkul dukungan dari kalangan perempuan/ibu-ibu. SBY ketika itu dengan pembawaan tenang, gagah, dan sopan merupakan sosok yang paling menarik simpati siapapun khususnya ibu-ibu.

Kemenangan beberapa kepala daerah juga dapat dianalisa sukses berkat kemampun calon kepala daerah terpilih untuk merangkul dukungan dari kalangan ibu-ibu. Belum lagi jika kita lihat keterwakilan perempuan di DPR RI yang sudah mencapai 35 persen.

Beberapa hal tersebut yang akhirnya menunjukkan bahwa peran ibu-ibu/perempuan dalam bidang politik mulai terlihat signifikan. Khusus dalam menghadapi gelaran pemilu, hal ini yang kemudian menjadi suatu fenomena yang rutin terjadi pada setiap gelaran pemilu di Indonesia dan mulai konsisten dimanfaatkan oleh calon kepala daerah ketika berkampanye.

Ibarat kata, bila ingin memenangkan pertarungan pemilu, baik pilkada maupun pilpres, maka gandenglah ibu-ibu sebagai salah satu amunisi utama dalam menghadapi pemilu karena dengan menggandeng ibu-ibu, potensi mendapatkan dua hingga tiga kali lipat suara sangat terbuka lebar.

Perlu diingat bahwa partai politik di Indonesia diperkirakan masih harus bekerja keras untuk meyakinkan sekitar 40 % calon pemilih tidak loyal (swing voters) jika ingin meraup suara sebanyak mungkin dalam pemilu 2019. Rata-rata swing voters tersebut adalah para pemilih pemula yang masih membutuhkan referensi mendalam terkait dengan pilihan politiknya.

Menghadapi situasi sepert ini, dapat dikatakan ibu-ibu sangat paham bagaimana caranya untuk mempengaruhi para swing voters, dalam hal ini orang terdekat yang ada dilingkungan keluarga baik anak mereka maupun kerabat terdekat untuk menentukan pilihan politiknya.

Dengan gaya pendekatan yang sederhana dari hati kehati kaum ibu justru dapat menjadi ujung tombak paling menentukan dalam setiap pertarungan politik. Jadi sekali lagi, jangan remehkan peran ibu dalam setiap gelaran politik yang akan dihelat oleh Negara.

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.