Rencana pembangunan terowongan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral sebagaimana disebutkan Presiden Joko Widodo (7/2) tampak menjadi polemik. Berbagai pro dan kontra muncul dari beberapa tokoh serta organisasi tertentu dalam menanggapi pembangunan yang ditaksir mencapai milyaran rupiah tersebut.
Terowongan yang dimaksud adalah terowongan bawah tanah yang akan menghubungkan langsung antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Presiden menamai proyek tersebut dengan sebutan Terowongan Silahturahmi.
Pembangunan tersebut didasari dari keadaan kedua bangunan tersebut yang seakan terpisah satu sama lain dan terlihat bersebrangan. Sehingga dengan adanya terowongan ini, masyarakat semakin dimudahkan untuk menyeberang dari Istiqlal ke Katedral atau sebaliknya.
Identitas Keindonesiaan
Ada makna lain yang ingin disorot Presiden atas kesetujuannya pada proyek ini, yakni tentang pesan toleransi. Berbagai intoleransi yang terjadi pada kelompok agama tertentu dipandang menjadi pekerjaan rumah yang tidak kunjung usai bagi pemerintah. Juga dengan sentimen keagamaan yang terus mengalami peningkatan sampai saat ini. Karenanya pembangunan ini dipandang positif.
Pastor Kepala Gereja Katedral Albertus Hani Rudi Hartoko SJ berpendapat bahwa “hadirnya terowongan silaturahim ini semoga semakin mempererat dan merawat persaudaraan, persatuan, dan kebinekaan, serta silaturahim dan toleransi antarumat beragama yang mendukung semangat kebangsaan”.
Pesan senada juga disampaikan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar. Terowongan silahturahmi dapat di nilai sebagai suatu usaha menunjukkan identitas keindonesiaan yang sesungguhnya. Juga menguatkan semangat Presiden Soekarno yang menetapkan lokasi Masjid Istiqlal berdampingan dengan Gereja Katedral.
Harapannya bahwa tercipta ruang perjumpaan. Ilmu sosial mendefinisikan ruang tersebut sebagai wilayah-wilayah yang memungkinkan manusia saling berinteraksi. Dalam ruang itulah terjadi pengenalan, saling memahami dan kemudian tumbuh rasa saling menghargai. Atau dalam kata lain, semakin sempit ruang perjumpaan, semakin dimungkinkan pula muncul masyarakat yang berwawasan sempit dan tidak mudah menerima perbedaan. Seorang teoritisi bernama Jürgen Habermas melihat fenomena ini dan membandingkannya dengan ruang hampa.
Bagi Harbermas, interaksi sosial yang tercipta dalam masyarakat tidak berhadapan dengan ruang kosong. Komunikasi dengan situasi yang nyata menjadi sesuatu yang harus dibangun dalam masyarakat, alih-alih cukup puas dan kemudian berhenti pada rasionalisasinya sendiri.
Pertemuan Komitmen
Berbagai nilai keindonesiaan yang ingin diwujudkan dalam pembangunan terowongan silahturahmi sejatinya tidak cukup hanya pada perjumpaan fisik, terlebih hanya pada bangunan fisik. Pesan yang paling penting diwujudkan ke depan yakni pertemuan komitmen (the encounter of commitment) antar komunitas heterogen.
Sebagaimana disebutkan oleh Diana Eck (1993) dalam Encountering God: A Spiritual Journey From Bozeman to Banaras bahwa proses pencarian pemahaman secara aktif untuk menembus batas-batas perbedaan (active seeking of understanding across lines of difference) menjadi hal penting dalam rangka menciptakan perjumpaan komitmen demi membangun sinergitas bersama.
Eck menjelaskan pertemuan komitmen tersebut dalam konteks bahwa pluralisme sering dimaknai secara sempit, yakni sebagai usaha mengajak individu meninggalkan identitas pribadinya dan kemudian melabelkan diri pada identitas komunal. Sejatinya pluralisme adalah sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman yang ada (the energetic engagement with diversity) dan terlibat aktif dengan pluralitas.
Ia menuliskan bahwa “pluralism is not sheer fact of plurality alone, but is active engagement with plurality”. Pluralisme, menurut Eck, muncul karena tafsir dari pluralitas atau diveritas budaya dan agama. Sama halnya dengan paham eksklusivisme, multikulturalisme dan relativisme yang mencul karena interpretasi dari kemajemukan.
Nurcholish juga menekankan bahwa pluralisme tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay), melainkan pluralisme membawa “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Istilah ini juga semakin menekankan bahwa pluralisme bukan sekedar mengakui pluralitas, melainkan ikut aktif dalam merangkul dan merangkai perbedaan menuju kepada kebersamaan.
Menjaga komitmen dinilai menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Ketika komitmen tersebut diabaikan oleh satu pihak saja, maka ruang perjumpaan seakan, meminjam istilah Habermas, menjadi ruang hampa yang nirmakna.
Munculnya kasus akhir-akhir ini seperti penolakan renovasi Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun pada 6 Februari lalu ataupun peristiwa perusakan mushola di Minahasa Utara pada 29 Januari 2020 silam juga berbagai kasus intoleransi lainnya yang sampai saat ini belum menemui titik terang seharusnya bisa alarm bagi pemerintah sekaligus tanda tanya bagi masyarakat: apakah perjumpaan komitmen untuk membangun sinergitas bersama masih terus dihayati pemerintah dan masyarakat?
Simbol seyogyanya hadir sebagai refleksi atas realitas. Sungguh menjadi ironi jika Ibukota dihiasi terowongan nan megah dengan maksud menghadirkan nilai toleransi, namun di sisi bersebrangan, berbagai tindakan intoleransi tumbuh subur di luar Ibukota. Tanpa mengesampingkan peran simbol, pemerintah sebagai salah satu aktor di harap memberi ruang perhatian pada berbagai kasus intoleransi yang terjadi. Konstitusi secara eksplisit menjamin kebebasan beragama bagi masyarakatnya mulai dari memilih, memeluk, serta menjalankan acara atau ibadah keagamaannya.
Karenanya gerak pemerintah dalam mengejawantahkan itu senantiasa dinantikan masyarakat. Sehingga apa yang disebutkan Presiden Joko Widodo bahwa “tidak ada tempat bagi intoleransi di Indonesia” sungguh benar-benar menjadi perkataan yang membumi.