Pasca insiden teror penembakan ugal-ugalan yang dilakukan oleh Brenton Tarrant dan rekan-rekannya, sebanyak 50 korban jiwa tak berdosa melayang saat umat Islam akan menunaikan ibadah shalat Jumat pada pekan lalu di Christchurch, New Zealand.
Untuk mengidentifikasi serangkaian penembakan dan kekejaman yang dilakukan oleh pelaku teror dan kelompoknya, saya akan meminjam pengertian terorisme yang dikemukakan oleh Hendropriyono, dikutip dari Filsafat Intelejennya.
Kurang lebih begini, terorisme adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan kekerasan yang tidak tunduk terhadap nilai-nilai atau norma- norma keagamaan, budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu wilayah.
Sedangkan menurut peneliti senior Cato Institut, Mustafa Akyol, memberikan rumusan jelas bahwa teroris dan ekstremis memiliki formula berpikir yang sangat sederhana.
Para teroris dan ekstremis sering mendefinisikan diri sebagai korban yang tidak bersalah, mendefinisikan orang lain sebagai agresor ganas, membaca sejarah secara selektif dan tidak tidak utuh untuk mendukung pemahaman mereka serta menggunakan kekerasan sebagai uapaya balas dendam.
Dari sana kita dapat menyimpulkan bahwa Brenton Tarrant dan rekan-rekan yang terlibat patut dikategorikan sebagai tindakan teror atau berpaham terorisme.
Terorisme mulai marak dan menjadi wacana internasional sejak penyerangan World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat yang dilakukan oleh sejumlah pihak yang mengatasnamakan Islam pada 11 September 2001 silam, sejak itu pula terorisme kerap diasosiakan terhadap umat Islam.
Islam dan para pemeluknya secara umum dipandang sebagai suatu ajaran serta paham yang menakutkan hingga melegalkan kekerasan. Padahal secara fakta mendalam tentu tidak demikian.
Insiden bencana kemanusiaan di New Zealand pekan lalu ternyata menjadi pelajaran penting dan berharga bagi umat manusia juga sedikit banyaknya mengubah persepsi terhadap Islam itu sendiri.
Para pengidap Islamphobia di Barat terpaksa harus kembali menata persepsi mereka. Sebab, insiden berdarah tersebut mengklarifikasi bahwa terorisme tak identik dengan para pemeluk Islam.
Fakta lugas lain memperjelas bahwa terorisme memungkinkan berasal dari berbagai latar belakang suku, agama maupun ideologi tertentu. Meski terminologi maupun definisi terorisme masih mengundang perdebatan dan tidak memiliki konsensus tunggal oleh seluruh pakar studi terorisme internasional.
Selain isu terorisme dan mengubah persepsi mereka terhadap Islam, hal yang tidak kalah penting lagi adalah solidaritas kemanusiaan yang dilakukan baik di New Zealand maupun berbagai penjuru dunia yang turut mengecam dan mengutuk keras tindakan bengis semacam itu.
Di negara Barat yang berpenduduk mayoritas Kristen, Katolik, Yahudi bahkan Ateisme turut berbelasungkawa hingga mengadvokasi saudara seiman kita di New Zealand yang tengah mengalami duka dan guncangan batin yang luar biasa.
Sadar ataupun tidak, kemanusiaan memang kerap melewati lintas batas wilayah, keagamaan maupun sekat-sekat lainya. Mayoritas mereka ikut menjaga masjid kaum muslimin untuk menghadirkan rasa aman bagi minoritas dalam menjalankan seruan agama yang dianut.
Memang tidak mudah menjadi minoritas, apapun bentuknya. Baik minoritas agama, suku dan kebudayaan. Karena minoritas tentu kerap menjadi sasaran tindakan diskriminatif, kekerasan verbal dan fisik, dicurigai hingga ketidakadilan.
Minoritas di belahan bumi mana saja dan dalam bentuk apapun pasti mengalami pengalaman serupa. Seperti merasa terancam, dihantui ketakutan, diliputi kekhawatiran terhadap mayoritas yang barbarian dan ekstrem. Yang bisa saja mereka melakukan serangan-serangan membabi buta atas ketidaksukaannya yang tak berdasar tanpa pernah bisa diprediksi.
Kejadian teror di New Zealand seharusnya menjadi benang merah serta refleksi ulang bagaimana cara kehidupan sosial dan berbangsa kita di Tanah Air. Sesekali mustilah kita berpikir dan belajar menempatkan diri bagaimana menjadi sekelompok minor dalam tatanan sosial yang lebih luas, agar kita tak merasa superior atau bahkan pongah yang berhak melakukan apa saja termasuk menggunakan kekerasan dan kebencian terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Tak perlu menjadi penganut agama lain. Cukup bercermin bagaimana jika saudara muslim kita yang bermukim di Barat dan menjadi kelompok minoritas diperlakukan secara diskriminatif, mendapat kekerasan verbal dan fisik, dicurigai hingga ketidakadilan? Setelah itu, apakah kita akan melakukan hal yang sama kepada kelompok minoritas di Tanah Air? Apakah kita sudah memberikan rasa aman kepada mereka?
Rasa-rasanya lagu kolaborasi Efek Rumah Kaca dan Najwa Shihab bisa menjadi jalan menuju kontemplasi khusyuk kita untuk mendefisinikan kita dan kemanusiaan “….Duka padamu, luka padaku, saling lebur menghalau awan mendung. Kemanusiaan itu seperti terang pagi merekahkan harapan menepis kabut kelam…..”
Love our neighbor as ourselves!