Jumat, April 19, 2024

The Fallacy of Reification

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Dalam suatu kesempatan saya pernah menyaksikan dialog panas antara Rocky Gerung dengan sejumlah politisi di salah satu channel televisi swasta. Tema utama dalam debat tersebut ialah seputar pancasila. Pertanyaan dasarnya: Apakah pancasila itu bisa disebut sebagai ideologi negara atau tidak? Berbeda halnya dengan kebanyakan politisi yang mengafirmasi pertanyaan tersebut, Rocky memandang bahwa pancasila justru tidak layak disebut sebagai ideologi negara.

Alasan Rocky cukup sederhana: Konsep negara itu merupakan fiksi, bukan sesuatu yang konkret dan real. Dalam pandangan Rocky, tidak bisa kita mengatakan suatu negara itu memiliki ideologi. Sebab, demikian Rocky berargumen, yang berideologi itu harusnya manusia. Sebagai makhluk yang memiliki pikiran dan nyawa. Sementara negara hanyalah gagasan fiktif yang dikreasikan oleh nalar kita. Dengan kata lain, negara adalah makna abstrak. Sebagai makna yang abstrak, tidak bisa kita menisbatkan kepada dirinya sesuatu yang biasanya dikaitkan dengan sesuatu yang bernyawa, seperti halnya ideologi tadi.

Ideologi itu hanya bisa dilekatkan kepada manusia, bukan kepada makna abstrak seperti halnya negara. Dalam konteks ini saya setuju dengan Rocky. Bahwa pancasila itu memang bukan ideologi negara. Dia, seperti kata Rocky, hanya kesepakatan saja. Kesepakatan yang dulu pernah dibuat oleh para pendiri negara kita. Sesuatu yang abstrak tak bisa kita perlakukan sebagai sesuatu yang konkret. Jika kita melakukan itu, maka kita, secara sadar atau tidak, kita sudah terjatuh dalam kesalahan berpikir. Inilah yang oleh para logikawan sebut dengan the fallacy of reification/hypostatization (mughâlathât al-Tasyyi).

Kita akan terjatuh dalam kekeliruan ini kalau kita memperlakukan sesuatu yang abstrak sebagai sesuatu yang konkret. Dan ini sering terjadi. Meskipun kita sudah terbiasa untuk memaklumi. Sadar atau tidak kita sering terjatuh dalam kekeliruan semacam ini. Ada seorang ustad, misalnya, berceramah di hadapan para santrinya: “Kita perlu memerhatikan pentingnya aspek pendidikan. Bangsa yang baik haruslah memiliki pendidikan yang baik. Anak-anakku, raihlah pendidikan setinggi mungkin. Karena pendidikan itulah yang kelak akan merubah kehidupan kalian.

Padahal, pada hakikatnya, yang merubah kehidupan kita bukanlah pendidikan. Melainkan diri kita sendiri, yang memanfaatkan pendidikan itu dengan baik. Pendidikannya itu sendiri hanyalah makna abstrak yang dikreasikan oleh nalar kita, bukan sesuatu yang konkret yang memiliki realisasi di alam nyata. Dari sudut ilmu logika pernyataan ini keliru, karena kita memposisikan sesuatu yang abstrak sebagai sesuai yang konkret. Inilah yang dimaksud the fallacy of reification tadi.

Contoh lain, “anak-anakku, yang aku cintai, kalian harus mencari ilmu sebanyak-banyaknya, karena hanya dengan ilmulah bangsa kita akan berubah.” Demikian kata seorang guru kepada murid-muridnya. Pertanyaannya, apakah benar ilmu—sebagai sebuah makna yang abstrak—bisa merubah suatu bangsa? Sebagai makna yang abstrak tentu ilmu tidak bisa memberikan apa-apa. Kalaupun iya, perubahan itu bisa terwujud dari pendayagunaan kita terhadap ilmu. Tapi bukan ilmu itu sendiri yang merubah kita. Tanpa kita sadari, dengan ungkapan tersebut, kita sudah memperlakukan ilmu sebagai sesuatu yang bernyawa. Inilah yang disebut the fallacy of reification.

“Kita akan berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan. Karena kesejahteraan dapat mengantarkan kita menuju pintu kemajuan.” Apakah kesejahteraan benar-benar bisa melahirkan kemajuan? Sebenarnya tidak. Yang melahirkan kemajuan itu bukan kesejahteraannya itu sendiri, melainkan diri kita yang memanfaatkan kesejahteraan itu sebagai jalan untuk meraih kemajuan. Kesejahteraan itu hanyalah makna abstrak yang dilahirkan oleh nalar kita. Sebagai sebuah makna yang abstrak, tentu dia tidak bisa memberikan dampak apa-apa.

Contoh lain yang lebih mudah, di suatu malam, misalnya, saya bilang ke isteri saya: “Sayang, terima kasih kamu sudah memilih aku sebagai pendamping hidup kamu. Tak terasa, waktu telah mengantarkan kita menuju pelaminan yang telah lama kita impikan. Aku sangat mencintai kamu. Mudah-mudahan kasih sayang yang aku berikan kelak akan memperkokoh kehidupan rumah tangga kita.”

Di sana ada pernyataan “waktu telah mengantarkan kita menuju pelaminan”. Pertanyaanya: Apakah waktu itu termasuk sesuatu yang real dan bernyawa sehingga ia bisa menuntun dan mengantarkan manusia? Semua yang berakal sehat pasti akan berkata tidak. Bahkan, menurut para teolog, waktu itu sendiri hanyalah makna ilusif yang kita tangkap dari keberiringan atau keberurutan antara kejadian-kejadian. Di alam luar tidak ada yang namanya waktu. Paling jauh jari-jemari Anda hanya bisa menunjuk sebuah jam. Tapi waktunya itu sendiri sebenarnya tidak ada. Dia bukan sesuatu yang terlihat oleh mata apalagi bernyawa layaknya manusia. Tapi, sadar atau tidak, dengan ungkapan tersebut kita telah memperlakukan waktu sebagai sesuatu yang konkret dan bisa memberikan dampak. Dan itu keliru.

Begitu juga dengan ungkapan kasih sayang yang dikatakan dapat “memperkokoh” kehidupan rumah tangga. Apa yang bisa diperkokoh oleh suatu makna abstrak yang bernama kasih sayang itu? Tidak ada. Dia tidak bisa memberikan dampak apa-apa. Yang bisa memberikan dampak dan memperkokoh itu diri kita sendiri, dengan kasih sayang yang kita miliki. Tapi bukan kasih sayangnya. Karena kasih sayang hanyalah makna. Sebagai sebuah makna, kita tidak bisa memperlakukannya sebagai sesuatu yang konkret sehingga bisa memberikan dampak yang nyata.

Kita memandang pernyataan-pernyataan di atas sebagai pernyataan yang keliru. Tapi keliru dari sudut apa? Keliru dari sudut ilmu logika. Namun, kalau kita bicara soal sastra, sebetulnya contoh-contoh yang saya sebutkan di atas sangat lumrah kita jumpai. Bahkan kita sudah terbiasa menerima ungkapan-ungkapan semacam itu. Hampir tidak ada masalah. Itulah yang disebut metafor (majâz). Dan dari sudut ilmu sastra itu sah-sah saja. Selama konteksnya tepat. Dan “pembelokkan” maknanya tidak terlalu jauh. Tapi, lain logika, lain sastra. Lain soal kepala, lain urusan rasa. Ilmu logika adalah ilmu yang mengajarkan kecakapan berpikir, bukan kecakapan menggombal ataupun merangkai syair-syair.

Dari sudut ilmu logika, kalau kita memperlakukan suatu makna yang abstrak sebagai sesuatu yang konkret itu keliru. Karena suatu makna tidak akan bisa memberikan dampak apa-apa. “Cinta ini telah membuat aku buta.” Sebagai sebuah gombalan itu sah. “Jangan pernah berkhianat, karena pengkhianatan itu kelak akan mencelakakan Anda.” Sebagai sebuah metafor, itu juga sah.

Tapi, dari sudut ilmu logika—sekali lagi dari sudut ilmu logika—ungkapan semacam itu jelas keliru. Anda keliru kalau memasukkan proposisi-proposisi semacam itu kedalam sebuah argumen, misalnya. Argumen yang digunakan untuk berdebat secara ilmiah dan rasional. Karena dalam merangkai sebuah argumen, gagasan yang kita kemukakan haruslah tertata dengan benar. Maknanya harus jelas dan tegas. Tidak melahirkan kebingungan. Kalau kita memperlakukan makna-makna yang bersifat abstrak sebagai sesuatu yang konkret maka kita sudah jatuh dalam kesalahan berpikir. Dan itulah yang disebut the fallacy of reification.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.