Aksi terorisme kembali terjadi, kali ini menyasar umat Katolik Gereja Katedral Makassar yang terjadi pada Ahad hari ini, tepat pada Minggu Palma mendekati hari Paskah.
Peristiwa ini selain menimbulkan duka mendalam bagi segenap rakyat Indonesia, juga kembali memunculkan riak-riak perdebatan berpotensi tendensius yang dialamatkan pada agama Islam sekaligus pengikutnya.
Sebagian besar atau mungkin setengah penduduk dunia hari ini meyakini bahwa Islam melanggengkan kekerasan. Dan kepercayaan ini berkembang tak lain disebabkan sejumlah aksi terorisme yang dilakukan kelompok jihadis ekstrimis mengatasnamakan agama Islam dengan mengibarkan panji-panji agama berlafaz nama Tuhan yang telah di corengnya sendiri
Menengok kembali ke masa lalu sebelum ISIS menarik perhatian dunia Internasional, Al Qaeda telah muncul lebih dulu dibawah komando Osama bin Laden pada 1988.
Puncak dari kebrutalan Al Qaeda adalah peristiwa serangan 11 September yang merupakan empat rangkaian serangan teror bunuh diri dengan menyasar New York dan Washington DC.
Akibat dua peristiwa tersebut ratusan orang menjadi korban jiwa dan menjadikannya sebagai aksi terorisme terburuk yang pernah menimpa Amerika Serikat.
Pasca kejadian tersebut sentimen anti Islam meningkat diikuti tindak kekerasan yang menyasar orang-orang beridentitaskan diri sebagai muslim. Tak hanya pasca kejadian tersebut namun hingga hari ini.
Namun, Amerika Serikat bukan satu-satunya negara yang menerima teror memilukan dan mematikan tersebut. Tercatat pada tahun 2002 Indonesia mengalami kejadian yang sama naasnya.
Peristiwa Bom Bali 1 menjadi tonggak yang pada akhirnya membuat pemerintah Indonesia menyatakan perang pada aksi terorisme dan mulai meningkatkan pengawasan dan kewaspadaan pada kelompok-kelompok yang diduga memiliki afiliasi dengan kelompok terorisme yang berkembang di Asia maupun Timur Tengah.
Namun, tingginya pengawasan dan kewaspadaan tak cukup membuat para teroris menjadi gentar. Tampak hingga hari ini serangkaian aksi teror tetap terjadi sekalipun dalam skala yang tak lagi seluas dan semematikan sebelumnya.
Meski begitu, ia tetap berhasil menyebarkan rasa takut sekaligus benih-benih kebencian di antara umat beragama. Terutama kelompok-kelompok yang acap kali rentan menjadi korban dalam aksi teror yang terus berulang. Di mana dalam hal ini, agama seringkali menjadi sasaran utama kebencian alih-alih pada sosok pelaku utama maupun motivasi yang melatarbelakanginya.
Oleh sebagian besar orang yang awam, menganggap bahwa aksi terorisme tak lain dilatar belakangi agama. Dan Islam sering disalahpahami membenarkan kekerasan dalam serangkaian dogma-dogma ajarannya, bahkan dianggap mengizinkan pembunuhan orang-orang yang dianggap kafir dan tak seiman. Namun, kenyatannya aksi terorisme tak melulu menjadikan agama sebagai motivasi utama sekalipun agama dijadikan afirmasi atas sejumlah tindak kekerasan terorganisir.
Kelompok-kelompok terorisme yang berkembang hari ini tak tercipta begitu saja. Al Qaeda misalnya mula-mula tak dibuat demi memerangi orang kafir maupun menciptakan aksi teror yang membuat dunia bergidik, sebaliknya ia didirikan dengan tujuan menggalang kekuatan demi mengusir tentara Soviet pada Perang Afganistan. Sementara kelompok ISIS yang mengklaim berkuasa atas Irak dan Suriah memiliki ambisi membangkitkan kembali masa kejayaan Kekhalifahan Islam yang nyaris bahkan telah pudar hari ini.
Sekali pun awal pembentukan dua kelompok ini memiliki ‘misi’ yang berbeda, tetapi ia memiliki latar belakang yang sama; dibangun di daerah-derah yang sedang terlibat konflik maupun perang berkepanjangan yang seolah tanpa harapan akan kedamaian.
Menurut Victor E. Frankl dalam bukunya Man Search For Meaning, reaksi abnormal terhadap situasi abnormal merupakan tingkah laku yang normal. Dan reaksi abnormal di daerah berkonflik tanpa sadar menghadirkan serangkaian reaksi yang membuat sebagian berpikir bahwa kekerasan dapat menjadi metode utama memperoleh kejayaan sekaligus kebebasan. Dan, agama dihadirkan di tengah konflik sebagai bentuk pelarian sekaligus afirmasi untuk memperoleh dukungan sosial dari masyarakat yang terpapar sekaligus menjadi korban dalam sejumlah kekerasan brutal.
Penggunaan paham agama sebagai bentuk pembenaran atas tindak kekerasan tak jauh berbeda dengan serangkaian kekerasan lainnya yang dicampur baurkan dengan ideologi maupun rasa nasionalisme yang kadangkala disalah artikan dengan tindakan yang bahkan tak akan segan menyakiti maupun membunuh sesama manusia.
Lekatnya Islam dengan cap terorisme tak lain disebabkan paradigma salah yang lebih dulu terbentuk, disebarkan dan diyakini secara luas oleh masyarakat lewat sekumpulan klaim-klaim yang sesungguhnya tak berdasar.
Alih-alih menganggap aksi terorisme sebagai masalah sosial yang lahir akibat perang dan kemiskinan yang berkepanjangan, ia lebih rentan dianggap sebagai isu agama yang kental. Tak lain disebabkan oleh latar belakang pelaku yang hampir semua merupakan orang muslim yang menyasar kaum-kaum non muslim.
Disebabkan kedua alasan dangkal tersebut, orang-orang lantas beramai-ramai memberi cap negatif yang berujung pada stigmatisasi yang memojokkan dan buruk bagi agama Islam sekaligus pengikutnya.
Pandangan ini pun tanpa sadar menjadikan masyarakat muslim secara umum sebagai korban, sebab menciptakan rasa takut untuk menunjukkan identitas agama atau ditekan untuk tak menunjukkan identitas agama mereka sama sekali terutama di tengah masyarakat di mana muslim menjadi kaum minoritas.
Keyakinan bahwa aksi terorisme berlandaskan harapan untuk mendapatkan surga berisikan 72 bidadari pada akhirnya hanyalah isapan jempol belaka yang terus saja dibesar-besarkan, atau dipahami orang-orang yang berpikiran dangkal maupun dangkal dalam beragama.
Sebab bagaimanapun Islam membenci membunuh, pun membenci bunuh diri. Dan alasan kelompok-kelompok yang menjadikan orang lain sebagai korban demi mencapai tujuan atas kekuasaan maupun kemaslahatan tak lain hanyalah seorang pembunuh berdarah dingin bersenjatakan agama!