Jumat, Maret 29, 2024

Terorisme Lahir dari Watak yang Retak

Mohamad Asrori Mulky
Mohamad Asrori Mulky
Pernah Nyantri di PonPes Subulussalam, Kresek, Tangerang, Banten, dan Pondok Tahfidz Daarul Qur'an, Cikalahang Dukupuntang, Cirebon.

Salah satu musuh terbesar kemanusiaan adalah terorisme. Ia lahir dari watak retak manusia yang dikendalikan hasrat untuk membunuh. Dalam aksinya yang agresif, teroris tak mengenal agama, juga tak mengenal etnik, ras, wilayah atau batas-batas yang lain. Apa pun agama korban sepanjang beda haluan dan tujuan dijadikan target sasaran. Teroris hanya bicara tentang kematian, tentang bagaimana menghabisi yang liyan (orang lain).

Karen Armstrong dalam “Fields of Blood: Religion and the History of Violence” berkesimpulan, terorisme tak ada hubungannya dengan Nabi Muhammad dalam Islam atau Kristus dalam iman Kristen. Tetapi dia juga mengatakan bahwa kekerasan dengan segala bentuk teror dan wujudnya ada di hampir semua peradaban manusia. Genangan darah yang ditumpahkan, ceceran mayit yang terserak, dan susunan kepala yang menggunung, telah mewarnai sejarah panjang kekerasan umat manusia di muka bumi.

Meski terorisme bukan bersumber dari ajaran agama, faktanya hampir semua aktifitas teror selalu mendalihkan alasannya pada doktrin agama, pada kebenaran yang diyakininya. Setidaknya dalam kasus terorisme paling mutakhir, bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan teror di Mabes Polri. Melalui surat wasiat yang ditinggalkan, mereka memilih menempuh jalan jihad untuk memperoleh kematian yang terhormat.

Dalam amatan saya, para teroris lebih banyak bicara tentang “teologi masa depan” (akhirat), tentang jihad, tentang musuh yang ada di sana yang berbeda haluan dan arah tujuan. Prinsip berani mati demi cita-cita yang dianggap luhur (masuk surga) menjadi dasar keyakinan mereka. Tak peduli berapa nyawa dimatikan. Tak mengapa berapa jiwa yang harus dilenyapkan.

Memupuk pahala demi surga meski harus menghilangkan nyawa manusia adalah tindakan yang melawan kemanusiaan dan bertentangan dengan nilai luhur tiap agama: cinta kasih. “Terorisme tidak mungkin lahir dari agama, ia hanya produk dari akal yang tidak sehat, hati yang keras, dan jiwa yang sombong,” kata Syaikh Ali Jum’ah.

Memang! Ketika akal jadi sakit, daya kritis melemah. Maka semua tindakan yang dihasilkan dilalui lewat jalan perhitungan yang tak memadai, cenderung destruktif dan merusak. Ketika hati menjadi keras, cinta kasih pun menghilang. Maka yang muncul adalah sifat purba dari manusia; kebengisan tanpa welas asih. Ketika jiwa menjadi sombong, sifat sewenang-wenang muncul. Jiwa yang sombong adalah nama lain dari ke-aku-an yang angkuh. Dan keangkuhan itu akan membuat seseorang menjadi rapuh.

Terorisme tak banyak bicara tentang prinsip berani hidup. Mereka tak mengenal konsep tentang hidup yang rukun dan teratur. Sebab berdamping hidup dengan yang liyan (dengan yang beda ideologi dan  keyakinan) dianggap sebagai ancaman. Bagi mereka, membunuh adalah cara terbaik untuk bertahan “hidup” menuju kematian yang abadi.

Bagi para teroris, dunia adalah ladang pertempuran tiada akhir. Musuhnya sudah jelas; mereka yang berbeda ideologi dan keyakinan. Dalam perang yang terlanjur digelar ini mereka tak lagi mengenal rasa kemanusiaan dan belas kasihan. Yang ada adalah lawan atau kawan. Dia yang berbeda haluan dianggap sebagai musuh yang harus dilawan. Sementara mereka yang searah dianggap sebagai teman yang layak diperjuangkan.

Kebencian

Kebencian yang mendalam pada yang liyan kadang membuat seseorang lupa arah dan ingatan. Ibarat api dalam sekam, kebencian yang digumpalkan dalam dada bisa lebih berbahaya. Dia akan berkobar. Membakar banyak korban.

Apalagi bila kebencian yang digumpalkan dalam dada itu disebabkan oleh kemarahan yang menggunung akibat beda haluan dan keyakinan. Kebencian adalah kekuatan yang lahir dari dalam diri manusia untuk diarahkan kepada objek yang ada di luar sana—atau kepada “wajah yang lain” dalam istilah Emmanuel Levinas.

Ketika ‘aku’ sebagai subjek telah merasa terkikis menjadi sebuah objek karena kehadiran ‘aku’ yang lain, maka saat itu juga ‘aku’ sebagai subjek mulai merasa terancam. Dan karena kehadiran objek dirasa mengancam subjektifitas, maka ‘aku’ selaku subjek melakukan agresi dan dominasi terlebih dahulu atas yang lain.

Suasana batin seperti itu, juga dialami pelaku penembakan masjid Christchurch di Selandia Baru, beberapa tahun lalu. Pelakuanya, yang juga pejuang supremasi kulit putih, merasa terancam oleh kehadiran imigran dari kalangan Islam. Pun dengan pelaku bom bunuh diri di Makassar dan penyerangan di Mabes Polri. Mereka merasa terancam oleh kelompok yang beda arah ideologi dan keyakinan. Dan karena itu mereka pupuk kebencian yang mendalam untuk jalan jihad yang diyakininya.

Dalam rentang sejarah yang panjang, sebuah peradaban yang damai nan permai tiba-tiba bisa runtuh oleh sebab peperangan yang disulut kebencian. Kisah Qabil dan Habil telah memberi gambaran betapa kebencian bisa mengakhiri riwayat orang lain. Tragedi kemanusiaan ini telah dipandang oleh Ibnu Khaldun sebagai tragedi berdarah pertama di dunia yang dilakukan oleh dua anak manusia pertama.

Rasanya sulit untuk menghapus terorisme di dunia selama kebencian pada yang liyan masih digelayutkan dalam dada. Kita perlu menyadari bahwa tujuan penciptaan manusia adalah sebagai khalifah (catat! bukan sistem khilafah). Tentu bukan untuk maksud-maksud destruktif dan merusak. Tapi untuk mengolah dunia, menebar benih damai, dan saling memberi kasih pada sesama. Hanya dengan itu, kita bisa menghapus terorisme yang disulut kebencian yang menggumpal.

Manusia adalah sebaik-baik ciptaan. Bukan semata-mata karena dia sanggup memikul titah (amanah) Tuhan yang pernah ditolak langit, bumi, dan gunung. Tapi karena dia memiliki Nurani atau نوران (dua pelita/cahaya), yaitu akal dan hati. Dan oleh sebab itu manusia berbeda dengan binatang. Bahkan lebih baik dari Malaikat. Bila dua pelita itu redup bahkan mati dari dalam diri seseorang, maka yang tersisa adalah kegelapan. Kebencian muncul oleh sebab hilangnya nurani dalam diri.

Sebagai penutup tulisan, izinkan saya mengutip salah satu ayat dari Firman Tuhan: “Jangan sekali-kali kebencian-mu pada kelompok lain (orang lain) membuat-mu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa” (Al Maidah: Ayat 8). Pesannya cukup jelas. Tidak perlu mengundang banyak pengertian.

Tapi mengapa para teroris menempuh jalan benci? Di situlah watak retak mereka. Wallahu’alam!

Mohamad Asrori Mulky
Mohamad Asrori Mulky
Pernah Nyantri di PonPes Subulussalam, Kresek, Tangerang, Banten, dan Pondok Tahfidz Daarul Qur'an, Cikalahang Dukupuntang, Cirebon.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.